Tinta Media - Meskipun statusnya telah menjadi guru SMA Harapan, Batam, penampilannya tidak berubah: Celana kain, kemeja pendek dengan manset panjang, dan kerudung tipis terlilit di leher, saat hendak pergi mengajar atau bepergian ke mall. Bila sekadar ke tetangga hanya mengenakan baju tidur lengan pendek dan celana panjang.
"Beli lah Bun rok! Satu saja gak apa-apa. Bunda lebih anggun lo kalau memakai rok, apalagi sudah menjadi guru," kata lelaki berambut ikal itu, yang tidak lain adalah Ahmad Riyanto, suaminya Nur Salamah.
"Nggak nyaman pakai rok, apalagi rok span," jawab perempuan berkulit kuning langsat itu seadanya.
Namun berbeda, setelah dirinya mengikuti OBSESI (Obrolan Seputar Syariat Islam) secara rutin, di Masjid Baitul Iman, Simpang Basecamp arah Marina, yang diselenggarakan oleh takmir masjid, setiap Malam Ahad dan menjadi staf pengajar di Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah pada tahun 2013, penampilannya berubah.
Dia tidak akan pernah keluar rumah kecuali dengan mengenakan jilbab dan kerudung lebar serta kaos kaki secara sempurna. Bahkan, perempuan kelahiran Nganjuk, 1 Agustus 1982 kini mengikuti jejak suaminya, bersama meniti jalan perjuangan dan dakwah demi tegaknya Islam Kaffah.
Hingga pada suatu waktu, Ahmad Riyanto memiliki kesempatan silaturahmi ke Jawa. Dia mengajak istrinya berkunjung ke rumah salah satu sahabat sekaligus musrifnya saat masih kuliah di ITATS (Institut Teknologi Aditama Surabaya), yaitu Ustaz Ainun.
_"Loh Kon mbojo maneh ta?"_ Celetuk sosok yang saat itu menjadi staf di Yayasan Pondok Pesantren Al-Ihsan, Baron, Jawa Timur ini dengan setengah bisik-bisik.
_"Nggak lah. Siji ae ra ngentekno,"_ jawab Ahmad dengan santai. Sayup-sayup terdengar oleh perempuan di belakangnya, mengenakan jilbab biru dongker dan kerudung biru langit, yang tidak lain adalah istri Ahmad.
_"Lo, berarti iki bojomu sing biyen?"_ Masya Allah. _Pangling_ . Berubah drastis.
Ustaz Ainun, yang memiliki nama lengkap Ainun Najib adalah salah satu orang yang tahu persis lembaran kisah cinta terlarang antara Ahmad Riyanto dan Nur Salamah.
Masa Lalu
Perempuan yang akrab dipanggil Mamak Naila ini, merasa tidak bersalah dengan caranya berpakaian. Malah merasa bangga dengan _style_ nya. Merasa modis dan terawat. Tak jarang ia bersikap sinis dengan orang-orang yang mengenakan cadar. "Gak modis blas. Jik enom kok nganggo sandangan koyo karung," gumamnya dalam hati.
Makanya ketika masih menjadi mahasiswa di jurusan Pendidikan Tata Boga, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Surabaya, melihat ada salah satu temannya mengenakan kerudung dan rok panjang, jiwa usilnya keluar. "Ustiz!" Begitu dia memanggil. Padahal nama temannya tersebut adalah Febri Diah Mumpuni.
Masih ada lagi tingkah polah mahasiswi Teknik Industri Kerumahtanggaan ini. Melihat adik kelasnya yang sangat idealis, tetap dengan pendiriannya. Tidak mau dan tidak akan menanggalkan gamisnya saat ada mata kuliah wajib PKL di hotel, merasa geram.
Seketika Nur Salamah berkomentar. "Emang ada ya hotel yang mau menerima mahasiswa pakai jubah kayak sampean ini? Terus kalau ternyata nggak dapat hotel gimana PKL sampean? Bisa gak lulus lah. Ngapain sih gitu banget. Hidup mbok yang realistis saja," ucap Nur Salamah dengan wajah jutek.
"Gak apa-apa Mbak. Andaikan aku harus di DO karena pakaianku ini, aku ikhlas," jawab juniornya dengan tenang tanpa keraguan.
Mendengar jawaban adik kelasnya itu, Nur Salamah muak. "Alah, sok suci banget. Hidup mbok yang realistis. Apa gak kasihan sama orang tuanya. Sudah semester akhir, nanti bisa kena DO, karena gak ada tempat dia PKL gegara memakai gamis. Dasar bocah gak mikir," gumamnya dengan sejuta kekesalan kala itu.
Pemahaman Jilbab dan Tantangannya
Meskipun lembaran kehidupan masa lalunya cukup kelam, namun ada sisi kehidupan Nur Salamah yang lain seakan mendorong dirinya untuk berubah menjadi lebih baik.
Rasa jenuh dan bosan itu hadir dan terus menggelayut dalam angan-angannya. Tidak tahu apa yang diinginkan. Gairah hidup terasa suram. Padahal, gelar akademik dan pekerjaan suami juga sudah cukup mapan sebagai engineer. Hal ini juga salah satu yang menjadi pendorong dirinya menghadiri acara OBSESI.
Saat acara OBSESI (Obrolan Seputar Syariat Islam) asuhan Ustaz Agus Supriatna berlangsung, secara tidak sadar dia diajak ngobrol bisik-bisik oleh salah satu peserta lain yang bernama Buk Qosim. Diajaknya Nur Salamah ini untuk ikut kajian intensif sepekan sekali.
Sekali, dua kali hingga beberapa pekan setelah mendapatkan penjelasan secara detail dari musrifahnya yakni Teh Fatimah mengenai akidah Islam dan kewajiban terikat terhadap syariah, maka beberapa bulan setelah pertemuan itu, ia pun langsung bersedia mengamalkan Al-Qur’an surah Al-Ahzab ayat 59, yakni perintah berjilbab (menggunakan baju terusan, seperti terowongan, tidak berpotongan, tidak ketat dan menutup mata kaki (𝑖𝑟𝑘ℎ𝑎), serta mengenakan kerudung (𝑘ℎ𝑖𝑚𝑎𝑟) penutup kepala sampai ke dada.
Hingga suatu ketika ia mendapatkan seragam PDH dan baju Melayu dari pihak yayasan. Karena bentuknya berpotongan, jelas tidak mungkin ia kenakan. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke penjahit, meminta tolong agar seragamnya disambung menjadi pakaian terusan (jilbab).
Tidak berhenti sampai di situ. Tsaqofah keilmuan yang dia dapat dari pertemuan rutin sepekan sekali, ia sampaikan kembali kepada teman-teman sekantor, tetangga dan sebagian wali murid.
Hingga suatu hari bertepatan dengan Hari Jumat, jadwal rapat pekanan kepala sekolah dan dewan guru SMP/ SMA Hidayatullah kampus 2. Ruangan berukuran 9X9M yang dingin dengan suasana AC, mendadak gerah. Otak serasa mendidih. Jantung seolah berhenti berdetak. Kepala sekolah yang terkenal santun dan ramah itu marah besar.
"Tidak beradab. Melawan kebijakan yang telah ditetapkan. Silakan kalau mau berbuat apapun. Seharusnya tidak perlu mengajak atau membuat propaganda kepada yang lain," ucap kepala sekolah dengan wajah merah padam.
Sontak, seluruh mata yang ada di ruangan itu tertuju pada Nur Salamah. Tatapan sinis dan acuh serta penuh dengan kebencian tercurah padanya. Meski perasaan dan hatinya bergejolak, ia mencoba untuk tetap tenang dan datar.
Naasnya, kabar kalau dirinya sering mengajak teman-teman sekantor, menyampaikan pemikiran Islam kepada mereka (berhalaqoh) sampai ada dua rekannya yang akhirnya mengikuti jejaknya menyambung baju PDH. Hal ini lah yang membuat kepala sekolah naik darah. Karena pakaian itu sifatnya hak pakai. Kalau sudah tidak menjadi karyawan di situ harus dikembalikan ke sekolah.
Situasi dan kondisi tidak nyaman itu terus Nur rasakan kurang lebih sekitar dua bulan. Kepala sekolah sama sekali enggan melihat dan bertemu dengannya. Begitu juga dengan sebagian besar teman-temannya.
Padahal, sebelumnya dia selalu diamanahi untuk membimbing dan mendampingi anak lomba FLS2N. Bahkan, dengan loyalitas dan kemampuannya dalam mengajar pernah dinobatkan menjadi guru berprestasi. Namun, karena sebuah pemikiran dan sikapnya yang sedikit berbeda membuat sebagian rekan sekantornya jaga jarak. Takut diajak diskusi atau halqoh.
Tidak nyaman adalah keniscayaan. Hari berganti bulan, dia lalui dengan sejuta perasaan tidak nyaman. Namun dia tetap teguh dan konsisten dalam memegang prinsip yang dianutnya. Dia tetap berupaya menjalankan amanah dengan baik. Tidak terlalu dipikirkannya situasi dan kondisi yang serba tidak nyaman. Seiring berjalannya waktu, bahkan dirinya tidak menyadari bahwa semuanya baik-baik saja.
Oleh: L. Nur Salamah
Sahabat Feature News