Bulan Maulid, Mari Wujudkan Ketaatan dan Keteladanan, Jangan Terjebak pada Toleransi Kebablasan! - Tinta Media

Minggu, 22 September 2024

Bulan Maulid, Mari Wujudkan Ketaatan dan Keteladanan, Jangan Terjebak pada Toleransi Kebablasan!


Tinta Media - Bulan Rabiul Awal adalah salah satu bulan yang istimewa. Pada bulan ini, kaum muslimin memperingati hari maulid, yaitu lahirnya seorang manusia mulia, Baginda Rasulullah Muhammad saw. Di dalam negeri, setiap tahun kita menyaksikan euforia peringatan Maulid Nabi yang telah menjadi tradisi. 

Selawat serta syair-syair pujian dilantunkan dengan merdu. Ceramah-ceramah diperdengarkan dengan tema maulid. Berbagai lomba diadakan, bahkan berbagai jamuan makanan pun dihidangkan sebagai peringatan atas kelahiran Nabiyullah Muhammad. 

Lalu, benarkah maulid ini hanya sebatas peringatan hari kelahiran? Harusnya kenangan atas kelahiran Baginda Nabi tak hanya sekadar nostalgia sejarah. Bukankah keistimewaan beliau tak hanya sebatas pada kelahiran dan kepribadiannya saja? 

Harusnya, dengan mengenang kelahiran Rasulullah, maka terbayang bagaimana jerih payah dan beratnya perjuangan beliau dalam berdakwah hingga membangun peradaban agung yang mampu menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Namun, sungguh miris fakta hari ini. Ramai kaum muslimin berlomba-lomba merayakan maulid dengan gegap gempita, tetapi di waktu yang sama juga melanggar syariat yang dibawa oleh beliau. Tak sedikit kita temui peringatan maulid justru ada jogetan berkedok selawat, campur baur laki-laki dan perempuan, dan lain semisalnya.

Bahkan, ada hal yang lebih menyakitkan lagi dari pada itu, khususnya di negeri ini beberapa hari yang lalu. Telah kita ketahui bersama, di bulan yang mulia ini justru kita menyaksikan seorang Imam Besar masjid terbesar di Asia Tenggara (Masjid Istiqlal) menyambut dengan hangat dan mesra kedatangan pemimpin tertinggi Katolik dunia, Paus Fransiskus pada tanggal 3-5 September lalu di Jakarta. 

Sebagaimana dirilis oleh media CNBC Indonesia bahwa Media Amerika Serikat, Associated Press (AP) memberitakan pertemuan dua pemuka agama ini dengan menampilkan foto saat Paus mencium tangan sang Imam yang mendekap pundak kepala negara Vatikan itu. Lalu, sang Imam pun mencium kening sang Paus (cnbcindonesia.com, 5/9/24).

Kompas.com (3/9/24) juga melaporkan bahwa sebanyak 33 tokoh muslim Indonesia yang diprakarsai oleh Frans Seda Foundation, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Yayasan Harapan Pemuda Indonesia, dan Unika Atma Jaya meluncurkan sebuah  buku dengan judul “Salve Peregrinans Spei” yang berarti “Salam Bagimu Sang Peziarah Harapan” dalam rangka menyambut kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia kali ini. Buku ini menarasikan semangat keberagaman dan nilai plurarisme di Indonesia.  

Turut berpartisipasi pula di dalam buku ini para pimpinan Ormas Islam dan juga para cendekiawan muslim, di antaranya yaitu: Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ketua Umum ICRP, Ketua Umum Pimpinan Pusat Laznah Tanfidziyah Syarikat Islam, Rektor Universitas Islam Internasional (2024-2029).  

Bukankah fakta-fakta ini telah menabrak batas-batas akidah dan syariat Islam yang jelas menyakiti hati Rasulullah saw.? Meskipun dikatakan bahwa hal tersebut merupakan bentuk toleransi dan upaya menjaga perdamaian, sejatinya ada unsur sinkretisme di dalamnya, yaitu upaya mencampuradukkan ajaran agama-agama. Padahal, Allah telah menegaskan di dalam Al-Qur'an:

“Dan jangalah kalian mencampuradukkan yang hak dengan yang batil.” (Terjemah QS. Al Baqarah [2] : 42). 

Selain sinkretisme, sikap ini menunjukkan bentuk pluralisme agama, yaitu paham yang menganggap bahwa semua agama adalah sama dan kebenaran agama dianggap relatif. Dalam pandangan pluralisme, pemeluk agama mana pun akan hidup bersama di surga. Jelas ini merupakan buah dari toleransi yang kebablasan.

Betapa sesak hati ini melihat para tokoh muslim dan pemimpin negeri ini menunjukkan sikap yang tidak adil dan tidak semestinya. Mereka memberi sambutan yang sangat spesial kepada pemimpin agama lain, tetapi di sisi lain menolak penerapan syariah Islam, membubarkan ormas dan kajian Islam kaffah, menuduh radikal para pejuang Islam, serta memberi stigma negatif pada ajaran-ajaran Islam. 

Padahal, di dalam Surah Al Fath ayat 29 Allah berfirman yang artinya:

“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang dengan sesama mereka.”

Lalu, bagaimana seharusnya seorang muslim bersikap?

Para tokoh kaum muslimin seharusnya memanfaatkan kedatangan pemimpin nonmuslim ke negeri ini untuk mendakwahkan Islam kepada mereka, bukan sebaliknya, justru bersikap berlebihan bahkan memberi panggung seluas-luasnya untuk menyebarkan ajaran agama di negeri mayoritas muslim ini. 

Sebagai teladan umat Islam, Nabi Muhammad saw. senantiasa menampakkan syiar dan dakwah Islam kepada para pemimpin agama lain. Sangat jelas dalam catatan sejarah bahwa beliau pernah mengirimkan utusan kepada para kaisar dan raja-raja dengan membawa surat yang berisi ajakan untuk memeluk Islam. 

Islam telah mengajarkan batasan toleransi yang jelas. Toleransi dalam Islam artinya membiarkan, menghormati, serta tidak mengusik ibadah dan kepercayaan agama lain, bukan malah ikut campur di dalamnya, apalagi meleburkan ajaran Islam dengan agama lain. Sebagaimana yang sering kita baca di dalam Qur'an surah Al Kafirun [109]: 6 yang artinya: 

“Untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku.” 

Keimanan jelas menuntut keberpihakan yang nyata. Tidak mungkin dianggap sama antara keyakinan bahwa Tuhan itu Esa dengan Tuhan itu berbilang, lalu dianggap keduanya benar.

Maka, seharusnya momentum bulan maulid tidaklah diisi dengan sikap-sikap yang berseberangan dengan risalah yang dibawa oleh Rasulullah. Sikap yang melanggar syariat justru bentuk pertentangan kepada Nabiyullah Muhammad. Bagaimana mungkin di satu sisi kita merayakan kelahiran beliau, tetapi pada kenyataannya justru menentang risalahnya? 

Semestinya cinta kepada Rasulullah itu dicerminkan pada sikap ketaatan sepenuhnya kepada syariat. Cinta kepada Nabi artinya mencintai dan menjalankan ajarannya secara kaffah (totalitas) dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam urusan sosial, muamalah, dan juga pemerintahan. 

Rasulullah bukan hanya seorang pribadi yang mulia akhlaknya, tetapi beliau juga seorang kepala negara terbaik dalam sejarah dunia yang juga diakui oleh para tokoh-tokoh Barat. 

Sir George Bernard Shaw, seorang tokoh berkebangsaan Irlandia, mengungkapkan, “Saya yakin apabila orang seperti Muhammad memegang kekuasaan tunggal di dunia modern ini, dia akan mampu mengatasi segala permasalahan hingga membawa kedamaian dan kebahagiaan yang dibutuhkan dunia.”

Tokoh nonmuslim pun mengakui keunggulan Nabi Muhammad sebagai negarawan hebat dalam memimpin peradaban. Bagaimana dengan kita sebagai umat beliau? Cukupkah hanya meneladani beliau dalam aspek ibadah dan akhlak saja? Beliau telah membawa sebuah sistem aturan kehidupan yang sempurna untuk kita terapkan dan membawa kebaikan bagi umat manusia. Maka, marilah kita wujudkan cinta kepada Nabi dengan menerapkan syariat secara total dalam seluruh aspek kehidupan, serta melanjutkan perjuangan dakwah beliau untuk menegakkan agama Allah di muka bumi ini.



Oleh: Nurul Wahida, S.Pd, M.Si 
(Guru dan Aktivis Dakwah di Aceh)
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :