Tinta Media - Anies, bakal calon gubernur gagal maju dalam Pilkada 2024, baik di Jakarta maupun Jabar buka suara. Ia menyebut dirinya gagal melaju dalam kontestasi pemilihan kepala daerah karena seluruh partai politik tersandera oleh pemegang kekuasaan. Ada usulan agar Anies masuk partai. Namun pertanyaannya, partai mana yang tidak tersandera oleh kekuasaan.
"Jangankan dimasuki, mencalonkan saja terancam," tegas Anies di akun Youtube pribadinya. (cnbcindonesia.com 1/9/2024).
Kritikan Anies seolah menegaskan bahwa sistem perpolitikan di Indonesia saat ini tidak memberikan kesempatan yang cukup bagi pihak yang ingin menawarkan alternatif berbeda. Situasi yang jauh dari ideal, partai politik yang seharusnya menjadi wadah menyalurkan aspirasi rakyat justru menjadi alat mempertahankan status quo, pendukung politik dinasti.
Terjebak Pragmatisme
Curhatan Anies tampaknya tidak berlebihan, bahkan bisa jadi sesuai kenyataan. Dunia politik sejak pilpres hingga pilkada masih memanas, baik tawar-menawar koalisi parpol, hingga bakal calon, bahkan mengotak-atik peraturan demi kekuasaan.
Realitas politik seperti dagang sapi, berubah kongsi demi kursi, tak ada kawan dan lawan sejati, yang ada mengejar kepentingan bersama. Realitas ini wajar dan pasti terjadi dalam demokrasi. Demi kekuasaan, parpol rela menjilat ludahnya sendiri, menggadaikan ideologi berbalut dalil, lebih tepat dalih.
Mereka berdalih demi kepentingan rakyat dan kemajuan bangsa para politisi berkoalisi. Namun, rakyat tak lebih dari pendorong mobil mogok, dibutuhkan suaranya setiap lima tahun sekali. Ketika kekuasaan sudah di tangan, rakyat kembali gigit jari. Nyatanya, sang penguasa dan anggota dewan mengabdi pada pemilik cuan.
Kedaulatan di tangan rakyat hanya slogan, karena faktanya ada di tangan oligarki. Contonya, UU Minerba, UU Migas, UU Cipta Kerja, hingga UU IKN adat bukti nyata. Meski rakyat menolak, perundangan tetap berjalan. Penguasa maupun politisi bertindak pragmatis, mengorbankan prinsip demi kekuasaan.
Parpol adalah wakil rakyat, seharusnya menyalurkan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak rakyat, bukan membela kepentingan penguasa dan pengusaha.
Mirisnya lagi, ada 12 dari 24 partai politik peserta pemilu 2024 yang pernah terlibat korupsi. Mereka adalah parpol yang lolos masuk di Senayan dan pernah masuk dalam tampuk kekuasaan.
Borok partai politik sering dipakai penguasa untuk menyandera mereka. Untuk menyelamatkan marwah kader dan partai, akhirnya mereka tunduk pada kepentingan penguasa. (kompas.com/2023/09/15)
Faktor lain penyebab parpol bersikap pragmatis adalah demokrasi merupakan sistem politik berbiaya tinggi. Fadli Ramadhanil,
Manajer Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyampaikan bahwa untuk membuat partai politik baru hingga masuk peserta Pemilu 2024, selain sulit juga mahal.
Versi Nasdem, bisnis pendirian parpol baru bisa mencapai Rp50 M. Bahkan untuk maju menjadi anggota dewan di Senayan, politisi bisa mengeluarkan dana hingga10 milyar (news,republika, 9/6/2020). Tidak ada makan siang gratis, maka terjadilah simbiosis politisi, penguasa, dan pengusaha demi mengejar manfaat dan maslahat.
Manfaat merupakan nilai yang dijunjung tinggi dalam demokrasi. Pemerintahan yang tegak di atas akidah sekuler, menolak peran agama untuk mengatur kehidupan. Kedaulatan ada di tangan rakyat melalui wakil-wakilnya yang ada di parlemen untuk menyusun regulasi atau produk perundang-undangan berdasar akal lemah dan hawa nafsu. Celah inilah yang sering dimanfaatkan penguasa untuk mempertahankan status quo dengan menyandera parpol. Maka, perselisihan, pertentangan, baku hantam saling sikut juga permufakatan jahat akan senantiasa terjadi dalam demokrasi.
Parpol Sistem Islam Tidak Tersandera
Partai politik dalam Islam lahir dan tegak dalam rangka memenuhi kewajiban dan seruan Allah dalam Surat Ali Imran ayat 104 yang artinya,
"Hendaklah ada di antara kalian sekelompok orang yang mengajak pada kebaikan serta menyuruh berbuat makruf, dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang beruntung."
Politik dalam Islam bermakna riayah suunil ummah yakni mengurus urusan umat. Maka, keberadaan partai politik berfungsi muhasabah lil hukam, yakni mengoreksi penguasa agar menjalankan amanah sesuai syariat Islam.
Selain itu, tugas partai politik Islam adalah membina umat agar memiliki kepribadian Islam, yakni mempunyai pola akliyah dan nafsiyah Islam, juga memahami tsaqafah Islam. Maka, parpol ini akan senantiasa bergerak dan berinteraksi bersama umat secara terus-menerus, bukan hanya musiman menjelang pemilu setiap lima tahun sekali.
Peranan mulia tersebut menjadikan parpol Islam akan senantiasa dijadikan rujukan masyarakat dan tidak tersandera oleh kepentingan penguasa. Keduanya menyadari bahwa kekuasaan adalah amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt., pemilik surga dan neraka. Kondisi ini akan terwujud dengan tegaknya peradaban Islam yang berasaskan akidah Islam, bukan peradaban kapitalisme yang tegak di atas asas manfaat. Wallahu a'lam bishawab.
Oleh: Ida Nurchayati, STP
Sahabat Tinta Media