Sanksi bagi Pemerkosa dan Aborsi dalam Pandangan Islam - Tinta Media

Senin, 02 September 2024

Sanksi bagi Pemerkosa dan Aborsi dalam Pandangan Islam


Tinta Media - Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024. Ini merupakan aturan pelaksana Undang-Undang No 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan. (26/07/24)

Sejumlah poin dalam PP kesehatan telah diatur ulang. Salah satunya poin tentang aborsi. Pemerintah telah menetapkan dalam pasal 120 bahwa dokter diizinkan untuk melakukan praktik aborsi karena adanya kehamilan yang memiliki indikasi medis atau kehamilan akibat tindak pidana pemerkosaan atau kekerasan seksual.

Dalam prosedurnya, praktik aborsi ini bisa dilakukan selama ada persetujuan dari pihak perempuan dan suaminya, kecuali korban tindak pidana perkosaan. Dikutip dari Pasal 124 ayat 1, apabila selama pendampingan korban hendak berubah pikiran dan membatalkan aborsi, ia berhak mendapat pendampingan hingga persalinan. Dalam proses pelayanan, pelaksanaan aborsi hanya boleh dilakukan pada fasilitas kesehatan tingkat lanjut yang telah ditetapkan oleh kementerian kesehatan.

Menurut ketua MUI bidang dakwah, M.Choli Nafis, PP 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana UU Kesehatan soal aborsi sudah sesuai dengan Islam, hanya kurang ketentuan terkait kebolehan aborsi karena diperkosa itu, dengan syarat usia kehamilan sebelum usia 40 hari, yaitu sebelum ditiupkannya ruh, karena jika melakukan aborsi sejak terjadinya pembuahan ovum, walaupun sebelum nafkah al-ruh, hukumnya adalah haram.

Tindakan aborsi sendiri memiliki risiko medis yang fatal bagi perempuan yang melakukannya hingga bisa mengancam nyawa jika terjadi pendarahan atau infeksi. Selain itu, ada juga risiko non-medis, yaitu secara psikis berupa trauma dan lain-lain.

Komnas perempuan mencatat bahwa pemicu kasus pemerkosaan salah satunya adalah akibat maraknya penyebaran video porno, peretasan atau pemalsuan akun dan grooming. Di sisi lain, perilaku gaya hidup bebas yang tampak marak saat ini, salah satunya dalam hal berpakaian, telah menjadikan para perempuan banyak yang rela mengumbar aurat, bahkan menjual diri demi meraih popularitas dan sejumlah uang. 

Pergaulan laki-laki dan perempuan yang juga begitu bebas berinteraksi, menghantarkan mereka pada seks bebas, yang berefek pada kehamilan di luar nikah semata karena pemenuhan syahwat. Ketika kehamilan tersebut tidak diinginkan, satu-satunya cara adalah dengan mengaborsi janin tersebut.

Efek lain dari gaya hidup bebas adalah maraknya kasus pelecehan seksual sampai pemerkosaan. Bahkan, pelakunya adalah orang terdekat korban, bisa ayah, paman, saudara laki-laki, bahkan kakeknya. 

Ini adalah fakta yang sangat memilukan dan dilematis. Di satu sisi perempuan didorong untuk bebas berekspresi, di sisi lain, akibat kebebasan yang dia lakukan, perempuan menjadi korban pelecehan seksual bahkan pemerkosaan. Hal ini menandakan bahwa tidak ada jaminan kemanan bagi  perempuan sebagai pihak yang harus dilindungi. 

Seperti inilah masyarakat yang berada dalam sistem kapitalisme sekularisme liberalisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Negara yang menganut sistem ini hanya membuat aturan yang bisa memberikan keuntungan bagi segelintir orang, bukan untuk kepentingan masyarakat. 

Maraknya pornografi dan pornoaksi di tengah masyarakat, serta perilaku bebas individu dianggap tidak membahayakan selama tidak mengganggu kepentingan individu yang lain. Seperti pergaulan dan seks bebas, dipandang tidak masalah selama dilakukan atas dasar suka sama suka. Namun, jika dilakukan berdasarkan paksaan, seperti pelecehan atau pemerkosaan, akan terkena jerat hukum. Itu pun jika dilaporkan. 

Kebijakan seperti inilah yang justru menunjukkan bahwa negara membiarkan masyarakat terkubur dalam kubangan kemaksiatan setiap saat, termasuk hamil di luar nikah dan aborsi.

Ditambah lagi jika terjadi pemerkosaan, hukuman bagi pelaku tidak sebanding dengan derita para korban. Apalagi jika pelaku memiliki kekuasaan, yang hanya akan berujung damai dan kekeluargaan.

Jikapun masuk dalam delik aduan kejahatan yang diproses ke jenjang pengadilan, sering kali prosesnya panjang dan berbelit-belit, menghabiskan waktu yang lama dan biaya yang cukup besar, sehingga banyak korban yang tidak ingin melaporkan kasus tersebut, selain karena tidak mau aibnya tersebar luas.

Inilah bukti kegagalan sistem kapitalisme sekularisme liberalisme dalam mengatur kehidupan manusia, khususnya dalam menjaga kehormatan perempuan dan hak-hak mereka.

Berbeda halnya dengan sistem Islam yang sempurna dan paripurna. Islam mampu menghadirkan kehidupan yang dapat menjaga kehormatan semua rakyatnya, baik laki-laki maupun perempuan. Hal tersebut karena salah satu maksud dari penerapan syariat Islam kaffah adalah menjaga kehormatan. 

Melalui penerapan sistem pergaulan laki-laki dan perempuan dalam Islam, keduanya mendapatkan penjagaan karena syariat Islam bersifat preventif, yaitu dengan seperangkat aturan pergaulan, di antaranya sebagai berikut:

Pertama, menundukan pandangan bagi laki laki maupun perempuan (Ghaddul Bashar)

Kedua, menutup aurat secara sempurna, baik bagi laki-laki maupun perempuan, sesuai ketentuan syariat 

Ketiga, larangan Ikhtilat (bercampur-baur) antara laki-laki dan perempuan, kecuali yang diperbolehkan oleh syariat, misalnya terkait pengajaran dan aktivitas di ranah umum

Keempat, larangan khalwat (bersua-duaan) antara laki laki dan perempuan kecuali disertai oleh mahrom dari perempuan 

Kelima, larangan tabarruj bagi perempuan 

Keenam syariat tentang safar bagi perempuan yang harus ditemani mahram, jika lebih dari sehari-semalam

Ketentuan syariat tersebut aka berfungsi dalam menjaga masyarakat ketika diasaskan pada tegaknya tiga pilar utama, yakni ketakwaan setiap individu, masyarakat yang peduli dengan menjalankan amar makruf nahi munkar, dan keberadaan negara yang menerapkan syariat Islam kaffah.

Jikapun terjadi pemerkosaan, maka pelaku akan mendapatkan sanksi yang tegas. Peradilan dalam Islam tidak berbelit-belit dan tidak mengeluarkan biaya sedikit pun, sehingga tidak memberatkan korban. Mereka pun cepat mendapatkan keadilan.

Dalam prosesnya, jika perempuan tersebut mengadu pada qadi (hakim) bahwa dirinya diperkosa oleh laki-laki tersebut dan memiliki bukti yang kuat, pelaku akan dijatuhi hukuman zina dengan 100 cambukan jika belum menikah dan dirajam sampai mati jika sudah menikah. Hal ini dilakukan di hadapan publik, untuk memberikan efek jera sebagai peringatan dan pencegahan agar orang lain tidak berbuat hal yang sama.

Lalu bagaimana jika adanya kehamilan pada perempuan korban pemerkosaan?

Bagaimanapun, aborsi adalah tindakan merampas hak hidup manusia, sedangkan hak hidup berasal dari Allah Swt. Allah Taala berfirman dalam ayat, “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’am [6]: 151).

Atas dasar ini, kita tidak bisa menjadikan aborsi sebagai solusi untuk menyelesaikan kasus kehamilan dalam tindak pidana pemerkosaan. Inilah fungs negara sebagai periyah umat. Negara memiliki kewajiban dalam mengawasi kehamilan tersebut. Negara juga akan memastikan bahwa keluarga dari korban akan mendampingi dan memberikan penjagaan kepada perempuan dan calon anak tersebut hingga lahir.

Hak-haknya pun akan dipenuhi selayaknya masyarakat lain. Dengan terbentuknya masyarakat Islam yang menaati aturan Allah, maka tidak ada diskriminasi terhadap perempuan korban pemerkosaan dan anak yang terlahir darinya. 

itu semua tidak akan terwujud jika kita masih menggunakan sistem kapitalisme. Hanya dengan penerapan sistem Islam kaffah saja dan dalam naungan khilafah Islamiyyahlah, rakyat termasuk perempuan, dapat terlindungi dari pelecehan dan kekerasan seksual, sebagai salah satu bentuk penjagaan negara terhadap kehormatan mereka. Waahuallam.



Penulis: Ira Mariana 
Sahabat Tinta Media 

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :