Tinta Media - Pakar Fikih Kontemporer KH. Muhammad Shiddiq Al-Jawi menegaskan, haram hukumnya ormas ikut mengelola tambang.
"Haram hukumnya ormas ikut mengelola tambang," tuturnya dalam soal jawab yang diterima Tinta Media, Sabtu (3/8/2024).
Kiai berpandangan bahwa dalam Islam barang yang termasuk dalam kepemilikan umum adalah milik bersama dan tidak boleh dimiliki/dikuasai oleh seseorang (swasta).
Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya, “Kaum muslimin berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara yaitu: padang rumput, air dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Menurut Kiai Shiddiq diqiyaskan dengan tiga barang tersebut adalah semua barang yang menjadi hajat hidup orang banyak (min marāfiq al-jamā’ah) berdasarkan alasan hukum (‘illat) sebagai berikut, “Setiap apa saja yang keberadaannya dibutuhkan oleh masyarakat umum maka statusnya adalah milik umum (al-milkiyyah al-’āmmah).” (Taqiyuddin An-Nabhani, _Al-Nizhām Al-Iqtishādī fī Al-Islām,_ hlm. 219).
Maka dari itu ia memaparkan yang menjadi milik umum tidak terbatas hanya tiga barang yang tersebut dalam hadits di atas –yakni air, padang rumput (termasuk hutan) dan api (termasuk energi seperti minyak, gas, listrik, batubara, dll)-- melainkan juga semua barang tambang seperti emas, perak, tembaga, nikel, dll.
"Semua yang termasuk milik umum ini haram dimiliki atau dikuasai oleh individu, baik swasta nasional apalagi swasta asing. Tidak boleh pula penguasaannya diserahkan kepada ormas," tegasnya.
Selain alasan itu menurutnya, Islam telah mengharamkan bahaya (dharar) dalam segala bentuknya, termasuk bahaya atau dharar yang kemungkinan besar akan muncul dari pengelolaan tambang oleh ormas.
Kiai menyebutkan ada 3 (tiga) bahaya (dharar) yang kemungkinan besar akan muncul dari pengelolaan tambang oleh ormas, sebagai berikut :
Pertama, keikutsertaan ormas mengelola tambang, akan melegitimasi pengelolaan tambang selama ini yang menyimpang dari syariah.
Selama ini Kiai menilai tambang dikelola secara kapitalistik oleh negara lalu diserahkan kepada oligarki, baik oligarki nasional maupun oligarki internasional.
"Sehingga hanya menguntungkan korporasi (pemilik modal) dan penguasa, sedangkan rakyat tidak mendapat apa-apa, kecuali dampak buruk dari penambangan, baik dampak buruk berupa kerusakan lingkungan maupun dampak buruk berupa konflik sosial (konflik tanah, dsb)," ungkapnya.
Seharusnya ujar Kiai Shiddiq pengelolaan tambang ala kapitalisme yang destruktif selama ini dikritisi oleh ormas, bukan malah dilegitimasi oleh ormas dengan cara ikut-ikutan mengelola tambang.
Kedua, keikutsertaan ormas mengelola tambang, akan memadamkan atau minimal meredupkan kritik (amar makruf nahi mungkar) oleh ormas kepada penguasa.
Ia menekankan contoh kemungkaran yang tidak dikritisi ormas, adalah ketika Presiden Jokowi memberikan hak pengelolaan tambang kepada ormas. "Seharusnya ormas mengkritik kebijakan Jokowi ini, karena Jokowi sebagai presiden tidak berhak menetapkan kebijakan itu, yakni negara tidak boleh memberikan sesuatu yang menjadi milik umum menjadi milik individu (swasta)," cetusnya.
Jadi menurut Kiai, ketika Presiden Jokowi menawarkan atau memberikan hak pengelolaan tambang kepada ormas, seharusnya ormas mengkritik kebijakan Jokowi ini, karena Jokowi tidak berhak melakukannya." Tapi sayangnya, alih-alih mengkritik, ormas malah menerima tawaran batil dari Jokowi tersebut," bebernya.
Ia mengingatkan bukankah ormas mendapat amanah dari Allah SWT untuk melakukan amar makruf nahi mungkar, termasuk amar makruf nahi mungkar kepada penguasa?
Ketiga, keikutsertaan ormas mengelola tambang, akan memperbesar ketimpangan ekonomi di tengah masyarakat dan menyuburkan kecemburuan sosial, karena yang akan menikmati hasil tambang hanya petinggi dan jamaah ormas tertentu itu, bukan seluruh masyarakat.
"Padahal tambang adalah milik masyarakat secara umum, bukan milik ormas tertentu secara khusus," pungkasnya.[] Muhammad Nur