Tinta Media - Kasus KDRT seolah tidak pernah berhenti. Beragam motif KDRT terjadi, namun nihil solusi pasti hingga kini. Kasusnya kian darurat dan harus segera ditangani. Pasalnya kasus semakin marak dan melebar di setiap lini.
Kasus KDRT yang sering terjadi, dan lagi-lagi viral. Kini menimpa istri pegawai DJP (Direktorat Jenderal Pajak) di Bekasi. Pukul kepala berkali-kali, tendang hingga lempar gelas di depan anak balitanya. Karena pelanggaran etik yang dilakukannya, pegawai tersebut dikenai sanksi skorsing hingga proses hukum kasus KDRT, beres (detiknews.com, 26-8-2024). Tidak hanya kekerasan fisik, sang suami pun melakukan kekerasan psikis. Tak main-main, kekerasan fisik ini terjadi sejak kurun waktu tahun 2021 hingga 2023. Sementara kekerasan psikis terjadi pada Oktober 2023 hingga saat ini.
Perselisihan suami istri pun terjadi di Tangerang. Diduga karena masalah ekonomi, suami dengan tega menampar, menjambak bahkan mengancam istrinya menggunakan pisau (kumparan.com, 20-8-2024). Kasus KDRT yang juga masih hangat dalam ingatan. KDRT yang menimpa selebgram sekaligus mantan atlet anggar di Bogor. Pukulan, tendangan dan berbagai perlakuan kasar lain dilakukan suami terhadap istrinya. Parahnya lagi, anak bayi pun menjadi saksi KDRT yang terjadi.
Seolah menjadi tren, KDRT kian marak terjadi. Bak fenomena gunung es, kasusnya semakin banyak dan semakin bermunculan. Perilaku biadab suami kian menjadi-jadi. Beragam sebab mengemuka, mulai dari cekcok ekonomi, cemburu, perselingkuhan dan masalah rumah tangga lainnya.
Buruknya Konsep Kehidupan
Suami dengan tega melakukan kekerasan pada istrinya. Tanpa rasa takut atau bersalah. Kejamnya. Padahal mestinya suami adalah orang pertama yang menjaga ketenangan, kecukupan dan keamanan istri. Namun sayang, pola pikir dan pola sikap yang terlahir saat ini niscaya mengerucut pada satu bentuk tindakan yang tidak manusiawi.
Kehidupan saat ini menciptakan individu yang tidak memahami konsep iman. Dalam hal ini, suami sama sekali tidak memiliki bekal dalam kehidupan rumah tangga yang harus dibangun. Pola pikir yang cenderung instan dan ingin serba cepat, menjadikan suami memiliki sikap yang tidak sabaran. Alhasil, emosi dijadikan pelampiasan dan ditumpahkan habis-habisan kepada istri. Tentu saja, hal ini dilarang. Karena menzalimi istri lahir dan batin.
Selain itu, beragam kesulitan dalam hidup menjadikan suami memiliki beban yang berat. Kesejahteraan sulit diakses. Sementara, suami yang terkategori cukup secara ekonomi dan tetap melakukan KDRT, memiliki sebab-sebab yang lebih sistemik. Misalnya karena ego. Keyakinan terkait kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan merefleksikan tindakan yang keliru. Perempuan dianggap sebagai makhluk lemah dalam penguasaannya, sehingga bebas diperlakukan apa saja. Inilah yang marak terjadi.
Kehidupan yang menyandarkan aturan pada konsep sekularisme mengakibatkan lemahnya sikap dan cara pandang seseorang terhadap individu. Terutama dalam hubungannya dengan orang terdekat, yakni istri. Sekularisme telah menjauhkan aturan agama dalam kehidupan. Standar perilaku dijauhkan dari aturan agama. Aroma kebebasan menjadi jalan yang lebih disuka. Tindakan dilakukan sesuka hati demi memenuhi hawa nafsu, menumpahkan amarah tanpa kendali. Hubungan suami istri yang semestinya dilandasi rasa kasih sayang dan saling menghargai, seketika itu menjadi benci, dendam dan saling memusuhi.
Hubungan suami istri pun hanya akan melahirkan hubungan saling mengecewakan dan menimbulkan dendam. Jauh dari tujuan awal pernikahan yang mengharap sakinah, mawaddah warahmah.
Di sisi lain, kebijakan yang ditetapkan negara tidak mampu menyajikan solusi pasti. Undang-undang Perlindungan KDRT yang telah 20 tahun disahkan, terbukti tidak mampu meredakan kasus. Alasannya, sistem yang kini dijadikan sandaran, tidak mampu menjadi support system yang tepat untuk menerapkan aturan. Wajar saja, aturan yang ada sebatas aturan tertulis yang tidak mampu bertindak tegas dan bias dalam penerapannya.
Tidak hanya masalah regulasi, sistem sekularisme pun menciptakan edukasi yang minim hasil. Edukasi yang kini diterapkan tidak mampu menjadi perisai yang meredam perilaku kejam individu. Konsep edukasi yang kini diadopsi sama sekali tidak dihubungkan dengan keterikatan individu dengan aturan Dzat Pencipta. Wajar saja, sikap buruk menjadi kiblat perilaku dan pemikiran individu. Sikap buruk ini pun semakin rusak karena lemahnya kontrol sosial di tengah masyarakat. Masyarakat yang serba cuek dan acuh membentuk pola pikir masyarakat yang bebas dan bablas ala liberal sekularisme.
Sempurnanya Penjagaan Islam
Suami istri bagaikan satu tubuh yang berfungsi saling penjaga. Pendidikan terkait fungsi dan peran suami dan istri dalam institusi keluarga harus mampu diwujudkan. Tujuannya, agar kedua belah pihak memahami semua kewajiban dan hak yang mesti dipenuhi. Sehingga mampu selaras dan harmonis dalam meniti biduk rumah tangga. Badai dan gelombang pasti datang. Jika bekal sudah dimiliki, niscaya lautan cobaan pun akan mudah dilalui bersama dengan bekal ketundukan kepada Allah SWT.
Suami sebagai pemimpin keluarga, harus mampu menempatkan diri sebagai pemimpin yang tangguh namun tetap lembut dalam berkomunikasi dan mengingatkan segala bentuk kekurangan dna kesalahan yang dilakukan istri. Begitu pula sebaliknya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”
(QS. Ar-Rum: 21)
Fungsi keluarga mampu utuh diwujudkan dalam satu institusi negara dengan support system yang mampu menciptakan suasana yang kondusif demi tercapainya tujuan kehidupan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.
Khilafah merupakan satu-satunya lembaga yang mampu menjamin terwujudnya tujuan tersebut. Khilafah dalam sistem Islam yang menerapkan aturan syariat Islam mampu diterapkan secara utuh dan menyeluruh. Masyarakat terus diedukasi dengan pendidikan berbasis akidah Islam. Pendidikan yang senantiasa mengutamakan hubungan antara individu dengan Allah SWT. Sehingga setiap aturan syariat menjadi perisai kuat dan terdepan dalam menjaga anggota keluarga dari segala bentuk kezaliman.
Negara pun memiliki fungsi penting dalam penjagaan setiap nyawa individu rakyatnya, melalui regulasi ditetapkan dengan tegas dan jelas agar kasus kekerasan tidak terus berulang. Segala bentuk regulasi yang ditetapkan dilengkapi dengan sistem sanksi yang mampu menjerakan. Semua ditetapkan demi penjagaan yang utuh setiap individu dalam keluarga dan masyarakat.
Rasulullah SAW. Bersabda,
“Imam adalah ra’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya” (HR. Al Bukhori).
Penguasa adalah penjaga keamanan dan ketenangan rakyatnya. Dalam sistem yang terintegrasi dengan aturan Allah SWT., niscaya akan diraih perlindungan yang sempurna bagi setiap individu. Fungsi keluarga senantiasa terlaksana amanah dalam tatanan yang sakinah.
Wallahu’alam bisshowwab.
Oleh: Yuke Octavianty, Forum Literasi Muslimah Bogor