Politik Demokrasi Mahal, Islam yang Paling Andal - Tinta Media

Senin, 23 September 2024

Politik Demokrasi Mahal, Islam yang Paling Andal



Tinta Media - Fenomena wakil rakyat menggadaikan surat kuasa (SK) pasca dilantik adalah potret mahalnya biaya politik demokrasi. Saat ini, perilaku hedonis dari para wakil rakyat dan biaya politik yang tinggi di Indonesia telah meningkatkan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. 

Profesor Anang Sujoko, seorang pengamat politik dari Universitas Brawijaya menilai bahwa tindakan tersebut cukup memprihatinkan. Biaya proses demokrasi yang sangat mahal dapat menjadi alasan beratnya beban bagi para anggota legislatif yang terpilih. 
( www.detik.com/7/9/2024)

Pemilihan umum adalah momen penting dalam sebuah negara demokratis. Namun, biaya politik yang mahal dapat menghambat partisipasi orang-orang yang tidak memiliki cukup dana untuk mengikuti proses pemilihan. Pada akhirnya, orang-orang yang mampu membayar biaya politiklah yang akan memiliki kesempatan terbaik untuk mencapai kesuksesan dalam pemilihan.

Besarnya dana kampanye dan praktik jual beli suara menjadi faktor terpenting dalam demokrasi. Ditambah dengan adanya kecenderungan masyarakat bergaya hidup hedonistik yang dipengaruhi oleh sistem kapitalisme sekuler, terutama bagi mereka yang memiliki akses lebih terhadap sumber daya dan kekayaan. Semua hal tersebut menjadi akar dari masalah korupsi dalam sistem politik saat ini. Para politisi yang terpilih karena menggunakan uang cenderung menjadi korup dan mencari keuntungan sebanyak mungkin, karena mereka tidak mau rugi setelah terpilih menjadi pejabat.

Selain itu tingginya biaya politik juga menjadi penyebab maraknya praktik oligarki kapitalistik, di mana para politisi yang ingin maju dalam pencalonan didukung oleh para oligarki. Para politisi yang terpilih karena didanai oleh kelompok tertentu cenderung memprioritaskan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya daripada kepentingan publik. Hal ini jelas merugikan masyarakat karena kepentingan publik tidak diutamakan dalam pengambilan keputusan politik.

Dalam paradigma Islam, jabatan adalah  amanah yang harus diemban dengan sungguh-sungguh. Landasan pandangan tersebut berasal dari akidah dan standar yang digunakan adalah hukum syara'. Oleh karena itu, segala tindakan yang dilakukan oleh pejabat publik harus berpijak pada nilai-nilai kepemimpinan yang dibangun dengan memperhatikan kepentingan umat. Namun, dalam demokrasi hampir semua pejabat publik tidak memenuhi standar tersebut.

Dalam politik Islam, terdapat tujuh pilar atau perangkat yang membentuk pemerintahan, di antaranya khalifah, muawin, wali, kadi, amiruljihad, majelis umat, dan jihaz idari. Khalifah merupakan pemimpin tertinggi dalam pemerintahan Islam yang memastikan penerapan hukum Islam di negara Islam. 

Selain itu, sistem Islam juga mampu memangkas biaya politik yang mahal. Contohnya, pemilihan khalifah dilakukan dalam waktu singkat, paling lambat 3 hari 3 malam saja,  tidak seperti dalam demokrasi yang memakan waktu lama dan mahal. 

Pemilihan khalifah juga tidak dilakukan secara reguler, yaitu 5 tahun sekali. Sebab, khalifah tetap menjadi kepala negara selama tidak melanggar syariat Islam, sehingga tidak menguras biaya yang besar. 

Adapun kepala daerah, mereka dipilih oleh khalifah dan dapat diberhentikan kapan saja. Sistem politik Islam juga tidak disibukkan dengan pilkada rutin yang menguras energi, menimbulkan konflik, dan melibatkan biaya yang besar. 

Meski demikian, rakyat tidak perlu khawatir jika khalifah menjadi diktator. Sebab, rakyat tetap diperbolehkan mengoreksi kepala negara yang menyimpang dari kewajibannya. Ini karena dalam sistem Islam terdapat  Mahkamah Mazhalim yang akan siap mengadili perselisihan antara rakyat dan penguasa. 

Selain itu, di dalam Islam, dikenal Majelis Umat (MU), yaitu wakil langsung dari umat, bukan wakil partai. Fungsinya adalah melakukan muhasabah dan syuro. 

Berbeda dengan wakil rakyat saat ini (DPR), MU tidak memiliki fungsi legislasi (menetapkan hukum). Sebab, menetapkan hukum adalah hak Allah, sementara menerapkan hukum adalah tugas khalifah. Meski demikian, majelis umat bisa memberi masukan, tetapi sifatnya tidak mengikat. 

Syarat menjadi anggota MU juga sangat mudah. Sebab, baik muslim ataupun non-muslim dibolehkan menjadi anggota MU. Ini karena anggota MU dipilih berdasarkan kemampuan dan niat murni, bukan berdasarkan iklan atau pencitraan yang berbiaya mahal. Dengan demikian, penyalahgunaan jabatan dan korupsi dapat diminimalisir. 

Keberadaan MU dalam sistem politik tentunya dapat membantu mengatasi permasalahan yang kerap terjadi. Sebab, melalui MU, umat dapat menyampaikan pengaduan tentang kezaliman para penguasa atau penyimpangan dalam pelaksanaan hukum. 

Dengan adanya sistem politik Islam, campur tangan kapitalis dalam pembuatan UU yang berbahaya juga tidak akan ada. Sebab, dalam Islam, kedaulatan ada di tangan syariat, bukan pada manusia. Sehingga, para kapitalis tidak akan bisa membuat atau memengaruhi berbagai kebijakan dan produk hukum sebagaimana dalam demokrasi. Sebab, sumber hukum dalam sistem Islam adalah Al-Qur’an dan Sunah. 

Dengan demikian, jelas bahwa politik dalam Islam berjalan efektif, murah, dan efisien. Kendati kondisi hari ini telah demikian rusak akibat sistem kapitalis demokrasi, tetapi kita masih memiliki harapan. Dengan upaya keras, kita akan dapat memperbaiki sistem politik kita. Caranya mengganti sistem hari ini dengan sistem Islam. Wallahu alam.



Oleh: Indri Wulan Pertiwi 
Aktivis Muslimah Semarang 

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :