Tinta Media - Dari hari ke hari berita yang datang dari pemerintah sering kali membuat rakyat resah. Bagaimana tidak, setelah menaikkan harga eceran tertinggi (HET) beras dan gula, kini minyak goreng Minyakita yang diperuntukkan bagi rakyat jelata turut dinaikkan pula. Sungguh ironi, di negara penghasil kelapa sawit terbesar dunia, harga minyak goreng tetap saja mahal.
Seperti diberitakan bahwa HET minyak goreng Minyakita naik dari Rp14.000 menjadi Rp15.700. Kenaikan tersebut diumumkan oleh Menteri perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan dalam Surat Edaran Nomor 03 Tahun 2023 tentang pedoman penjualan minyak goreng rakyat. Kemendag beralasan, harga eceran minyak goreng harus disesuaikan dengan biaya produksi yang terus naik dan fluktuasi nilai tukar rupiah.
Hal ini membuat ekonom dan pakar kebijakan publik Achmad Nur Hidayat merasa bingung. Menurutnya, kedua alasan di atas terasa aneh. Sebab, minyak goreng dihasilkan dari minyak sawit, sementara Indonesia merupakan negara penghasil sawit terbesar di dunia.
Achmad Nur mencatat bahwa produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia pada 2023 mencapai 50, 07 juta ton, naik 7,15 dibandingkan produksi tahun 2022 yang mencapai 46,73 juta ton. Dengan begitu, untuk memproduksi minyak goreng, Indonesia tidak perlu impor, sehingga kurang tepat jika kenaikan harga ini dikaitkan dengan nilai tukar rupiah karena bahan bakunya semua ada di dalam negeri. Kenaikan harga ini justru berpotensi memperburuk kondisi ekonomi masyarakat. (Liputan6.com, 20/7/2024)
Setiap terjadi kenaikan harga, pasti akan berdampak pada kehidupan masyarakat, apalagi minyak goreng merupakan bahan pokok yang sangat dibutuhkan, baik bagi kebutuhan rumah tangga ataupun untuk usaha mikro dan pedagang makanan. Hal ini tentunya semakin membebani masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang serba sulit.
Daya beli masyarakat pun sedang lesu dikarenakan penghasilan yang tak menentu. Angka pengangguran tinggi hingga menjuarai di tingkat ASIA. Yang bekerja pun terbebani dengan potongan pajak pekerja, BPJS dan Tapera. Belum lagi ancaman PHK yang bisa terjadi kapan saja.
Selain itu, HET yang menjadi acuan tidak serta-merta diikuti oleh para pedagang. Bisa jadi, di pasaran penjual akan mematok harga lebih tinggi karena keuntungan yang tipis. Lantas, untuk kepentingan siapa pemerintah menaikkan HET minyak goreng ini?
Jelas bahwa masyarakat, baik pedagang maupun pembeli tidak diuntungkan dengan kebijakan ini. Rakyat jelata selalu dipaksa untuk menerima apa pun yang ditetapkan negara. Lantas, tugas pemerintah sendiri apa jika bukan mengurusi rakyat, memudahkan kehidupan mereka, dan melayani setiap kebutuhan mereka?
Kenyataan yang harus diakui, pemerintah dalam sistem kapitalisme hanya berperan sebagai regulator yang membuat regulasi. Namun, regulasi tersebut tidak diprioritaskan bagi kesejahteraan rakyat, bahkan sering kali justru menyengsarakan rakyat.
Lantas, siapa yang diuntungkan dari setiap kebijakan dan regulasi tersebut? Mereka adalah para kapitalis oligarki, pemilik modal besar yang menguasai distribusi bahan pokok di tingkat nasional. Mulai dari perkebunan sawit, produksi minyak goreng, distribusi ke pasar, hingga ritel-ritel dan mall mereka kuasai. Maka, mereka mampu mengatur harga di pasaran. Bahkan, di saat minyak goreng langka, mereka bisa menahan barang, hingga harga baru ditentukan.
Apa daya, rakyat jelata hanya bisa menerima. Tak ada pilihan bagi mereka selain banting tulang memeras keringat demi terpenuhi kebutuhan hidup sambil memberi sumbangan untuk negara berupa pajak yang diambil dari berbagai sektor.
Sesekali rakyat dihibur dengan pemberian bantuan sosial berupa beras dan sedikit uang agar mereka lupa kebiasaan yang menyusahkan, bahkan senang dan menganggap pemimpinya sebagai pahlawan. Padahal, bantuan tersebut diambil dari pajak yang mereka bayarkan.
Berbeda halnya ketika negara Islam tegak dengan menerapkan syariat Islam untuk mengurusi urusan umat. Negara akan menjamin ketersediaan kebutuhan pokok secara perorangan. Negara akan memastikan tidak ada seorang pun dari rakyat yang menderita kekurangan, memastikan agar bahan pokok berupa beras, gandum, minyak, lauk pauk, sayuran, dan semua yang dibutuhkan tersedia, bisa diakses bagi semua rakyat, baik di kota maupun di pelosok desa. Sebab, rakyat adalah prioritas utama dalam kepengurusan negara.
Khilafah akan memastikan ketersediaan barang, distribusi ke pasar dan konsumen lancar dan aman. Tidak akan ada lagi praktik monopoli pasar atas nama perorangan ataupun swasta.
Negara akan mencegah dan memberantas praktik monopoli dan penimbunan yang dapat merusak keseimbangan harga. Dengan begitu, harga pun akan terjaga dengan sendirinya.
Dalam sistem perdagangan Islam, tidak adalah istilah HET karena negara tidak pernah mematok harga karena Allah dan Rasul-Nya melarang hal tersebut.
Sebagaimana hadis dari Anas bin Malik, beliau menuturkan,
“Pada masa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam pernah terjadi kenaikan harga-harga yang tinggi. Para sahabat lalu berkata pada Rasul, “Ya Rasulullah, tetapkan harga untuk kami!” Rasulullah shalallahu alaihi wasalam menjawab, ‘Sesungguhnya Allah Zat yang menetapkan harga, Yang Menahan, Yang mengulurkan, dan Yang Maha memberi rezeki. Sungguh, aku berharap dapat menjumpai Allah tanpa ada seorang pun yang menuntutku atas kezaliman yang aku lakukan dalam masalah darah dan tidak juga dalam masalah harta.”
Selain itu, negara akan terus mengawasi pasar agar tidak terjadi penimbunan dan kecurangan yang menyebabkan harga naik. Masyarakat yang berada dalam naungan Islam juga sudah terbina dengan akidah yang sahih dan mengakar dalam dada.
Kesadaran akan hubungannya dengan Allah Subhanahu wa ta’ala akan membuatnya paham bahwa setiap aktivitas harus dilakukan mengikuti perintah dan larangan Allah. Sebab, semua perbuatan itu kelak akan diminta pertanggungjawaban di hadapan-Nya.
Karena itu, masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang pasti akan membekali diri dengan ilmu terkait fikih muamalah dan pasti akan berdagang dengan jujur dan amanah. Begitu pula dengan profesi-profesi lainnya.
Sedangkan negara juga wajib menyediakan lapangan kerja bagi setiap laki-laki agar bisa menafkahi keluarga yang menjadi tanggungannya. Tentunya, setiap orang diberikan pekerjaan sesuai kemampuan dan bidang yang dikuasainya.
Dengan begitu, masyarakat pun akan terjamin kesejahteraan dan ketenangan hidupnya, sebab semua bernaung dalam sistem yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai pembuat hukum.
Negara hanya tinggal melaksanakan dan menggali hukum dari sumber yang syar’i. Rakyat akan menaati pemimpin dan menjaga ketaatan terhadap Allah Ta’ala dan Rasulullah shalallahu alsihi alaihi wasalam.
Oleh: Dini Azra, Sahabat Tinta Media