Tinta Media - Salah satu permasalahan sosial yang saat ini terjadi adalah masyarakat miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari dengan standar layak. Mereka sebagian besar makan 2 kali dalam sehari dengan komposisi gizi pangan yang alakadarnya. Masalah inilah yang menyebabkan angka stunting pada anak terus melonjak. Ini berbanding terbalik dengan fenomena food waste.
Ironi, food waste (membuang makanan) yang kerap terjadi khususnya di ibukota, malah dianggap sebagai hal yang lumrah.
Biasanya ini terjadi di rumah makan atau restoran karena makanan yang sudah disajikan tidak dihabiskan sehingga terbuang percuma. Bayangkan, bila satu rumah makan limbah makanannya minimal mencapai satu kilogram dalam sehari, belum dikalikan dengan 7 hari atau 30 hari, kira-kira berapa banyak limbah makanan yang terbuang dalam kurun waktu satu bulan? Itu baru satu rumah makan, belum dikalikan dengan jumlah rumah makan atau restoran yang ada di dalam kota itu.
Belum lagi tren mukbang yang menjamur dan membuat orang berlomba-lomba memakan makanan dalam porsi besar dan tren-tren kekinian lainnya yang malah mendukung food waste.
Padahal, sebagai umat yang beradab, seharusnya kita memperlakukan makanan pun ada adabnya. Cukuplah kita memakan makanan yang sekiranya sesuai dengan kebutuhan. Kalaupun ada porsi lebih, ada baiknya diberikan pada mereka yang membutuhkan.
Tak cukup gaya hidup qana'ah dalam setiap individu, tetapi negara juga wajib mengedukasi warganya untuk hidup qana'ah dan peduli dengan sesama. Dengan begitu, kebiasaan membuang makanan (food waste) tidak akan terjadi.
Selain itu, negara bertanggung jawab dalam distribusi stok kebutuhan pangan ke seluruh daerah secara merata. Negara juga harus memastikan bahwa tiap warga negara terpenuhi gizinya dengan sempurna.
Oleh: Siti Hardiyanti, Sahabat Tinta Media