Tinta Media - Baru saja dilantik menjadi anggota dewan, sejumlah Anggota DPRD di Jawa Timur ramai-ramai gadaikan Surat Keputusan (SK) pengangkatannya ke bank. Hal ini menunjukan bahwa ada beban berat yang harus mereka tanggung selama proses pemilihan atau kampanye yang membuat mereka harus mengeluarkan banyak biaya. Inilah potret mahalnya biaya politik dalam demokrasi. (detik.Jatim 7/9/2024).
Sungguh memperihatinkan, tidak hanya di Jawa Timur, tetapi di beberapa wilayah lain juga mengalami kejadian yang sama. Salah satunya di Subang. Sejumlah Anggota DPRD yang baru saja dilantik pada tanggal 4/9/2024 kedapatan menggadaikan SK ke bank sebagai agunan. Besarnya pinjaman pun beragam mulai dari 500 juta hingga 1 miliar (republika.co.id 7/9/2024)
Fenomena ini wajar terjadi di negara yang mengemban sistem demokrasi. Dalam sistem ini, uang dan materi menjadi ukuran kesuksesan. Jadi, tidak heran apabila membutuhkan biaya yang tidak sedikit dalam proses kampanye calon anggota dewan.
Calon anggota legislatif harus mengeluarkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit untuk membiayai proses pemenangannya. Akibatnya, mereka harus segera berupaya untuk dapat melunasi utangnya setelah terpilih.
Politik Berbiaya Mahal
Ada beberapa faktor yang bisa menjadi alasan mereka menggadaikan SK, antara lain:
Pertama, tentu saja beban keuangan yang tinggi selama proses kampanye, seperti perjalanan ke daerah pilihan, penyediaan peralatan kampanye, pembiayaan tim sukses, dan lainnya.
Kedua, gaya hidup hedonis yang tentu saja membutuhkan biaya banyak, sehingga mendorong mereka untuk mencari sumber pembiayaan lain.
Ketiga, utang kepada pihak tertentu yang telah membiayai kampanye, sehingga saat sudah terpilih harus segera dikembalikan.
Politik yang berbiaya mahal ini telah menciptakan ikatan seperti benang kusut yang sulit diurai. Mau tidak mau, para calon harus mengeluarkan biaya mahal untuk membiayai kegiatan-kegiatan dalam masa kampanye. Maka, banyak di antara mereka yang mencari pinjaman dana atau sokongan dari para pengusaha atau pemodal untuk membiayai semua kegiatan mereka.
Akibatnya, setelah terpilih, akan timbul persoalan lain, yaitu mereka harus mengembalikan modal yang telah digelontorkan atau bahkan harus membalas budi kepada para pemodal yang sudah ikut menyokong pembiayaan selama mereka kampanye.
Dampaknya, tentu saja akan berpengaruh terhadap kinerja, bahkan berpotensi memengaruhi keputusan politik mereka. Sehingga, mereka tidak lagi bekerja demi rakyat, tetapi demi uang, karena tidak ada yang gratis dalam negara dengan sistem demokrasi kapitalis ini.
Para pemodal yang telah menyokong mereka dalam proses pemilihan, tentu saja akan menagih utang budi dan akan memaksa calon yang sudah terpilih untuk membuat aturan sesuai dengan keinginan mereka. Jadi, sebenarnya mereka mewakili rakyat yang mana, rakyat yang telah memilihnya atau yang telah mendanainya?
Potret sistem demokrasi yang rusak inilah yang menjadi akar permasalahan sebenarnya. Akan tetapi, masyarakat masih tetap meyakini bahwa sistem ini adalah yang paling baik, karena dianggap melibatkan rakyat dalam menjalankan proses berpolitik.
Rakyat, melalui wakilnya dalam dewan dianggap sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Padahal, kenyataannya mereka hanya membawa suara rakyat yang telah ikut menyokong pembiayaan pada masa kampanye (pengusaha), bukan rakyat pada umumnya atau rakyat kecil yang tidak bermodal.
Selama ini, yang dianggap bermasalah adalah individu atau pelaku dalam sistem demokrasi, baik dalam pemerintahan maupun dalam dewan perwakilan rakyat. Padahal, akar permasalahan yang sebenarnya adalah sistem demokrasi itu sendiri.
Siapa pun pemain dalam sistem ini akan terjebak dalam kerusakan yang ditimbulkannya. Jadi, sebaik apa pun manusianya, tentu akan menjadi rusak karena mengemban sistem yang rusak.
Demokrasi adalah sistem buatan manusia yang lemah dan terbatas, sehingga aturan yang digunakan pun akan lemah dan terbatas. Aturan ini bahkan cenderung berubah-ubah sesuai dengan keinginan pihak tertentu, yaitu para pemilik modal bukan rakyat. Jadi, masih layakkah sistem ini dipertahankan?
Pemerintahan dalam Islam
Islam merupakan agama dengan sistem kehidupan sempurna yang telah diturunkan oleh Allah Swt. Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan Sang Pencipta (Hablumminallah), tetapi juga mengatur hubungan antara sesama manusia (Hablumminannas).
Allah menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan lengkap dengan buku panduannya, yaitu Al-Qur'an. Tidak hanya itu, Allah Swt. juga memberikan role model yang sempurna sebagai contoh, bagaimana menjalani kehidupan di dunia ini, yaitu Rasulullah Saw.
Jadi, manusia tidak perlu lagi repot membuat peraturan dan bingung memilih contoh tokoh yang patut ditiru dalam kehidupan ini, karena semua sudah lengkap diberikan oleh Allah.
Pun dalam hal berpolitik, Islam memberi tuntunan bahwa jabatan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Dalam politik Islam, akidah dan syariat menjadi landasan utama, berdasarkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Dengan demikian, manusia tidak akan mengejar jabatan hanya demi kehidupan di dunia saja.
Dalam sistem pemerintahan Islam, ada Majelis Umat (MU) yang beranggotakan wakil-wakil rakyat yang fungsinya adalah memberikan pendapat dan masukan kepada Khalifah (pemimpin) sebagai rujukan dalam berbagai permasalahan. MU juga melakukan kontrol dan koreksi (muhasabah) terhadap Khalifah dan para pejabat pemerintah (Al-Hukam).
MU merupakan wadah atau perantara yang menyampaikan aspirasi umat. Mereka dipilih karena kepercayaan dan kapabilitasnya, bukan karena pencitraan, sehingga tidak memerlukan biaya mahal dalam proses pemilihannya.
Dalam sistem pemerintahan Islam, ada juga syura, yaitu hak rakyat terhadap penguasa untuk menyampaikan pendapat. Berbeda dengan parlemen dalam demokrasi, dalam Islam, MU tidak menentukan kebijakan, tetapi hanya melakukan kontrol dan koreksi saja terhadap Khalifah. Ini berbanding terbalik dengan parlemen dalam demokrasi yang salah satu tugasnya adalah membuat aturan atau kebijakan. Sudah sentu aturan ini akan berubah-ubah sesuai dengan keinginan pihak tertentu atau berdasarkan pesanan pihak-pihak yang sudah menyokong para wakil rakyat yang terpilih.
Dengan demikian, dalam sistem Islam tidak ada wakil rakyat yang harus terpaksa menggadaikan SK setelah terpilih, karena mereka tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar dalam proses pemilihan. Mereka dipilih karena kepercayaan dan kemampuan, sehingga akan bekerja untuk kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat dengan hanya mengharapkan rida Allah Swt.
Sudah jelas bahwa hanya dengan kembali pada penerapan Islam secara kafahlah kita akan mendapatkan wakil rakyat yang amanah sehingga akan terwujud baldatun thayyibantun wa rabbun ghafur.
Oleh: Rini Rahayu
(Pegiat Dakwah Peduli Umat)