FDMPB Ungkap Cara Islam Membasmi Korupsi - Tinta Media

Sabtu, 21 September 2024

FDMPB Ungkap Cara Islam Membasmi Korupsi

Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra mengungkap cara Islam membasmi korupsi.

"Diterapkan syariah Islam sebagai satu-satunya sistem hukum yang semestinya berlaku di negeri ini, karena penerapan syariah Islam akan sangat efektif untuk membasmi korupsi, baik terkait pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif)," ungkapnya.
 
Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib yang amanah serta berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme.

"Tentang sikap amanah, Allah SWT telah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Jangan pula kalian mengkhianati amanah-amanah kalian padahal kalian tahu (TQS al-Anfal [8]: 27)," terangnya.

Ia mengutip hadist al-Bukhari, Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengurus dan bertanggung jawab atas rakyat yang diurus.

Tujuannya, Ahmad ingin mengilustrasikan antara sekian banyak amanah, yang paling penting adalah amanah kekuasaan.

Lalu terkait profesionalitas dan integritas, Rasulullah antara lain pernah bersabda, "Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat." (HR Bukhari). 

Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya.

"Rasulullah mengingatkan Sahabat Muadz bin Jabal ketika beliau hendak bertugas menjadi âmil (kepala daerah setingkat bupati) di Yaman," ujarnya .

Ahmad menerangkan TQS Ali Imran [3]: 161, sebagai dasar argumennya, "Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena hal itu adalah ghulûl (khianat). Siapa saja yang berkhianat, pada Hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu."
 
Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya.

Ia menyampaikan sabda Nabi Muhammad SAW. yang diriwayatkan oleh Ahmad, "Siapa saja yang bekerja untuk kami, tetapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Jika tak punya istri, hendaklah dia menikah. Jika tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan." 

Keempat, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Ia mengutip dari sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Hakim, "Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulûl."
 
"Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, hukumnya haram, dan suap yang diterima hakim merupakan kekufuran, apa pun bentuknya merupakan harta ghulûl dan hukumnya haram," tuturnya.
 
Kelima, Islam memerintahkan untuk melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara.

Ia mencontohkah, bagaimana Khalifah Umar bin Khaththab ra. biasa menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.

"Jika Umar ra. mendapati kekayaan seorang wali atau 'âmil (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar, beliau meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usul harta tambahan tak wajar tersebut," ungkapnya.

Lantas ia mengutip dari Ibnu 'Abd Rabbih, Al-'Iqd al-Farîd, I/46-47, apabila penjelasannya tidak memuaskan, kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan ke Baitul Mal. Hal ini pernah beliau lakukan kepada Abu Hurairah, Utbah bin Abu Sufyan juga Amr bin al-'Ash
 
Keenam, pengawasan oleh negara dan masyarakat. "Pemberantasan korupsi tentu akan menjadi lebih sempurna jika disertai dengan kontrol dari masyarakat, khususnya para ulama," terangnya.
 
Adapun secara kuratif maka membasmi korupsi dilakukan dengan cara penerapan sanksi hukum yang tegas dan tanpa tebang pilih.

"Dalam Islam hukuman untuk koruptor masuk kategori ta'zîr, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim/penguasa," imbuhnya.

Kemudian mengutip dari Abdurrahman al-Maliki, dalam kitab Nizhâm al-'Uqûbât, hlm. 78-89, bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan seperti teguran dari hakim; bisa berupa penjara, pengenaan denda atau pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhîr); bisa hukuman cambuk; hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati.

"Berat ringannya hukuman ta'zîr ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan," pungkasnya. [] Novita Ratnasari

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :