Tinta Media - Di Indonesia, bulan Agustus itu bulan penuh sejarah. Bulan di mana negeri ini dikatakan telah lepas dari penjajahan fisik yang dilakukan oleh Jepang maupun Belanda. Di Bulan ini, masyarakat diidentikkan dengan kegiatan meriah, bersenang-senang dan bergembira. Katanya sih, sebagai tanda syukur karena mereka telah merdeka. Berbagai perlombaan, mulai dari jenis lomba legendaris makan kerupuk, panjat pinang, balap karung, tarik tambang hingga jenis lomba lucu-lucuan yang jauh dari esensi kemerdekaan. Namun sebagian besar rakyat merasa senang dan terhibur. Tanpa memikirkan apakah di tiap bertemu dengan bulan Agustus, mereka benar-benar telah merdeka atau makin terjajah.
Sebenarnya sangat miris melihat kondisi masyarakat yang makin ke sini, semakin jelas sengsaranya. Namun sayang, mereka begitu jauh dari sekadar berpikir tentang muara dari kesengsaraan yang menimpa. Yang bisa mereka lakukan hanya melihat fakta semakin zalimnya penguasa. Usia kemerdekaan negeri ini makin tua, tetapi kedaulatannya semakin renta, lemah tak berdaya.
Bagaimana tidak? Makin hari, ancaman PHK, tingginya tingkat pengangguran, jumlah utang negara, hingga urusan Ibu Kota Negara makin tak jelas ujung solusinya. Belum lagi masalah yang menimpa keluarga, para perempuan dan generasi negeri ini. Mayoritas keluarga Indonesia masih setia di garis kemiskinan, meskipun katanya tetap masih bisa bahagia. Tidak tahu bahagianya dilihat dari sisi mananya. Para perempuan dihadapkan dengan berbagai ancaman yang makin menjauhkan mereka dari kata bahagia. Jebakan yang memaksa mereka masuk dalam barisan 'independent women', hingga menjadi objek masalah kekerasan seksual, kekerasan fisik yang mereka alami di dunia kerja. Dan masih banyak lagi berbagai fakta mengerikan di tengah 'euforia' harus ikutan Agustusan.
Begitu pun kondisi generasi kita, jauh.. jauh... sekali dari harapan yang tertuang dalam UU Pendidikan yang ada. Katanya sistem pendidikan nasional diselenggarakan demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, bagaimana perjalanannya? Gonta ganti kurikulum ternyata malah makin membuat generasi jauh dari tujuan pendidikan. Output cerdas, beriman, bertakwa, berakhlak mulia ternyata hanya slogan saja. Faktanya dari 2,7 juta rakyat Indonesia yang terlibat judi online, sebagian besar didominasi kaum muda usia 17-20 tahun.
Belum lagi jika bicara kesejahteraan generasi negeri ini. Sangat menyayat hati, di tengah munculnya generasi yang menanggung beban ganda ekonomi alias generasi 'sandwich', masalah pengangguran masih setia membersamai. Dana Moneter Internasional (IMF) melalui World Economic Outlook pada April 2024 mencatat tingkat pengangguran di Indonesia sebesar 5,2 persen tertinggi dibandingkan enam negara lain di Asia Tenggara yang ada di daftar. (CNN Indonesia/19/7/2024)
Kondisi generasi muda negeri ini sangat jauh dari kata merdeka, tapi dengan riang gembira mereka terbawa suasana Agustusan yang dipenuhi hura-hura semata. Apakah dampak Agustusan yang meriah akan membuat rakyat menjadi lebih baik kondisinya? Atau malah semakin menjauhkan rakyat dari kesadaran bahwa negeri ini sebenarnya sedang tidak baik-baik saja.
Memprihatinkan sekali, kemeriahan dan kemewahan dalam merayakan kemerdekaan negeri ini malah justru semakin menunjukkan bahwa kita sebenarnya makin masuk ke dalam jurang penjajahan. Lihatlah pembangunan Ibu Kota Negara yang baru, apakah mencerminkan negeri ini merdeka? Bagaimana nasib warga Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara yang menunggu ketidakjelasan uang ganti rugi pembebasan lahan milik mereka seluas 2.600 hektar demi pembangunan IKN?
Lalu, bagaimana dengan pembengkakan dana anggaran negara untuk pelaksanaan upacara bendera 17 Agustus 2024 di IKN lantaran digelar di dua tempat sekaligus? Sedangkan anggaran untuk sewa kendaraan saja mencapai Rp.1,25 miliar. Belum anggaran bendera, sewa kamar hotel bagi para tamu, tiket pesawat dan lain-lain. Asumsi total anggaran tambahan yang dibutuhkan sekitar Rp.19,175 miliar. (CNN Indonesia/8/8/2024)
Capek iya, banyak maksiatnya iya, makin terjajah iya, makin miskin iya, makin sengsara rakyatnya iya. Begitulah hasil akhir dari peringatan Agustusan. Astagfirullah...Apakah kehidupan yang seperti ini yang kita impikan? Ataukah gambaran pemerintahan yang begini yang kita harapkan? Jika memang bukan, mengapa kita masih mempertahankannya?
Bukankah kita mayoritas muslim di negeri ini? apakah kita tidak pernah menengok pada sebuah pemerintahan yang telah Rasulullah Muhammad, Rasul serta Junjungan kita contohkan? Beliau Saw. sungguh telah memberikan teladan terbaik dalam segala hal di kehidupan kita sebagai manusia, sekaligus sebagai muslim.
Islam begitu jelas telah menggambarkan kehidupan yang penuh berkah. Di mana keberkahannya meliputi langit dan bumi seisinya. Hal itu karena manusia benar-benar memerdekakan dirinya dari penghambaan kepada makhluk menuju penghambaan hanya kepada Allah SWT saja. Penghambaan ini terwujud dalam segala aspek kehidupan manusia. Tak hanya urusan aqidah, ibadah, akhlak, namun juga dalam urusan bernegara. Semuanya merujuk pada Islam sebagai satu-satunya agama dan sistem hidup yang Allah SWT ridlai.
Maka, tidak ada siapa pun yang bisa mendikte kita, menguasai kita, menindas kita, merampas tanah kita, bahkan menindas dan menjajah kita, jika kita memang benar-benar merdeka. Ketika kita menjadi orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan tidak menyekutukan Allah SWT dengan yang lain. Maka Allah SWT janjikan kekuasaan dan kepemimpinan negeri ini untuk kita (QS. An-Nur ayat 55). Begitu pula, Dia telah berjanji akan melimpahkan berkah dari langit dan bumi bagi suatu kaum yang beriman dan bertakwa, yakni menjalankan semua syariat-Nya secara kaffah (menyeluruh).
Jadi, tidak bisa dikatakan merdeka siapa pun yang masih menolak, menjauhi bahkan memusuhi syari’at Allah. Dan tidak bisa dikatakan merdeka jika apa yang dilakukan masih dalam rangka menyenangkan tuan-tuan Kapitalisme dan masih menyembah pada sekularisme (menjauhkan agama dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara).
Maka, merdeka itu bukan saat anggaran negara habis untuk foya-foya atas nama merayakan kemerdekaan. Merdeka itu bukan saat semua sumber daya alam kekayaan negeri kita masih dikelola bahkan diserahkan kepada asing dan aseng. Tetapi kita akan bangga mengatakan kita merdeka saat hukum Allah SWT diterapkan secara sempurna sebagai wujud ketundukan dan penghambaan kita hanya kepada-Nya semata. Merdeka! Wallahua’lam.
Oleh: Yulida Hasanah, Pembina Komunitas Smart Moslem Generation Brebes