Pancasila Tanpa Agama, Moderasi Agama Agenda Pancasila - Tinta Media

Jumat, 06 September 2024

Pancasila Tanpa Agama, Moderasi Agama Agenda Pancasila

Tinta Media - Pelepasan jilbab terhadap anak Paskib terlihat ketika Pengukuhan di IKN. Ketua BPIP, Yudian Wahyudi membantah adanya pemaksaan, beliau berargumen bahwasanya setiap anggota Paskib harus menaati peraturan yang berlaku. Terkait atribut jilbab tertuang dalam peraturan terbaru yang sudah di tanda tangani oleh masing-masing anggota Paskib. Berarti atas kesadaran penuh mereka melepaskan jilbab. (Temponasional, 13/08/24)

Argumen-argumen terus digaungkan usaha membela diri. Ironis, jejak digital beliau mengatakan bahwa agama musuh terbesar Pancasila. Islam di klaim bertentangan dengan konsep Pancasila sebagai dasar aturan kehidupan manusia yang beragam, seperti Indonesia. Orientasi beliau, Islam terlalu ekstrem menjadi manuver politik, meskipun mayoritas Muslim namun tetap menentang Bhinneka Tunggal Ika. (Detiknews, 12/02/20)

Hal ini tuai kecaman dan kritik dari berbagai pihak, banyak pihak beranggapan bahwa hal tersebut tidak menunjukkan identitas dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Ekspresi yang tertuang justru menyelisihi sila pertama. Meskipun Yudian menyatakan ini merupakan ikhtiar uniform dalam rangka menjaga kebhinekaan dengan kesatuan.

Berujung menimbulkan paradigma menyesatkan dan multitafsir. Pertama, esensi dari Bhineka Tunggal Ika menjadi bercorak negatif, kedua  diskriminasi terhadap agama Islam terlihat jelas. Ketiga, terjadi pelanggaran HAM terhadap perempuan berjilbab. Keempat, kebebasan beragama tidak terealisasi dalam Pancasila.

Sejatinya mereka melupakan sejarah. Bahwasanya dalam kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari pejuang mayoritas Muslim, Kyai Hasyim Ashari (Pendiri NU), Muhammadiyah, Masyumi, Syarikat Islam, para santri, bahkan pendiri NKRI seorang Muslim. Sehingga mustahil para pejuang, berjuang dengan memusuhi agama-Nya. Sejatinya, Islam dijadikan spririt mereka, dicontohkan bung Tomo dengan pekiknya takbir menyulutkan semangat Jihad fisabilillah untuk merdeka.

Jika ditelisik lebih mendalam, ibunda Fatimah yang terkenal dengan Fatmawati, seorang wanita Muslim yang menjahit bendera pusaka sang saka merah putih sebagai simbolik dalam paskibraka juga mengenakan jilbab. Sekarang sudah 79 tahun merdeka namun kebebasan mengekspresikan identitas agama kian terbatas.

Merdeka dari perang fisik namun pemikiran terjajah!

Berimpack hilangnya kepercayaan publik terhadap negara. Jika BPIP adalah wadah yang seharusnya paham Pancasila, kenapa tindakannya berseberangan? Pada siapa publik menyandarkan harapan dan rasa hormatnya, jika negara berkhianat?

Kisah Aidit perusak negara berkedok Pancasila terulang kembali, dengan opini yang sama. Agama musuh terbesar Pancasila. Berangkat dari 13 Agustus 2024, kita harus lebih aware lagi adanya agenda Islam moderat itu nyata. Berkedok nasionalisme memaksa hak manusia untuk memiliki rasa toleransi tinggi yang sejatinya menghianati Sang Pencipta.

Menurut Yudian menuju kesatuan membutuhkan pelicin dengan pelumas sekularisasi. Barometer seluruh perkara yang menyangkut kehidupan tidak disandarkan pada agama. Artinya masyarakat berkembang menuju maju diberi kebebasan mengatur kehidupan masing-masing, namun menyangkut persoalan kebutuhan banyak orang harus terikat dengan aturan negara dengan wadah konstitusi.

Carut-marutnya negeri ini karena eksisnya pemikiran-pemikiran liberal meracuni generasi bangsa. Adanya sekulerisasi justru menancapkan paradigma rancu dan sesat. Dengan tidak melibatkan peran Sang Khaliq di dalam aturan kehidupan.

Alhasil sekedar memaknai jilbab saja multitafsir. Ironis ketika dianggap tidak idealis dengan Bhineka Tunggal Ika. Memalingkan makna sesungguhnya terhadap makna lain, Indonesia memang beragam akan budaya, ras, kesukuan, dan agama. Beragam namun satu, bukan berarti mayoritas dipaksa minoritas. Beragam di sini esensinya terdiri dari kemajemukan tidak ada korelasi dengan menyeragamkan anak paskib tanpa jilbab.

Harus dipahami dengan saksama bahwa akar problem bersumber dari negara yang mengadopsi sekularisasi sebagai barometer pembuat aturan. Seharusnya kita memahami bahwasanya sifat dari akal itu terbatas. Ketika dipaksa untuk membuat aturan pasti hasilnya amburadul, membuat gaduh, bahkan menimbulkan masalah berantai.

Ketika kita move on dengan sistem toguth tentunya continue dengan seperangkat aturan yang datangnya memang dari Sang Khaliq, yaitu sistem politik Islam. Tentunya akan melahirkan pemikiran cemerlang, dan memiliki kerangka berpikir utuh dan jelas.

Tidak mudah terprovokasi, tidak mudah terpecah belah, dan tidak mudah berkhianat. Karena dalam Islam jelas memiliki sistem pendidikan dengan kurikulum Islam yang akan melahirkan generasi dengan bertakwa dan berbudi luhur.

Setiap aktivitasnya mencerminkan agama masing-masing. Kemajemukan tidak menjadi kendala dan penghalang untuk bersatu dalam wadah Islam. Kenapa? Sudah dicontohkan dalam sejarah kegemilangan Islam, ketika Islam hampir 14 abad menguasai 2/3 benua dengan mengayomi agama nasrani, yahudi, dan Islam, yang notabene majemuk bukan hanya terdiri dari Islam semata. Sejatinya Islam agama sekaligus mabda yang mengatur seluruh alam, manusia, dan kehidupan.

Wallahu’alam Bisowab.

Oleh: Novita Ratnasari, S. Ak., Penulis Ideologis, Kontributor Tinta Media

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :