MBG: Janji Politik dan Halusinasi Demokrasi - Tinta Media

Jumat, 27 September 2024

MBG: Janji Politik dan Halusinasi Demokrasi



Tinta Media - Belakangan ini, susu ikan menjadi perbincangan setelah diusulkan sebagai alternatif pengganti susu sapi dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) pemerintahan Prabowo Subianto di sekolah-sekolah Indonesia. Sontak hal ini menuai pro-kontra di kalangan masyarakat, bahkan menjadi sorotan beberapa media asing. 

Koran asal Singapura, The Straits Times, melaporkan bahwa susu ikan merupakan inovasi pemerintah RI yang  dikembangkan sebagai upaya melakukan hilirisasi produk perikanan. Namun, kritikus mengatakan susu ikan mungkin bukan alternatif terbaik bagi anak-anak, mengingat kadar gulanya tinggi dan kurang dukungan ilmiah yang memadai mengenai manfaat kesehatan jangka panjang.

Susu ikan adalah produk berbasis protein ikan yang diolah hingga menyerupai susu. Meskipun namanya 'susu ikan', produk ini sebenarnya tidak berasal dari kelenjar susu seperti pada susu sapi atau susu kambing, melainkan dari ekstraksi protein ikan. Jadi, bukan hasil perah ikan. 

Protein daging ikan segar  dengan memanfaatkan ikan rendah ekonomi seperti petek, selar, tamban, dan belok, diekstrak (hidrolisis), lalu ditambahkan sejumlah bahan, sebelum diseduh. 

Susu ikan ini pertama kali dirilis pada Agustus 2023, hasil kemitraan Koperasi Nelayan Mina Bahari (Indramayu) dengan PT Berikan Teknologi Indonesia, yang diresmikan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (MenKopUKM), Teten Masduki.

Susu ikan dianggap sebagai solusi yang lebih ekonomis dan mungkin lebih ramah lingkungan dibandingkan susu sapi. Namun, peneliti ahli utama Pusat Riset Bioindustri Laut dan Darat, Badan Riset, dan Inovasi Nasional (BRIN) Profesor Ekowati Chasanah mengatakan bahwa 'susu ikan' yang merupakan produk turunan dari hidrolisat protein ikan (HPI) tak dapat menggantikan protein yang ada pada susu sapi, hanya bisa dijadikan alternatif tambahan yang menawarkan manfaat gizi khusus dari protein ikan. 

Dokter sekaligus Ahli Gizi Tan Shot Yen mengatakan, susu ikan sebenarnya merupakan  produk olahan yang justru dapat menghilangkan 'esensi' dari makanan dan minuman bergizi. Alih-alih dibuat susu, ikan lebih baik dikonsumsi langsung tanpa harus melalui berbagai proses produksi. Selain harga ikan lebih murah dan bergizi, pengolahan ikan menjadi ekstrak  akan merusak kandungan gizi dan memunculkan masalah penyakit, seperti obesitas, diabetes, jantung, dan gangguan kesehatan lainnya.

Program makan bergizi gratis (MBG) yang dijanjikan oleh pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming memang baru akan diresmikan saat akan memimpin Indonesia di bulan Oktober ini. Nyatanya, program ini banyak menuai kritik karena akan memakan paling tidak Rp100 trilliun pada tahun pertamanya, bahkan akan dapat mencapai Rp460
triliun setahunnya ketika sudah dilaksanakan secara penuh tahun 2029.

Dari awal, Bank Dunia menyuarakan kekhawatirannya mengenai program ini. The Sydney Morning Herald, majalah asal Australia melaporkan bahwa para pengamat  mempertanyakan apakah negara ini mampu membiayai program tersebut. Bahkan, dalam artikel berjudul 'An Election Promise of Free Food May End Up with Fish Milk on the Menu', koran negeri Kanguru itu menyoroti rencana mengganti menu susu sapi dengan susu ikan demi menekan anggaran yang bengkak. 

Padahal, saat kampanye pilpres lalu, anggaran makan siang gratis per porsi diproyeksikan sebesar Rp15.000. Kini kemungkinan akan dipangkas menjadi Rp7.500 per porsi. Lantas, akankah program pemberian makan siang dan susu gratis ini dapat terwujud untuk memenuhi gizi generasi?

Berangkat dari isu stunting dan gizi buruk, serta isu ketahanan pangan yang merupakan isu global, pasangan Prabowo-Gibran memberi solusi  dengan wacana program makan siang gratis, susu gratis, dan susu ikan gratis. Tujuan  program ini adalah untuk meningkatkan  kualitas gizi dan pendidikan  anak-anak Indonesia. Selain itu, program tersebut diharapkan dapat menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan  kualitas hidup bagi generasi  mendatang di Indonesia. 

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memetakan multiplayer efek dalam menggunakan susu ikan pada program makan bergizi gratis, mulai dari Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang bisa naik kelas hingga menyerap tenaga kerja hingga ratusan ribu orang. 

Kebijakan mengganti susu sapi dengan susu ikan secara tidak langsung telah memberi kesempatan, bukan pada UMKM, tetapi pada korporasi untuk meraup keuntungan. Saat ini tidak banyak industri dalam negeri yang memproduksi bubuk HPI (susu ikan), karena proses hidrolisis enzim protein ikan membutuhkan biaya mahal, proses panjang, dan pemanasan bersuhu tinggi. Teknologi dan modal yang dibutuhkan sangat besar untuk bisa dipenuhi UMKM, sehingga terbuka peluang bagi industri susu atau penyedia pangan dari luar negeri untuk melakukan investasi di Indonesia, seperti Jepang dan Australia yang merespons positif program ini.

Jelas, inilah bukti pemerintah berlepas diri dari tanggung jawab untuk memenuhi gizi generasi, maupun membantu petani skala kecil dan produsen pangan lokal untuk meningkatkan ketahanan pangan dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja. 

Dimensi kebijakan seolah untuk rakyat, padahal memberi peluang usaha kepada banyak korporasi dan oligarki. Nyatanya, negara hanya menunggangi isu generasi untuk menyukseskan proyek industrialisasi. Program MBG dalam sistem demokrasi kapitalis saat ini hanya dijadikan ajang bisnis para kapitalis untuk meraup cuan, rakyat sekadar menjadi tumbal.

Masalah stunting yang telah menjadi masalah nasional akibat rendahnya gizi anak,  pemenuhan gizinya tidak dapat terselesaikan hanya dengan pemberian makan gratis bagi anak-anak sekolah, jika tidak disertai dengan kebijakan pemerintah di berbagai sektor yang lain. Semisal pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, seperti kemudahan dalam pendidikan dan pelayanan kesehatan. Juga kemudahan rakyat dalam mendapatkan lapangan pekerjaan, biaya hidup dan kebutuhan pokok yang terjangkau, serta pelayanan masyarakat lainnya. Hal-hal tersebutlah yang berkontribusi secara langsung terhadap munculnya kemiskinan, yang menjadi sebab tingginya kasus stunting.

Oleh karena itu,  pemerintah seharusnya lebih serius dalam memberantas penyebab kemiskinan rakyat, dengan membuat kebijakan yang pro-rakyat bukan pro-kapitalis. Hal tersebut tidak akan pernah terwujud kecuali jika penerapan sistem demokrasi kapitalisme yang diterapkan di negeri ini diganti dengan sistem yang memiliki konsep ri'ayah su'unil ummah (pengaturan urusan umat/rakyat) dalam kebijakan negara, yaitu sistem Islam.

Islam sebagai sistem sahih yang berasal Allah Swt. mewajibkan pemimpin negara mewujudkan generasi yang berkualitas. Pemimpin ibarat penggembala, pelayan yang harus mengurusi seluruh kebutuhan rakyat. Ini bertolak belakang dengan pemimpin dalam sistem demokrasi sekarang yang berperan sebagai regulator dan fasilitator saja. 

Negara yang menerapkan sistem Islam atau khilafah akan menjamin setiap individu untuk dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidup, baik pangan, sandang, maupun papan dengan memberikan pekerjaan yang layak.

Ditambah lagi penyediaan layanan kesehatan, pendidikan, serta keamanan secara murah ataupun gratis kepada rakyat. Hal ini dapat terwujud dengan pengelolaan sumber daya alam, baik tambang maupun lainnya yang serius dikelola negara dan hasilnya diberikan untuk rakyat, bukan oleh dan untuk korporasi, swasta asing maupun aseng, apalagi ormas.

Selain itu, Islam memiliki mekanisme pemasukan anggaran untuk baitul mal dari harta ganimah, anfal, fai, khumus, kharaj, jizyah, dharibah, serta zakat. Seluruh harta tersebut akan dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan rakyat. Dengan ini, khilafah akan mampu membangun peradaban generasi berkualitas dan gemilang. Wallahu'alam Bishawwab.


Oleh: Thaqiyunna Dewi, S I.Kom
Sahabat Tinta Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :