Transaksi Riba, Sumber Petaka Manusia - Tinta Media

Rabu, 17 Juli 2024

Transaksi Riba, Sumber Petaka Manusia


Tinta Media - Beberapa waktu yang lalu, masyarakat kota Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel) dihebohkan dengan penemuan jasad dicor semen. Korban berinisial AES (25) adalah seorang pegawai koperasi yang dibunuh nasabahnya, seorang pemilik distro pakaian di wilayah Maskarebet, Sukarame, Palembang. 

Mengutip dari laman Tribunnews.com (1/7), Kapolrestabes Palembang, Kombes Pol Harryo Sugihartono mengatakan bahwa kasus ini merupakan pembunuhan berencana. Pembunuhan ini dilakukan karena pelaku mengaku kesal saat utangnya yang semula Rp5 juta berbunga hingga Rp24 juta.

Malapetaka Riba

Sebagaimana diketahui, pinjaman koperasi yang berbunga merupakan aktivitas riba. Riba adalah tambahan atau kelebihan. Konsep utang riba kerap dipakai sebagai ajang bisnis menggandakan uang. Dengan modal kecil, keuntungan bisa didapat melalui nasabah yang terlambat melakukan pembayaran. Aktivitas riba ini adalah aktivitas kemaksiatan karena tambahan atas pinjaman merupakan sebuah kezaliman, apalagi bunga yang diterapkan kadang tidak masuk akal. 

Meskipun demikian, aktivitas riba makin digandrungi dalam kehidupan sekularisme yang memisahkan aturan agama dari kehidupan ini. Tanpa agama, manusia dibebaskan mengelola kehidupan sesuai kehendaknya sendiri. Walhasil, kebebasan itu justru berbuah petaka. Saat kehidupan tidak diatur dengan agama, kerusakan demi kerusakan terjadi. 

Kasus di atas merupakan buah dari aktivitas riba. Setiap kezaliman berujung sengsara, dan setiap kemaksiatan akan berujung petaka. Individu dalam sekularisme terkikis imannya, sehingga mudah kalut dan emosi dalam berbuat. Sering mengambil jalan pintas dengan menghilangkan nyawa untuk  menyelesaikan masalah.

Adapun praktik riba, tidak hanya dilakukan oleh individu, tetapi juga negara. Contohnya adalah utang negara. Mengutip dari laman kontan.co.id (22/1), pemerintah membayar bunga utang sebesar Rp497,3 triliun di tahun 2024. Pembayaran bunga utang itu meningkat 11,55% dari realisasi pembayaran bunga utang di 2023 yang sebesar Rp439,88 triliun.

Bukan hanya pada utang, kebijakan negara dengan mengeluarkan pinjaman online (pinjol) dengan legalisasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga penuh dengan riba. Pinjol 'legal' ini sebagai bentuk upaya pemerintah menanggulangi kasus bunuh diri akibat gagal bayar pinjol 'ilegal'. Namun faktanya, pinjol legal yang diinisiasi pemerintah justru riba, dengan menerapkan bunga dan denda keterlambatan. Mengutip dari CNBCIndonesia.com (11/11/23), per 1 Januari 2024 bunga pinjol OJK sebesar 0,3% per hari. Masih banyak lagi kebijakan lain dari negara yang dibangun atas dasar riba. 

Sungguh, pembangunan negara berasas riba hanya membuahkan petaka. Sebagaimana terjadi hari ini, beragam kebijakan zalim diterapkan tanpa memikirkan nasib rakyat. Alhasil, negara terus diambang kemiskinan dan kerusakan akibat penerapan praktik riba dari segala arah. Kemiskinan, kesenjangan ekonomi, dan kebijakan zalim terus merajalela.

Riba, Haram! 

Di dalam Islam, Allah Swt. telah mengharamkan praktik riba, dalam firman-Nya: 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian beruntung.” (QS Ali Imran [3]: 130)

Ibnu Qudamah menyatakan, Ibnul Mundzir rahimahulLâh berkata, ”Para ulama sepakat bahwa jika orang yang memberikan pinjaman memberikan syarat kepada yang meminjam supaya memberikan tambahan atau hadiah, lalu transaksinya terjadi demikian, maka pengambilan tambahan tersebut adalah riba.”

Rasulullah Saw. menyebut, pelakunya akan dilaknat di Yaumil Akhir. Dari Jabir bin Abdillah ra. dinyatakan,

“Rasulullah saw. telah melaknat pemakan riba (pemberi pinjaman), peminjam (nasabah), pencatat (sekretaris), dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, ‘Mereka semua itu sama (sama-sama berdosa).’” (HR Muslim).

Satu dirham dosa riba amat berat dosanya. Rasulullah Saw. bersabda, “Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang, sementara ia tahu, adalah lebih berat (dosanya) daripada berzina dengan 36 pelacur.” (HR Ahmad, Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani). Nauzubillah! 

Sebagai bentuk kemaksiatan yang besar, riba haruslah dihindari apa pun alasannya. Mempertahankan keburukan sama saja melanggengkan kerusakan di tengah-tengah masyarakat. Saat individu dan negara jauh dari hukum Islam, kerusakan demi kerusakan pasti terjadi. 

Oleh karena itu, dibutuhkan upaya serius dengan menegakkan Khilafah, sebagai satu-satunya sistem pemerintahan yang sahih dari Allah Swt. Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna untuk kehidupan manusia. 

Telah tercatat dalam sejarah kegemilangan Islam, bagaimana saat Islam diterapkan, rakyat hidup dalam kesejahteraan dan kemakmuran. Ketika sebuah keburukan terjadi, artinya saat itulah manusia jauh dari hukum Allah Swt. Wallahua'lam bisshawab.

Oleh: Ismawati, Aktivis Dakwah Banyuasin
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :