Tinta Media - Setiap pertengahan tahun, tepatnya di bulan Juli selalu ada PPDB, yakni satu agenda tahunan penerimaan murid baru di setiap jenjang sekolah. Usai PPDB, dilanjutkan dengan masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS).
Suasana MPLS biasanya selalu ramai, terutama pada tingkat sekolah dasar. Orang tua dan murid baru memenuhi sekolah. Akan tetapi, hal tersebut tidak nampak di SDN Cikapundung 1, Desa Cipanjalu, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung. Sekolah tersebut berada di tengah perbukitan.
Sejak hari pertama MPLS, sekolah terlihat biasa saja tanpa ada keramaian seperti di sekolah-sekolah lain.
Pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2024, sekolah ini hanya diminati oleh 15 siswa.
Lokasi sekolah yang berada di perbukitan membuat SDN Cikapundung 1 kerap tidak banyak diminati oleh para orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut. Dalam enam tahun terakhir, hanya dua tahun lalu dan tahun ini bisa disebut menerima murid paling banyak yang jumlahnya 15 siswa. Jumlah total siswa sebanyak 62 orang yang duduk di bangku kelas 1 hingga kelas 6.
Menurut kepala sekolah SDN Cikapundung 1, sekolah tersebut tidak diminati para orang karena lokasi yang jauh dari pemukiman warga, ditambah lagi sarana dan prasarananya memang tertinggal, seperti kurangnya buku pelajaran. Walaupun pihak sekolah telah berupaya melakukan pengadaan buku, tetapi dengan sedikitnya siswa menjadikan biaya operasional yang diterima pun tidaklah besar.
Sejatinya, pendidikan itu tidaklah menuntut sebuah infrastruktur yang mewah. Buktinya, keterbatasan fasilitas sering kali menghasilkan para peserta didik yang berdaya juang tinggi. Namun, bukan berarti keberadaan infrastruktur pendidikan ini diabaikan, sebab jika demikian, akan berakibat pada pincangnya pelaksanaan pendidikan dan buruknya kualitas peserta didik.
Kepincangan infrastruktur di sektor pendidikan merupakan persoalan klasik, bahkan sudah nampak jelas pada saat terjadi pandemi Covid-19 yang kondisinya sangat parah.
Di samping ketertinggalan sektor pendidikan, penguasa justru gencar menyuarakan moderasi beragama di sekolah-sekolah hingga jenjang perkuliahan dibandingkan menyolusi permasalahan infrastruktur itu sendiri.
Inilah cerminan pendidikan di negeri ini. Sejumlah masalah masih menjadi penyebab ketidakmerataan pendidikan.
Pendidikan yang tertinggal di daerah terpencil disebabkan karena sulitnya akses menuju sekolah. Masih banyak murid yang kesulitan saat menuju sekolah. Mereka melalui jalan setapak yang terjal atau harus bergelantungan di jembatan gantung. Bahkan, ada siswa yang masuk ke sebuah wadah, atau plastik besar dan yang lainnya untuk menyebrangi aliran sungai yang deras.
Belum lagi kurangnya tenaga pengajar dan fasilitas yang memadai. Bahkan, ada beberapa kebijakan pemerintah yang dirasa tidak memiliki asas keadilan, seperti sistem zonasi yang akhirnya justru banyak merugikan siswa.
Dengan sistem zonasi ini, anak tidak perlu lagi melihat sisi prestasi, melainkan seberapa dekat jarak yang bisa ditempuh untuk ke sekolah. Maka dia bisa memiliki peluang untuk diterima.
Bagi mereka yang tidak diterima, maka tidak ada pilihan lain selain memasukkan anak ke sekolah swasta yang jelas biayanya selangit.
Melambungnya biaya pendidikan tidak diiringi dengan kenaikan upah masyarakat.
Kondisi ini tentu membuat orang tua semakin sulit membiayai pendidikan anak-anaknya. Inilah yang memicu anak-anak untuk putus sekolah. Sungguh, sangat disayangkan!
Lalu, kalau sudah seperti ini, di mana peran pemerintah untuk mengatasi semua masalah pendidikan ini?
Sungguh ironis, inilah nasib para peserta didik di sebuah negeri yang kaya akan sumber daya alam, tetapi tak merasakan kesejahteraan.
Telah kita pahami bahwa maju dan mundurnya suatu bangsa tergantung pada kualitas generasi muda. Maka jelas, pendidikan itu merupakan hal yang begitu penting demi melahirkan benih bagi tegaknya peradaban. Maka, sudah seharusnya penguasa memperhatikan pendidikan dalam semua aspeknya.
Sungguh miris, di sistem kapitalis ini, penyelenggaraan pendidikan tampaknya hanya untuk meraih keuntungan saja, bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan.
Alhasil, melihat semakin sulitnya masyarakat memperoleh kemudahan dalam hal pendidikan, tentu tujuan utama pendidikan ingin mencerdaskan kehidupan bangsa rasanya hanya menjadi lagu lama.
Hal ini tentu akan berbeda ketika kita menggunakan sistem Islam. Dalam sistem Islam, seorang khalifah akan memosisikan pendidikan sebagai dasar kebutuhan manusia, sama seperti sandang, papan dan juga pangan.
Khilafah menyediakan pendidikan secara gratis bagi seluruh rakyat.
Mereka akan diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk memperoleh pendidikan dan bahkan melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya secara cuma-cuma.
Negara akan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, juga gaji tenaga pengajar yang sesuai.
Untuk merealisasikan ini, negara akan membiayainya dari baitul mal dengan mengoptimalkan pos-pos pemasukannya, bukan dengan mematok biaya tinggi bagi para pelajar seperti yang terjadi di negara kita saat ini.
Ketika pendidikan tertata, maka seluruh lapisan masyarakat akan semakin sejahtera. Wallahu alam bissawab.
Oleh: Rindi Sartika
Ibu Rumah Tangga