Tinta Media - Dewasa ini, pembelian air bersih atau air minum dalam kemasan (AMDK) sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan masyarakat Indonesia dengan harga bervariasi. Padahal, jika merujuk pada Undang undang 1945. Air adalah kekayaan alam yang harus dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat, sehingga seharusnya dapat diakses dan dinikmati secara gratis oleh semua warga negara.
Saat ini perusahaan air bersih atau AMDK di Indonesia, dominan dipegang oleh perusahaan asing dan perusahaan lokal yang besar milik para konglomerat. Mereka mendapat Izin pemerintah untuk mengelola sumber air dan menawarkan produk mereka kepada masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, artinya perusahaan tersebut hanya memproses air dan menerima keuntungan yang besar, sementara masyarakat Indonesia hanya menjadi konsumen akhir. Tentu saja ini sangat merugikan bagi masyarakat Indonesia.
Menurut mantan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, kebiasaan membeli air kemasan, seperti galon, menggerus pendapatan secara tidak sadar karena mengandalkan segala sesuatunya pada air galon dan air dalam kemasan lainnya. Hal ini tidak terjadi di beberapa negara maju, warga kelas menengah terbiasa mengonsumsi air minum yang disediakan pemerintah di tempat umum, sehingga mereka tidak perlu mengeluarkan uang.
(https://moneytalk.id/2024/09/01)
Di Indonesia, kecenderungan membeli air bersih dalam kemasan, terutama galon, sudah menjadi budaya sulit diubah, meskipun banyak sumber daya alam seperti mata air dan gunung yang bisa menghasilkan air bersih yang sangat baik untuk kesehatan. Sayangnya, masih banyak daerah di Indonesia yang belum memiliki akses yang memadai terhadap sumber air bersih. Menurut data Kementerian Kesehatan Indonesia, hanya sekitar 60% populasi Indonesia yang memiliki akses ke air bersih yang layak, sisanya harus bergantung pada sumber air yang berpotensi mengandung kuman atau bahan kimia berbahaya untuk dikonsumsi.
Kerusakan semacam ini tidak terjadi secara alamiah, melainkan terkait dengan sistem ekonomi politik yang hanya fokus pada keuntungan individu, yaitu kapitalisme. Sebuah sistem ekonomi kapitalisme didasarkan pada kepemilikan individu atau perusahaan atas sumber daya dan produksi. Dalam sistem ini, tujuan utama adalah memaksimalkan keuntungan. Meski dengan cara mengeksploitasi alam dan merusak keseimbangan ekologisnya.
Kapitalisme juga secara terang-terangan menghilangkan paradigma air sebagai hak dasar atau kebutuhan primer bagi masyarakat. Di Indonesia, misalnya, masyarakat harus membeli air layak konsumsi yang dikelola oleh perusahaan swasta atau pelat merah. Sementara Masifnya pembangunan, deforestasi, dan buruknya budaya masyarakat juga telah berdampak pada kerusakan kualitas air.
Namun pemerintah saat ini malah menyerahkan tanggung jawab pengelolaan air kepada korporasi dengan menawarkan proyek investasi di sektor air, yang dipastikan berorientasi keuntungan dan bukan pelayanan yang sejatinya menjadi tugas kepemimpinan. Investasi yang hanya menguntungkan para pemilik modal, bahkan membuka jalan penjajahan, adalah hasil dari paradigma kapitalisme liberal yang diterapkan saat ini.
Dengan demikian masalah yang timbul saat ini tidak bisa dipisahkan dari kebijakan pemerintah yang masih terus menjadikan kapitalisme sebagai asas bernegara. Sementara dalam sistem tersebut, peran negara sangatlah lemah, karena tidak terlibat langsung dalam pengambilan keputusan ekonomi, hanya sebatas memberikan kerangka hukum dan peraturan yang diperlukan dalam menunjang kepentingan kapitalisme. Padahal, pengelolaan air seharusnya menjadi tanggung jawab negara, termasuk membangun infrastruktur, fasilitas dan sumber daya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi seluruh populasi masyarakat secara cuma-cuma
Jika kita menilik pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 disebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.
Hal tersebut senada dengan cara pandang Islam mengenai sumber daya air, yang termasuk dalam kepemilikan umum. Dan tidak boleh diperdagangkan atau dikomersialisasi. Dalam salah satu hadits, Rasulullah Saw menyampaikan bahwa umat muslim bersatu dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.
Pada era Islam, pengelolaan air menjadi sangat penting dan menjadi fokus utama, terlebih karena wilayah-wilayah yang didominasi Islam pada saat itu berada di daerah yang kering dan sangat membutuhkan akses air. Oleh karena itu, peningkatan sistem pengelolaan air menjadi salah satu kunci kemajuan peradaban pada masa tersebut.
Beberapa sistem pengelolaan air yang dikembangkan pada masa Islam seperti sistem qanat, bawah tanah tunnel yang digunakan untuk mengalirkan air, juga iwans, bangunan terbuka yang digunakan untuk menampung dan menyaring air hujan. Di samping itu, sistem irigasi juga menjadi sangat penting dalam pengelolaan air pada masa tersebut, yang memungkinkan lahan-lahan pertanian ditanami dan dikelola dengan baik.
Teknik pengelolaan air seperti yang dilakukan pada masa pemerintahan Islam bisa dibilang sebagai cikal bakal teknologi modern pengelolaan air untuk saat ini. Meskipun telah berabad-abad lamanya, namun peninggalan-peninggalan tersebut masih berdiri dengan kokoh dan dapat digunakan sampai saat ini. Hal ini menunjukkan keahlian bangsa Muslim pada masa lalu dalam pengelolaan air yang sangat baik. Sehingga mampu membawa bangsanya pada peradaban yang maju dan menyejahterakan rakyatnya
Namun, akibat sistem ekonomi kapitalisme yang dipegang teguh oleh Indonesia menjadi penghalang dalam mencapai tujuan tersebut.
Maka solusi penyelesaiannya adalah meninggalkan sistem kapitalisme dan beralih ke sistem Islam, karena hanya dalam Islam aturan kepemilikan terbagi dengan jelas, di tambah lagi Islam juga telah terbukti, ketika memimpin dunia pada masa kejayaannya, memiliki sistem pengelolaan air yang canggih dan berhasil menyediakan akses air terjamin untuk semua dan tidak dikomersialisasikan sebagai barang dagangan.
Wallahu alam.
Oleh: Indri Wulan Pertiwi, Aktivis Muslimah Semarang