Tinta Media - Setiap kehidupan manusia pasti tidak bisa terhindar dari masalah di sekitar, tak terkecuali dengan masalah sampah makanan yang semakin menggila di tengah masyarakat.
Adanya kemiskinan dan kelaparan yang selalu bersandingan membuat siapa pun miris melihat fenomena ini. Bahkan, sampah makanan telah berpotensi merugikan negara dengan kisaran mencapai Rp551 triliun. (Bappenas Suharso, Suara.com, 3/7/2024)
Prestasi buruk juga disandang Indonesia sebagai negara dengan penduduk yang banyak karena sampah makanan yang banyak pula. Pada tahun 2019, telah ditunjukkan bahwa Indonesia merupakan penghasil sampah makanan terbesar nomor 2 di dunia setelah Saudi Arabia.
Pada tahun 2020, Indonesia bahkan telah memasuki sinyal darurat sampah makanan.
Bahkan, tahun 2021, Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional mencatat bahwa sampah sisa makanan mencapai 46,35 juta ton dalam skala nasional. Jumlah ini menduduki posisi terbanyak dari total sampah yang dihasilkan, bahkan melebihi sampah plastik sebagai pembungkus, yaitu 26,27 ton. Tentu tidak ada jaminan keberadaan sampah makanan dapat berkurang pada tahun-tahun selanjutnya.
Masalah sampah makanan ini tidak hanya menjadi isu lingkungan, tetapi juga menjadi isu ekonomi dan sosial yang berdampak pada semua orang, termasuk Gen Z. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Sebenarnya, sampah makanan merupakan makanan yang terbuang, tidak termakan, tidak bisa diolah, bahkan dalam proses limbah. Keberadaannya akan terus terjadi di setiap mata rantai dari produksi sampai konsumsi.
Sampah makanan dapat dibagi menjadi 2, yaitu akibat penyajian yang berlimpah karena budaya berlebihan dari masyarakat (left over) dan akibat kesalahan perencanaan dalam manajemen. Baik masih layak dikonsumsi ataupun tidak (food waste), keduanya adalah sampah yang berbahaya bagi lingkungan karena mengandung komposisi kimia yang tidak dapat didaur ulang.
Jika sampah makanan membusuk, ia akan melepaskan emisi gas rumah kaca yang tidak bisa diabaikan begitu saja ketika jumlahnya mencapai puluhan ton.
Food waste sebenarnya juga merupakan problem dunia, bukan hanya Indonesia. Masalah ini sangat erat hubungannya dengan konsumerisme, sebagai efek penerapan sistem kapitalisme sekuler untuk mengatur kehidupan dunia.
Penanganan masalah sampah yang paling mudah dilakukan pada tahap konsumsi adalah dengan menahan pada diri sendiri, yaitu dengan manajemen makanan. Di kalangan masyarakat sekarang mudah dikenal dengan “food preparation”. Konsep itu dapat membantu para konsumen untuk membuat list daftar makan yang akan diambil sehingga bisa meminimalisir sampah makanan dari rumah tangga. Selain itu, komitmen penting untuk selalu menghabiskan makanan yang telah dibeli harus lebih kuat.
Adanya budaya konsumsi berlebihan masyarakat harus dihilangkan karena telah terbukti bisa membahayakan keberlangsungan kehidupan dengan adanya gas rumah kaca yang dihasilkan.
Sayangnya, memang di Indonesia sendiri, adanya pemaham “cukup” untuk makanan akan sering dianggap pelit dan perhitungan ketika berada dalam sistem kapitalis sekuler ini, meskipun maksud dan tujuannya adalah agar tidak terjadi sisa makanan yang akhirnya menjadi sampah, padahal keberadaannya masih layak untuk dikonsumsi dan dapat dimanfaatkan. Ini mencerminkan akhlak masyarakat. Padahal, Islam tidak mengajarkan seperti itu. Islam justru mengajarkan untuk tidak membuang makanan.
Di sisi lain, adanya gambaran mismanajemen negara dalam distribusi harta terlihat jelas dari masalah sampah makanan ini. Di satu sisi, banyak masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan dengan angka stunting, putus sekolah karena harus bekerja supaya bisa makan dan bertahan hidup, tetapi di sisi lain, ada juga berbagai kasus seperti beras busuk di gudang bulog, pembuangan sembako untuk stabilisasi harga. Ini seakan terjadi hidup di bumi yang berbeda.
Lantas, apakah ada solusi dalam Islam terkait masalah sampah makanan ini?
Islam selalu punya aturan terdetail dan terbaik dalam mengatur kehidupan, termasuk perihal konsumsi maupun distribusi. Di dalam Islam, diajarkan mengonsumsi sesuatu berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan sesaat dan selalu ditanamkan dalam dirinya bahwa segala sesuatu yang dimiliki di bumi harus dimanfaatkan sebaik-baiknya karena semua akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Akidah Islam menghujam dalam diri, membuat siapa pun terhindar dari kesia-siaan dan berlebih-lebihan.
Dalam Islam, terdapat sistem pendidikan Islam yang mampu mencetak individu yang bijak dalam bersikap, termasuk dalam mengelola dan mengatur konsumsi makanan.
Pandangan Islam saat melihat aspek ekonomi salah satunya ialah sebagai penyangga dakwah dan jihad. Sehingga, di dalam Islam juga terdapat pengaturan yang cermat saat melihat produksi, konsumsi, dan distribusi, yaitu produksi sebanyak-banyaknya, distribusi seluas-luasnya, dan konsumsi secukupnya.
Alhasil, dapat terwujud distribusi yang merata. Sehingga, ketika suatu negara diterapkan hukum Islam sebagai pengaturnya, maka masyarakat akan sejahtera. Setiap individu sadar, tidak ada gap antara si miskin dan si kaya. Negaranya semangat untuk merealisasikan dalam pengentasan kemiskinan. Semua sadar bahwa negara adalah pelayan dan pemberi fasilitas bagi seluruh rakyat.
Oleh: Wilda Nusva Lilasari S.M,
Sahabat Tinta Media