Tinta Media - Bunuh diri merupakan jalan pintas yang dianggap bisa menyelesaikan masalah seseorang. Sistem sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan meniscayakan seseorang nekat mengakhiri hidup. Sistem ini meminggirkan aturan agama, sehingga manusia bebas berbuat sesukanya. Belum lagi beratnya beban kehidupan, rusaknya mental menjadi faktor tambahan.
Sebagaimana terjadi pada Aulia Risma Lestari, mahasiswa PPDS Anestesi Undip yang ditemukan meninggal dunia di kamar kosnya pada Senin (12/8) akibat perundungan (bullying) di kampus. Lalu, pada Oktober 2023, EN (24), mahasiswa semester 11 Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang ditemukan meninggal dunia. Ia diduga bunuh diri akibat terlilit utang pinjaman online (pinjol).
Masih di tahun yang sama, Mahasiswi Fakultas MIPA Universitas Negeri Semarang (UNNES) dengan inisial NJW (20), mengakhiri hidup dengan dengan terjun dari lantai empat Mall Paragon Semarang. Sementara pada 2022 lalu, Mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi USM berinisial ANI (19) nekat bunuh diri dengan cara melompat dari lantai 6B gedung parkir kampusnya akibat depresi, dan masih banyak lagi kasus serupa (Jawapos.com, 17/8).
Beban Berat
Sungguh, beratnya beban kehidupan makin terasa hari ini. Potret banyaknya mahasiswa bunuh diri menjadi fakta yang memilukan. Menurut Pakar Psikologi Unair, Dr. Nur Ainy Fardana, faktor mahasiswa bunuh diri adalah karena kesehatan mental, tekanan dan tuntutan yang tinggi dalam lingkup akademik dan keluarga, perasaan kesepian karena kurang dukungan keluarga, dan traumatis atau pelecehan. (Kompas.com, 21/11/23)
Kehidupan berat terasa dimulai dari krisis kesehatan mental. Mahasiswa sering mengalami depresi atau gangguan kecemasan. Kehidupan dijauhkan dari aturan Allah Swt. sehingga menghasilkan cara pandang kehidupan yang keliru. Kehidupan didasari dengan upaya untuk meraih tujuan materi sebanyak-banyaknya. Jika goals tidak tercapai, terkadang merasa ingin menyerah dan gagal menjalani kehidupan.
Selanjutnya, beban berat dirasakan oleh mahasiswa akibat mahalnya biaya kuliah dan kebutuhan hidup. Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa makin naik hari ini.
Di satu sisi, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy justru mendukung mahasiswa membayar UKT dengan menggunakan pinjol. Bunga dan denda pinjol tak main-main, membengkak hingga membuat depresi. Alhasil, banyak ditemui orang yang nekat mengakhiri hidup karena gagal bayar pinjol.
Tuntutan berat juga dialami mahasiswa dari lingkungan akademik. Beban akademik yang banyak dan harus menghadapi senioritas memunculkan tekanan dalam kehidupan. Akibatnya, mahasiswa merasa tertekan dalam menjalani pendidikannya. Belum lagi bullying yang dapat merusak mental seseorang.
Lebih lanjut, beban berat mahasiswa akibat liberalisme, pelecehan seksual semakin tumbuh subur. Peluang perzinaan terbuka lebar dengan maraknya aurat diumbar. Pacaran, pornoaksi dan pornografi merajalela. Liberalisme meniscayakan kehidupan serba bebas. Saat zina telah terjadi, beban mental dirasakan sehingga memilih untuk bunuh diri.
Sesungguhnya, beratnya beban kehidupan di atas bukan hanya dialami oleh mahasiswa, tetapi seluruh manusia. Beban kehidupan akan lebih ringan jika ditopang oleh tiga pilar, yakni individu, masyarakat, dan negara. Ketiga pilar tersebut nihil perannya dalam sekularisme saat ini. Individu jauh dari aturan agama, masyarakat hilang fungsinya sebagai kontrol kehidupan, dan negara hilang perannya mengurus kehidupan rakyat.
Seringkali, solusi yang diberikan negara justru menimbulkan masalah baru. Misalnya, solusi UKT mahal seperti contoh di atas malah didukung dengan pinjol. Tak ada upaya penjagaan dan perbaikan oleh negara yang memisahkan aturan agama.
Kembali pada Islam
Islam adalah agama yang sempurna, bukan sekadar mengatur ranah ibadah saja, melainkan seluruh aspek kehidupan. Tiga pilar, yakni individu, masyarakat, dan negara akan menjalankan fungsi dan perannya dengan penerapan aturan Islam secara kafah (sempurna).
Individu misalnya, di dalam Islam akan dibina dengan akidah yang kuat. Melalui sistem pendidikan Islam, generasi dibentuk kecerdasannya, beriman, dan bertakwa. Sistem pendidikan Islam menjadikan akidah sebagai pondasi perbuatan, sehingga setiap perbuatan seseorang akan berdasarkan aturan dan perintah Allah Swt.
Sementara, masyarakat berfungsi sebagai kontrol kehidupan. Masyarakat yang tersuasanakan Islam, akan melakukan amar makruf nahi mungkar terhadap pelaku maksiat. Saling mengingatkan ini merupakan perintah Allah Swt. dalam firman-Nya,
وَالْعَصْرِۙاِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ
اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْر
“Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling mengingatkan (sesamanya) dengan kebenaran dan saling mengingatkan (sesamanya) dengan penuh kesabaran.” (QS Al-Ashr: 1-3)
Terakhir adalah peran negara. Fungsi negara di dalam Islam adalah sebagai penanggung jawab kehidupan rakyat.
Rasulullah saw. bersabda,
".... Kamu semuanya adalah penanggung jawab atas gembalaannya. Maka, pemimpin adalah penggembala dan dialah yang harus selalu bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Ahmad, al-Bukhâri, Muslim, Abû Dâwûd, dan at-Tirmîdzi dari Ibn Umar).
Hadits ini sebagai penjelas bahwa negara memiliki tanggung jawab penting kepada rakyat yang dipimpinnya. Islam mewajibkan negara menjamin kebutuhan pokok setiap individu. Selain itu, kebutuhan lain seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan juga merupakan tanggung jawab negara. Dengan hal ini, beban ekonomi rakyat tidaklah berat karena telah tersistem dengan baik sesuai Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Bukan hanya ekonomi, syariat Islam juga diterapkan negara dalam seluruh aspek kehidupan, mulai dari aspek politik, sosial, pergaulan, hukum, dll. Penerapan syariat Islam secara utuh akan menghantarkan manusia pada keberkahan hidup yang banyak. Wallahua'lam bisshawab.
Oleh: Ismawati
(Aktivis Dakwah dari Banyuasin)