Menciptakan Ketahanan Pangan, antara Harapan dan Kenyataan - Tinta Media

Kamis, 12 September 2024

Menciptakan Ketahanan Pangan, antara Harapan dan Kenyataan



Tinta Media - Presiden Jokowi memaparkan anggaran ketahanan pangan di Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN 2025 hanya sebesar Rp124,4 triliun. Pengamat Pertanian Syaiful Bahari melihat nominal itu sama sekali tidak mencerminkan adanya perencanaan strategis untuk penguatan sektor pertanian nasional.

"Seharusnya pemerintah memperjelas apa yang dimaksud dengan ketahanan pangan, apakah dengan jalan peningkatan produktivitas atau penguatan cadangan pangan nasional, atau memperbesar bantuan pangan seperti yang terjadi di 2023-2024," ucap Syaiful saat dihubungi, Jumat (16/8).

Sebagaimana diketahui, anggaran ketahanan pangan di APBN 2025 diarahkan untuk mendukung peningkatan produktivitas, menjaga ketersediaan dan keterjangkauan harga pangan, perbaikan rantai distribusi hasil pertanian, serta meningkatkan akses pembiayaan bagi petani. 

Namun, menurut Pengamat Pertanian Syaiful Bahari, hal tersebut tidak menunjukkan adanya upaya serius dari pemerintah untuk memperbaiki produktivitas pertanian yang dilakukan dari hulu sampai ke hilir. Semisal, penyediaan bibit berkualitas dan anggaran untuk pupuk bagi petani, serta pembangunan infrastruktur, berupa bendungan yang tepat sasaran untuk irigasi pertanian. Demikian juga di pasca panen. Selama ini produk pertanian dalam negeri sulit bersaing dengan negara lain, sehingga merugikan petani. (mediaindonesia.com 16/8/2024 )

Ketahanan pangan yang menyangkut ketersediaan pangan, distribusi, dan konsumsi pangan merupakan persoalan penting bagi sebuah negara karena akan membantu stabilitas dalam negeri, terutama dalam upaya pemenuhan kebutuhan rakyat, bahkan menyangkut kedaulatan suatu negara.

Apa yang dicanangkan oleh pemerintah tampaknya belum memiliki komitmen yang kuat. Hal ini terlihat dari kebijakan yang dibuat, seperti minimnya dukungan/bantuan bagi para produsen pangan, baik di kalangan petani, pekebun, distributor, hingga kemudahan akses bagi konsumen. Semua hal tersebut jika maksimal dalam penanganannya akan mampu mewujudkan ketahanan pangan yang menjadi indikasi negara telah memiliki kedaulatan pangan.

Minimnya dukungan/bantuan pemerintah pada petani, misalnya dalam hal bibit, pupuk yang mahal karena pengurangan subsidi dan sebagainya menjadikan biaya produksi membengkak, sementara hasil pertanian belum tentu dapat membawa keuntungan. Apalagi, dibukanya impor pangan lebar-lebar oleh pemerintah menjadikan produk pertanian dalam negeri harus bersaing dengan produk luar. Ini membuat sektor pertanian sebagai penopang ketahanan pangan justru menghadapi beragam tekanan.

Adanya kebijakan impor dengan alasan untuk membantu ketahanan pangan melalui ketersediaan komoditas, pada kenyataannya menunjukkan ketidakmandirian negeri ini. Padahal, ketahanan pangan suatu negara ditentukan oleh kedaulatannya. Bahkan, Ketua MPR Bambang Soesatyo mengingatkan agar pemerintah mengurangi impor, termasuk impor komoditas pangan. Dengan demikian, pangan Indonesia dapat terjaga secara konsisten. (investor.id 16/8/2024 )

Seharusnya pemerintah membangun sinergi yang kuat bersama petani, melalui penguatan dari sektor hilir hingga hulu. Pemerintah harus menyediaan bibit unggul dan pupuk berkualitas secara murah, bahkan gratis, disertai pembangunan infrastruktur yang maksimal, baik dalam menopang proses produksi maupun distribusi. Ini harus dilakukan untuk memastikan komoditas pangan sampai di pasar yang mudah diakses oleh rakyat sebagai konsumen. Kesinambungan mata rantai tersebutlah yang dapat menciptakan kekuatan pangan di dalam negeri.

Hal tersebut sulit diwujudkan jika pemerintah hanya menjadi regulator dan fasilitator sebagaimana yang ditetapkan dalam sistem kapitalisme sekularisme liberal yang diterapkan di negeri ini. Keberadaan para pemilik modal (kapitalis) yang justru mengendalikan pasokan bahan pangan, mulai dari hilir hingga hulu, dari produksi hingga dalam menentukan harga komoditas secara leluasa di pasaran. Hal itu menyebabkan harga pangan di pasaran bersifat fluktuatif berdasarkan kepentingan dan keuntungan para kapitalis. 

Ditambah lagi kebijakan yang membuka kran impor sebesar-besarnya, termasuk dalam komoditas pangan, sehingga produk pangan lokal semakin lemah dalam persaingan di pasar dan berefek pada kerugian bagi perekonomian dalam negeri. 

Ketahanan pangan tinggal harapan yang tidak dapat diwujudkan. Padahal, SDM dan SDA Indonesia sangat potensial dalam menciptakan surplus pangan yang dapat memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Namun, akibat kebijakan yang kapitalistik liberalistik yang tidak prorakyat, tetapi prokapitalis, akhirnya hanya menguntungkan bagi para oligarki (kekuatan kapitalis dan penguasa).

Oleh karena itu, agar dapat mewujudkan ketahanan pangan, kita butuh sebuah sistem hidup yang bersifat keumatan, yang mengutamakan kepentingan rakyat, dan tidak didominasi oleh kapitalis. Itulah sistem Islam. 

Islam sebagai sebuah diin yang sempurna dan paripurna memandang bahwa pangan adalah salah satu kebutuhan yang wajib dipenuhi untuk setiap individu rakyat oleh pemimpin atau penguasa. Islam menjadikan ketahanan pangan harus diwujudkan karena berkaitan dengan kekuatan dan kedaulatan negara.

Negara (khilafah) yang menerapkan syari'at Islam kaffah akan memastikan pemenuhan kebutuhan rakyat, bukan hanya pangan, tetapi juga sandang dan papan. Negara menjamin kemudahan bagi rakyat dalam mendapatkannya dengan harga murah atau secara gratis. Pastinya tetap memenuhi kualitas gizi yang baik dan cukup untuk kebutuhan dan kesehatan rakyat.

Rasulullah saw. bersabda,

"Imam (pemimpin) adalah ra'in (penggembala), dia yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya." (Hr. Bukhari dan Muslim). 

Negara dalam Islam berfungsi sebagai raa'in (penanggung jawab) yang akan membuat kebijakan ketahanan pangan dengan memaksimalkan potensi SDM dan SDA dalam negeri, mulai dari hulu hingga hilir, baik dalam aspek produksi, kemudahan distribusi, dan pemasaran ke seluruh wilayah negara agar dapat memenuhi kebutuhan pokok seluruh rakyat. Kebijakan ini didukung dengan pembangunan infrastruktur yang maksimal pula, mulai dari bendungan untuk irigasi, infrastruktur jalan, jembatan, dan transportasi untuk memudahkan distribusi.

Negara tidak akan melakukan ekspor, hingga kebutuhan pokok setiap individu rakyat terpenuhi, dan juga tidak akan melakukan impor karena adanya kemandirian pangan dari berbagai komoditas.

Dalam pengelolaannya, lahan pertanian tidak akan dibiarkan habis oleh sektor industri dan pembangunan infrastruktur, karena lahan pertanian sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Sektor pertanian tersebut ditopang oleh sistem politik dan ekonomi yang mantap, melalui penerapan syariat Islam kaffah dalam naungan khilafah. 

Oleh karena itu, Islam bukan hanya mampu menghadirkan ketahanan pangan yang kuat, tetapi sistem ini terbukti pernah diterapkan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat, serta umat Islam setelahnya ini, sehingga mampu mewujudkan diri sebagai negara adidaya.

Wallahu'alam bissawab



Oleh: Syifa 
(Remaja Palasari, Bandung)
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :