Penerimaan Pajak Meningkat, Prestasi atau Ironi? - Tinta Media

Selasa, 06 Agustus 2024

Penerimaan Pajak Meningkat, Prestasi atau Ironi?


Tinta Media - Saat ini, pajak menjadi pungutan wajib bagi rakyat. Pasalnya, pajak adalah instrumen penting bagi kemajuan sebuah bangsa. Keinginan menjadi bangsa yang sejahtera dan adil mustahil terwujud tanpa adanya pajak. Inilah ungkapan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam memamerkan kinerja moncer jajarannya di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. 

Pasalnya, angka penerimaan pajak terus meningkat secara signifikan sejak 1983. Sebelumnya hanya Rp13 triliun. Hal itu ia sampaikan dalam rangka memperingati Hari Pajak Nasional, 14 Juli. 

Mulanya, wanita yang akrab disapa Ani itu mengatakan bahwa pajak adalah tulang punggung sekaligus instrumen yang penting bagi sebuah bangsa dan negara untuk mencapai cita-cita.

“Kita semua mengetahui bahwa untuk bisa terus menjaga Republik Indonesia, membangun negara ini, negara dan bangsa kita, cita-cita yang ingin kita capai, ingin menjadi negara maju, ingin menjadi negara yang sejahtera, dan adil, tidak mungkin bisa dicapai tanpa penerimaan pajak suatu negara,” jelas Sri Mulyani dalam acara Spectaxcular 2024 di Plaza Tenggara GBK, Jakarta Pusat. (CNN Indonesia, 14/07/2024)

Meningkatnya angka penerimaan pajak yang dibanggakan oleh menteri ekonomi sejatinya menunjukkan bahwa pungutan yang dibebankan kepada rakyat meningkat. Hal merupakan ini keniscayaan dalam sistem kapitalis-demokrasi sebab pajak menjadi sumber utama pemasukan negara. Dengan kata lain, pajak menjadi tulang punggung perekonomian negara. 

Saat ini, ada begitu banyak jenis pajak yang ditarik dari rakyat. Pemerintah terus membangun narasi positif bahwa pajak akan mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat. Konon, pajak yang ditarik akan dialokasikan untuk kepentingan pembangunan negara, baik untuk fasilitas kesehatan, pendidikan, infrastruktur, ataupun lainya. Dengan fasilitas tersebut, rakyat dapat mengakses segala kebutuhan dengan mudah dan mengantarkan pada kesejahteraan rakyat. 

Namun, fakta di lapangan berkata lain. Banyaknya jenis pajak yang dibebankan rakyat justru menambah pengeluaran rakyat. Masyarakat makin kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Bukannya sejahtera, nyatanya rakyat semakin tercekik dengan besarnya nominal dan banyaknya jenis pajak yang dibebankan negara. 

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai/PPN yang dikenakan pada pelaku usaha membuat mereka menaikkan harga jual yang berimbas pada mahalnya harga-harga di pasaran. Sementara, hal ini tidak dibarengi dengan kemudahan mendapatkan lapangan pekerjaan maupun kenaikan gaji, sehingga rakyat kian tercekik. 

Sungguh ironis, pajak yang digembor-gemborkan untuk pembangunan negara nyatanya jauh panggang dari api. Rakyat tidak benar-benar merasakan imbalan setimpal dengan berbagai jenis pajak yang dibebankan. 

Pembangunan infrastruktur hanya terjadi di kota-kota besar. Masih banyak wilayah di Nusantara yang jauh dari fasilitas yang layak. 

Di berbagai daerah, banyak jalanan dan jembatan reyot yang membahayakan nyawa tidak diperhatikan oleh pemerintah. Padahal, jalan tersebut merupakan akses utama mobilitas masyarakat. Selain itu, fasilitas kesehatan dan pendidikan jauh dari kata layak. 

Sementara itu, rakyat kerap disuguhi dengan gaya hidup mewah para pejabat. Gaji dan tunjangan para pejabat terus naik dengan segala fasilitas mewahnya. Sementara, pejabat pajak yang tersandung korupsi sangat marak. 

Di sisi lain, gaji guru honorer jauh dari kata layak untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun, mereka tetap wajib membayar pajak dan program-program pemerintah lainya yang sejatinya terus menambah beban. Realisasinya pun jauh dari yang dijanjikan. 

Sungguh, rasa keadilan kian terkikis di negeri ini. Penguasa yang harusnya mengurusi rakyat malah bertindak sebaliknya. 

Inilah konsekuensi penerapan sistem demokrasi-kapitalis. Dalam sistem ini, pajak adalah sumber pemasukan negara selain utang luar negeri. Maka, sungguh mustahil kemajuan dan kesejahteraan terwujud jika ditopang dari utang dan pungutan terhadap rakyat. 

Satu-satunya cara berlepas dari pajak yang kian menjerat adalah mengganti sistem yang menjadi akar persoalan ini yakni aturan ala kapitalis-demokrasi dengan sistem Islam.
 
Islam adalah agama sempurna yang datang dari Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta, Allah Swt. Islam berisi aturan hidup bagi manusia dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk sumber-sumber pemasukan negara.  

Negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah tidak bergantung pada pajak sebagai sumber pemasukan negara. 
Dalam Islam, negara memiliki banyak sumber pemasukan, di antaranya anfal atau ganimah, yakni harta yang diperoleh kaum muslimin dari medan perang, baik berupa persenjataan, bahan pangan, uang, barang dagangan, dan sejenisnya.

Selanjutnya, ada jizyah atau pungitan atas orang kafir yang tunduk dalam kepemimpinan Islam. Sumber berikutnya adalah kharaj atau pungutan atas tanah yang diperoleh dari perjanjian damai maupun peperangan.

Selain itu, ada pemasukan dari harta milik umum atau harta milik seluruh kaum muslimin yang haram dikuasai individu atau swasta.

Harta milik umum meliputi seluruh sumber daya alam, seperti minyak bumi, gas, tambang emas, batu bara, biji besi, nikel, hutan, kekayaan laut, perairan, dan masih banyak lagi potensi kekayaan alam yang menjadi sumber pemasukan negara. 

Bayangkan jika sumber daya alam yang tersebar di seluruh Indonesia tersebut tidak dikuasai asing seperti saat ini, di bawah kepemimpinan sistem kapitalisme, tentu kekayaan tersebut akan menghantarkan Indonesia kepada kesejahteraan, kemajuan, dan kemakmuran. Negeri ini berpotensi besar menjadi negara adidaya dunia dengan seluruh kekayaan alam yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. 

Dalam negara Islam, pajak atau dharibah hanya akan ditarik apabila kas baitul mal kosong dan negara dalam situasi genting di luar kehendak manusia, seperti adanya bencana alam, wabah penyakit, atau keperluan mendesak yang mengharuskan kepengurusan umat saat itu juga. 

Maka, dalam kondisi tersebut akan ditarik pajak kepada kaum muslimin yang kaya saja. Saat kondisi telah stabil, maka pungutan pajak tersebut akan dihentikan. Sebab, pajak ditarik untuk menutupi kekurangan baitul mal, bukan sumber pemasukan utama. 

Penguasa dalam Islam berfungsi sebagai ra’in, yaitu mengurusi seluruh urusan umat dan berjalan di bawah sistem yang tegak di atas akidah yang lurus dan keimanan yang senantiasa dikondisikan. Dengan demikian, niscaya kepengurusan umat akan berjalan baik sesuai tuntutan syari’at. 

Adanya sanksi yang tegas bagi penguasa yang abai atau melakukan kezaliman, seperti tindak korupsi, akan dikenakan sanksi tegas tanpa pandang bulu. 

Rasa takut akan siksa di akhirat menjadikan para penguasa hati-hati dan amanah dalam menjalankan kepemimpinannya. 

Hal itu sangat jauh dari kepemimpinan sistem kapitalis yang memisahkan agama dari kehidupan, sehingga jauh dari nilai keimanan. Sistem tersebut menjadikan materi atau keuntungan sebagai tolok ukur. Tak heran jika banyak pejabat tersandung kasus korupsi. 

Hanya Islam sistem hidup terbaik yang akan mendatangkan kesejahteraan di semua aspek kehidupan, terbukti umat Islam pernah berjaya selama 13 abad lamanya di bawah penerapan Islam. Ini karena Islam turun dari Sang Pencipta alam semesta, yang pasti terbaik dan membawa rahmat bagi seluruh alam. Wallahualam bi shawwab.

Oleh: Imroatus Sholeha, Frelance Writer
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :