Sertifikasi Halal oleh Negara, Kewajiban atau Kepentingan? - Tinta Media

Minggu, 18 Agustus 2024

Sertifikasi Halal oleh Negara, Kewajiban atau Kepentingan?

Tinta Media - Sedang hangat berita tentang ramainya anak-anak cuci darah di rumah sakit, beberapa dari orang tua mereka mengatakan akibat dari seringnya mengonsumsi minuman kemasan yang tinggi gula. Meskipun tidak ada lonjakan kasus anak yang menderita gagal ginjal, permasalahan ini tetap harus mendapatkan perhatian kita, karena berkaitan dengan pola hidup yang tidak sehat, dan konsumsi yang salah.

Dalam laman Cnnindonesia.com 06/07/2024.

Dokter mengatakan ada banyak faktor yang akan meningkatkan risiko terkena gagal ginjal, dan salah satunya adalah seringnya mengonsumsi makanan atau minuman kemasan yang tinggi gula. Dokter Spesialis Anak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Eka Laksmi Hidayati mengatakan bahwa faktor yang menyebabkan gagal ginjal adalah pola hidup yang tidak sehat.

"Penurunan fungsi ginjal tidak terjadi secara langsung, melainkan ketika sudah masuk obesitas dan anak yang obesitas ketika di usia dewasa. Mengonsumsi vitamin, suplemen dan obat-obatan jika dikonsumsi sesuai anjuran, dan di bawah pengawasan dokter tidak akan berisiko gagal ginjal akut." Lanjut Dokter Eka.

Peran Negara Hilang Akibat Sistem Kapitalis

Saat ini begitu banyak beredar makanan atau minuman instan yang tinggi gula, atau bahkan bahan pemanis buatan, lebih parahnya ada banyak beredar makanan yang dalam komposisinya mengandung alkohol, lemak atau minyak dari hewan yang haram dan bahan berbahaya lainnya, namun di kemasan tertulis halal, hal ini akan sangat berbahaya bagi pembeli yang beragama muslim yang membeli karena percaya saat melihat adanya label halal.

Dalam sistem sekuler kapitalis yang lebih mengedepankan keuntungan dibandingkan akibat perbuatan, masyarakat akan sangat kesulitan membedakan makanan yang benar-benar halal sebab banyaknya komposisi yang tidak dicantumkan atau berbahasa asing, ditambah lagi dengan nama ilmiah atau yang tidak dikenal masyarakat, tentu mereka hanya bisa melihat dari label halalnya saja, lantas jika label halal ini dikapitalisasi bagaimana nasib mereka?

Fitrahnya anak-anak tentu senang pada makanan atau minuman manis yang enak dan segar di tenggorokan, namun mereka belum bisa memahami apa yang baik dan buruk untuk dikonsumsi, di sinilah pentingnya peran orang tua dalam mengedukasi dan memilihkan konsumsi yang baik untuk anak, yang bukan hanya halal namun juga harus thayyib.

Saat ini di pasaran bercampur makanan atau minuman yang halal dengan haram, selain kurangnya edukasi masyarakat tentang hal ini, juga sulitnya kepengurusan label halal, sehingga banyak yang berbuat curang dengan menambahkan label sendiri, masyarakat juga hanya berpikir yang penting bukan berbahan dasar babi, padahal ada banyak zat berbahaya lain juga yang harus dihindari.

 Pada saat pengesahan UU Omnibus Low dan UU Ciptaker ada klaster permudahan izin usaha, Lembaga Pemeriksaan Halal (LPH) boleh dilakukan oleh lembaga selain MUI asalkan sudah diakreditasi oleh MUI, syarat auditor halal yang sebelumnya adalah WNI, muslim, memiliki wawasan luas terkait produk dan agama, juga minimal S1 di berbagai bidang yang bersangkutan dihapuskan.

Jadi siapa pun boleh menjadi auditor halal tidak harus WNI, tidak harus muslim, asalkan sudah mengikuti pelatihan saja. UU Ciptaker juga memangkas waktu kerja permohonan sertifikasi halal menjadi satu hari kerja. Dan dalam UU baru ini tidak disebutkan sanksi administratif jika ada pelanggaran.

Terlihat jelas kan? Bahwa pengesahan UU ini bukanlah untuk kemaslahatan umat Islam, sebagai agama mayoritas dalam negara, bukan juga untuk kesehatan masyarakat, tapi hanya sekedar formalitas belaka, dan demi mengeruk keuntungan mereka. Seluruh produk usaha pangan wajib memiliki label halal, ini seperti sebuah bisnis yang akan selalu menghasilkan keuntungan.

Islam Menjamin Hak Masyarakat

Dalam Islam tidak ada sertifikasi halal, sebab barang yang bisa masuk ke pasar harus benar-benar halal dan thayyib, negara yang mengatur dan mengawasi langsung produksi hingga pendistribusian produk, sehingga negara bisa memastikan tidak akan ada makanan atau minuman haram yang diproduksi maupun didistribusikan ke masyarakat luas.

Masyarakat tidak akan khawatir karena negara langsung yang menjaga dan menjamin konsumsi umat. Produk yang haram atau memiliki salah satu bahan baku haram tidak akan lolos ke pasar. Kecuali untuk yang bukan muslim namun tinggal dalam daulah seperti kafir dzimmi mereka bebas memproduksi dan mengonsumsi makanan atau minuman yang haram, namun dengan peringatan bahwa itu hanya untuk kalangan mereka dan tidak boleh diperjualbelikan keluar.

Islam sangat memperhatikan hal ini karena jika ada zat haram yang masuk ke tubuh seseorang maka tidak akan diterima do'a dan ibadah mereka, kehidupan yang sulit dan sempit serta pertanggungjawaban kelak. Bukan hanya makanan atau minuman, Islam juga melarang mencari nafkah dari pekerjaan yang haram sebab uang yang didapat juga akan haram.

Rasul bersabda: "Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram, kecuali neraka lebih utama untuknya"(H.R Tirmidzi)

Islam juga akan menindak dan memberikan sanksi tegas kepada orang yang melanggar aturan, jaminan halal merupakan hak rakyat yang harus dipenuhi pemerintah, sehingga negara tidak boleh memberatkan rakyat terutama produsen, harusnya merekalah yang harus diberi kemudahan dalam regulasi dan pembiayaan.

Penerapan sistem selain Islam hanya mempersempit dan mempersulit masyarakat, hingga kini halal dan haram saja sangat sulit dibedakan. Harusnya umat sadar bahwa tidak ada sistem terbaik yang mampu mengayomi mereka selain Islam, tidak ada aturan terbaik selain dari penciptanya manusia, yakni Allah SWT, dan semua ini hanya bisa terwujud dan di aplikasikan saat berdirinya Daulah Islamiyyah.

Wallahu 'alam bishowab.

Oleh: Audina Putri, Aktivis Dakwah Muslimah

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :