Tinta Media - Kecurangan pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru atau PPDB di berbagai daerah terus berulang. Ada dugaan kecurangan dalam proses PPDB sebagaimana peristiwa tahun-tahun sebelumnya.
Anggota Ombudsman RI Indraza Marzuki Rais mengatakan bahwa terdapat persoalan-persoalan menonjol yang ditemukan dalam pelaksanaan PPDB di sejumlah wilayah tanah air, mulai dari penyalahgunaan jalur afirmasi, menambah jumlah SMA 'fiktif', penambahan rombongan belajar, bahkan gratifikasi dan pungli untuk jaminan penerimaan siswa. Pungli dengan modus pendaftaran/administrasi dan pembelian seragam/buku, dan jual beli kursi dengan menambah jumlah kuota. Namun, dengan temuan Ombudsman ini belum terlihat rencana pemerintah untuk mengubah sistem PPDB yang lebih berkeadilan bagi semua.
Bahkan, pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) di SMAN 1 Majalaya, Kabupaten Bandung pun diduga terjadi kecurangan. Hal itu terendus saat puluhan warga terdekat mengeluhkan bahwa sebanyak 18 calon siswa dari Desa Panyadap, Kecamatan Solokanjeruk tidak masuk ke sekolah tersebut karena gagal masuk melalui jalur zonasi, padahal calon peserta didik tersebut berjarak dekat dan memenuhi syarat administrasi. Yang lebih mencengangkan, ternyata jual beli kursi saat PPDB ini terjadi bahkan di hampir semua sekolah negeri yang ada di tanah air, sehingga PPDB zonasi ini menjadi kisruh.
Namun, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) RI Muhadjir Effendy menegaskan bahwa kecurangan yang muncul dalam pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) sistem zonasi bukan karena kesalahan sistemnya, tetapi karena tidak adanya pengawasan.
Maraknya kecurangan tersebut menjadikan banyak peserta didik tidak dapat terpenuhi hak pendidikannya, padahal sudah terpenuhi syarat sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini merupakan pelanggaran yang harusnya serius dalam penanganannya. Jika tidak, akan berefek kepada kualitas generasi negeri ini di masa depan yang akan menentukan kualitas negara ini, karena sebuah negara dikategorikan maju atau terbelakang ditentukan oleh kualitas pendidikannya.
Jika akses dalam mendapatkan pelayanan pendidikan sulit dan tidak memadai, seperti yang terjadi di negeri ini, maka wajar jika negeri ini akan menjadi negara yang terbelakang di masa yang akan datang. Sulitnya mencari sekolah berkualitas yang murah dan terjangkau masyarakat luas di negeri ini sudah lama terjadi sebelum sistem zonasi itu diterapkan.
Penerapan sistem zonasi konon dalam rangka memperbaiki penyebaran siswa agar lebih terwujud pemerataan pendidikan, tetapi nyatanya tidak terwujud. Ini karena sistem tersebut tidak ditopang oleh asas pendidikan yang kokoh dan SDM penyelenggara pendidikan yang bertanggung jawab dan berdedikasi dalam upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan.
Pada akhirnya, terbuka peluang-peluang untuk terjadinya kecurangan yang akan terus menimbulkan kisruh PPDB. Ini menunjukkan buruknya sistem di negeri ini yang terbukti abai dalam memenuhi kebutuhan pendidikan semua warga. Itulah sistem kapitalisme sekularisme liberalisme.
Sistem tersebut memandang bahwa pendidikan merupakan barang ekonomi yang dapat dikapitalisasi sehingga memberikan keuntungan. Pengelolaan pendidikan bisa diliberalisasi dan bukan layanan yang wajib dipenuhi oleh negara. Lemahnya negara dalam pendanaan di bidang pendidikan, menjadikan munculnya kebijakan privatisasi di bidang pendidikan.
Artinya, pihak swasta dibebaskan untuk memanfaatkan peluang berbisnis di dunia pendidikan sehingga mendapatkan banyak keuntungan. Alhasil, jika orang tua ingin sekolah yang berkualitas dan berprestasi bagi anaknya, dia akan memasukkan mereka ke sekolah swasta yang notabene biayanya tinggi, yang hanya dapat dinikmati oleh orang-orang kaya.
Adapun rakyat umum yang berekonomi menengah ke bawah, mereka harus berebut bangku di sekolah negeri yang menggunakan sistem zonasi. Ini justru melahirkan masalah-masalah baru, termasuk banyaknya anak bangsa yang tidak dapat mengenyam pendidikan.
Masyarakat malah saling berkompetisi dan tidak sedikit menempuh segala cara untuk memuluskan jalan anaknya bersekolah di sekolah unggulan yang diminati, misalnya dengan beberapa bulan atau setidaknya sebulan menjelang PPDB mengontrak rumah di sekitar wilayah yang dekat sekolah yang diminati atau sekadar nempel di KK yang tempat tinggalnya masuk wilayah zonasi, bahkan merogoh kocek untuk membeli kursi.
Masalah seperti ini pasti terus berulang karena penerapan sistem kapitalisme melahirkan pendidikan sekuler, yaitu sistem pendidikan yang memisahkan antara agama dan dunia. Tujuan pendidikan yang kapitalistik juga mendorong semua elemen yang terlibat di dalamnya hanya berorientasi pada uang. Tidak mengapa calon siswa menyuap dan curang, yang penting bisa masuk sekolah yang diharapkan.
Islam sebagai sistem hidup yang sempurna telah menetapkan pendidikan sebagai layanan publik yang menjadi hak setiap warga negara dan menjadi kewajiban negara dalam penyelenggaraannya. Atas dasar itu, negara wajib memberikan pelayanan terbaik, sebagaimana yang dicontohkan dalam penerapan syariat Islam kaffah selama kurun lebih 1300 tahun dalam naungan khilafah Islamiyyah. Pendidikan berkualitas di masa tersebut telah menghantarkan peradaban Islam sebagai peradaban yang tinggi dan maju.
Di zaman keemasan Islam, pendidikan yang diselenggarakan sangat berkualitas, tetapi gratis. Kemajuan pendidikan Islam itu telah terbukti menjadi rujukan peradaban lain.
Tim Wallace-Murphy (2006) menerbitkan buku berjudul What Islam Did for Us: Understanding Islam's Contribution to Western Civilization. (London: Watkins Publishing, 2006). Buku tersebut memaparkan fakta tentang transfer ilmu pengetahuan dari Dunia Islam ke Barat pada Abad Pertengahan.
Selain itu, banyak lahir pula para ilmuwan dan cendekiawan yang menerbitkan banyak karya, seperti Al Khawarizmi_penemu Aljabar, Ibn Al Haitham_Fisikawan Penemu Optik, Ibn Sina_Ilmuwan Bidang Kedokteran, dan masih banyak lainnya penemuan dan karya mereka menjadi rujukan ilmu hingga saat ini.
Padahal, pada saat itu tidak ada pajak dan sumber daya alam melimpah, seperti minyak bumi yang belum ditemukan. Namun, khilafah Islam melakukan pembiayaan penyelenggaraan pendidikan dan berhasil menjadikan pendidikan di dunia Islam merata dan berkualitas tinggi.
Setiap orang berhak mengikuti pendidikan secara gratis selama memang memiliki kecerdasan yang diperlukan. Negara juga tidak akan berbagi peran dengan swasta yang mengakibatkan rakyat kesulitan mengakses pendidikan.
Penerapan sistem ekonomi Islam membuat negara memiliki anggaran yang cukup untuk mendirikan sekolah murah, bahkan gratis dan berkualitas. Dengan akidah Islam sebagai dasarnya, masyarakat pun terikat dengan hukum syariat yang menjadikannya benar dalam menetapkan visi pendidikan bagi anak-anak mereka, bukan semata bagi kepentingan dunia kerja untuk mengatasi kemiskinan sebagaimana sekarang. Sehingga, mereka akan mencari sekolah tanpa harus berbuat curang. Wallahu'alam Bishawwab.
Oleh: Thaqiyunna Dewi, S.I.Kom, Sahabat Tinta Media