Tinta Media - Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengusulkan agar rasio anggaran pendidikan mengacu pada pendapatan bukan pada APBN secara keseluruhan. Usulan tersebut secara langsung akan mengubah kebijakan dana pendidikan sebesar 20 persen (cnbcindonesia.com, 10-9-2024). Kebijakan tersebut akan mengaburkan penggunaan anggaran pendidikan tahun depan guna membiayai program makan siang, yang digadang-gadang sebagai program andalan presiden terpilih.
Menyoal wacana kebijakan tersebut, Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), menilai kebijakan mandatory spending tersebut penting untuk jangka panjang dan seharusnya tidak diubah (ekonomi.bisnis.com, 6-9-2024). Dana pendidikan yang sudah diplotkan sebesar 20 persen dari APBN, mestinya tidak diotak-atik. Bhima pun memaparkan, walaupun anggaran pendidikan sering dievaluasi karena dianggap tidak tepat sasaran, dan bahkan ada yang menilai terdapat indikasi korupsi, bukan berarti anggaran pendidikan harus dikurangi. Alasan pengurangan dana pendidikan pun dinilai tidak tepat. Mestinya, efektivitas program pendidikan diperbaiki, bukan malah mengurangi anggarannya. Tentu kebijakan tersebut bukanlah keputusan bijak.
Pendidikan dalam Tata Kelola Kapitalisme
Kontan, usulan Menteri Keuangan tersebut mendapatkan berbagai tanggapan kontroversi. Agenda politis menjadi sumber masalah yang mengacak-acak anggaran pendidikan. Pemerintah menganggap sebagian besar anggaran belanja dana pendidikan selama ini, tidak tepat sasaran. Klaim ini menciptakan kebijakan bahwa anggaran pendidikan perlu dipangkas.
Pernyataan Menteri Keuangan yang mengungkapkan perlu adanya tafsir ulang atas mandatory spending 20 persen anggaran pendidikan dalam APBN menunjukkan abainya negara terhadap nasib pendidikan rakyat. Di tengah masifnya masalah pendidikan yang terus muncul di negeri ini, kebijakan tersebut tentu bersifat kontraproduktif dengan fakta yang ada. Begitu banyak rakyat yang masih kesulitan mengenyam pendidikan dasar yang sebetulnya menjadi kewajiban negara dalam pemenuhannya. Kenyataannya, skema anggaran yang kini telah ditetapkan negara pun masih jauh dari kategori layak bagi standar pendidikan. Semua ini terbukti dengan banyaknya generasi putus sekolah, banyak juga yang tidak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi karena sandungan masalah biaya. Lantas, dengan alasan apa negara memutuskan untuk memangkas anggaran pendidikan untuk generasi?
Sayang sekali jika anggaran pendidikan harus dipangkas. Padahal investasi pendidikan merupakan tabungan jangka panjang dan sangat dibutuhkan rakyat.
Semua fakta ini membuktikan bahwa negara telah abai pada pendidikan rakyat. Negara ini telah sesat pikir saat menganggap anggaran pendidikan yang ada tidak tepat sasaran. Kebijakan terkait pendidikan rakyat terus “dioprek” demi memenuhi program ambisius penguasa.
Inilah tata kelola pendidikan dalam kendali sistem rusak. Sistem kapitalisme sekularistik. Sistem yang menyandarkan segala bentuk kebijakannya hanya pada manfaat dan keuntungan materi. Lagi-lagi, penguasa selalu menjadikan kewenangannya sebagai senjata untuk mewujudkan program ambisiusnya. Tanpa memandang dampak yang dilahirkan dari kebijakan tersebut. Kepentingan rakyat terlalu sering dilalaikan. Karena dalam sistem ini rakyat tidak diposisikan sebagai prioritas yang harus dijaga. Wajar saja, kebijakan yang ada pun tidak pernah diorientasikan untuk memenuhi kepentingan rakyat.
Jelaslah, sistem kapitalisme sekularistik ini sama sekali tidak mampu mengurusi rakyat. Kebijakannya yang menzalimi rakyat telah cukup mengategorikan sistem rusak ini sebagai sistem yang tidak manusiawi mengurusi manusia.
Pendidikan dalam Islam
Islam menekankan bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan primer rakyat yang wajib dipenuhi negara. Islam yang diterapkan sebagai konsep ideologi akan menempatkan umat sebagai satu-satunya tujuan pelayanan yang optimal oleh negara.
Negara senantiasa mengutamakan perannya sebagai pengurus (ra’in) sekaligus perisai (junnah) bagi seluruh urusan umat.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
“Imam adalah ra’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya”
(HR. Al Bukhori).
Konsep tersebut hanya mampu terwujud dalam satu tatanan yang amanah dalam wadah khilafah. Satu-satunya institusi yang menempatkan pendidikan umat sebagai kekuatan peradaban. Terkait hal ini, khilafah akan menetapkan beragam kebijakan untuk mencerdaskan generasi demi menggapai peradaban gemilang. Diantaranya, menetapkan anggaran pendidikan yang efektif dan optimal melalui sistem ekonomi Islam yang tangguh mengurusi. Sehingga setiap individu rakyat dapat terpenuhi haknya untuk mendapatkan pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi yang merata bagi seluruh umat. Biaya pendidikan ditetapkan murah bahkan gratis untuk seluruh rakyat. Tidak hanya masalah anggaran, khilafah pun akan menetapkan kebijakan yang memudahkan proses pendidikan sehingga tidak menimbulkan kesulitan bagi rakyat. Pendidikan ditetapkan dengan basis akidah Islam yang mengutamakan penerapan syariat Islam secara utuh dan menyeluruh sehingga mampu melahirkan individu berkepribadian Islam yang tangguh dan mampu memimpin negeri dengan amanah dan bijaksana.
Dengan demikian, tujuan pendidikan akan diraih sempurna dalam tuntunan hukum syarak yang membina. Sempurnanya paradigma Islam yang menjaga kemuliaan dan kekuatan generasi. Hanya dengan Islam, kepentingan rakyat senantiasa terlindungi dalam sistem yang mumpuni.
Wallahu’alam bisshowwab.
Oleh: Yuke Octavianty, Forum Literasi Muslimah Bogor