Smart City, untuk Rakyat atau Sekadar Kepentingan Ekonomi? - Tinta Media

Rabu, 10 Juli 2024

Smart City, untuk Rakyat atau Sekadar Kepentingan Ekonomi?

Tinta Media - Smart City digadang-gadang sebagai program yang inovatif, efektif, dan efisien. Program ini bertujuan untuk mengembangkan sebuah kota atau kabupaten dengan menerapkan dan mengimplementasikan teknologi dengan cara menghubungkan infrastruktur fisik, ekonomi, dan sosial dalam sebuah kawasan sehingga diharapkan bisa meningkatkan pelayanan dan mewujudkan kualitas hidup yang lebih baik.

Di Indonesia, terdapat 3 wilayah yang masuk dalam daftar Smart City index, yakni Jakarta, Yogyakarta, Makassar, dan Medan. Sebanyak 25 kota dan kabupaten telah menjadi perintis Smart City Indonesia 2017, sedangkan tahun 2024, pemerintah menargetkan 10 daerah menjadi Smart City. Salah satunya adalah Kabupaten Solok.

Pada Selasa (25/6/2024) lalu, telah dilaksanakan evaluasi implementasi Smart City tahap I bersama Kementerian Kominfo RI (Kemenkominfo RI). Evaluasi ini merupakan kesempatan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dalam implementasi Smart City tahap pertama. Dari sini, pemerintah Kabupaten Solok bisa menemukan solusi dan strategi yang tepat untuk meningkatkan pelayanan publik berbasis teknologi.

Program Nasional Mengatasi Urbanisasi

Sebagaimana diketahui bahwa Smart City merupakan upaya pemerintah untuk mengatasi urbanisasi. Urbanisasi merupakan aktivitas perpindahan masyarakat dari desa ke kota dalam rangka mendapatkan penghidupan yang lebih layak. Perpindahan ini disebabkan karena kondisi perkotaan lebih maju dibandingkan dengan di desa.

Pada tahun 2045, diperkirakan sebanyak 82,37% penduduk Indonesia hidup di kota. Maka, penting bagi pemerintah untuk bisa melakukan program pengembangan kota dengan konsep kota pintar ini demi mewujudkan kesejahteraan hidup dan pelayanan yang efisien bagi masyarakat.

Sebab itulah, pemerintah berupaya mewujudkan “Gerakan menuju 100 Smart City” yang merupakan program bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian dalam Negeri, Kementerian PUPR, Bappenas dan Kantor Staf Kepresidenan.

Namun, benarkah program ini berhasil terwujud sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat ataukah sekadar kepentingan ekonomi semata?

Sekadar Mengejar Kepentingan Ekonomi

Ternyata Smart city pertama kali dikembangkan oleh perusahaan International Business Machines Corporation (IBM) pada tahun 1990. Perusahaan ini merupakan perusahaan teknologi multinasional Amerika dan merupakan organisasi penelitian industri terbesar di dunia.

IBM memberikan pengertian awal bahwa smart city merupakan kota yang setiap instrumennya berhubungan dan berfungsi secara cerdas. Kemudian, pengertian ini diperluas dan memberikan jaminan untuk membuat semakin banyak kota di seluruh dunia memiliki konsep yang cerdas dengan mengimplementasikan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam pengembangan dan pengelolaan kota untuk meningkatkan kualitas hidup warga.

Namun, program smart city ini cenderung sekadar untuk mewujudkan kepentingan ekonomi (menarik investasi), bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sebagaimana dikenalkan bahwa smart city menerapkan konsep pengaturan limbah dan pengelolaan air yang lebih maju.

Tujuan kota pintar yang lain adalah bagaimana dapat mendatangkan wisatawan sebayak mungkin, menarik investor agar berinvestasi di kota tersebut, kemudian menarik penghuni baru, baik profesional, akademisi, ataupun usahawan untuk bertempat tinggal di kota tersebut. Tolok ukurnya adalah memiliki daya tarik yang kuat.

Kita ketahui bahwa saat ini pemerintah sedang menggencarkan pengembangan wisata dan menarik investor untuk menanamkan modal. Kabupaten Solok sendiri memang dikenal sebagai kawasan wisata, sehingga menjadi daya tarik untuk mewujudkan Smart City.

Belum lagi jika kita amati bahwa sektor smart city yang ditawarkan memang hanya berkaitan dengan perekonomian masyarakat, seperti perizinan untuk usaha dan nonusaha, informasi pariwisata, kemasan produk dan pemasarannya, dan pelayanan masyarakat terkait dokumen.

Ini sama sekali tidak menyentuh kebutuhan dasar masyarakat, terutama jaminan bagi masyarakat untuk bisa memenuhi kebutuhan pokok dengan layak, akses pendidikan yang murah dan berkualitas, akses kesehatan yang bisa dijangkau semua kalangan dengan pelayanan terbaik dan memuaskan tanpa harus bersusah payah mengeluarkan biaya besar. Program tersebut hanya sekadar mengakomodir kepentingan ekonomi yang bisa menghasilkan pundi-pundi keuangan bagi pemerintah.

Jelas, program seperti ini tidak menyentuh pada kepentingan seluruh masyarakat, melainkan kepentingan pemilik modal.

Belum lagi smart city ini juga sebagai bukti kesenjangan sosial yang memang menjadi ciri khas penerapan sistem ekonomi kapitalis.

Bagaimana tidak, program smart city merupakan upaya pemerintah untuk mengatasi aktivitas urbanisasi masyarakat tang menunjukkan ada perbedaan kondisi yang sangat jauh antara kota dan desa.

Masyarakat desa banyak menuju kota karena melihat kehidupan di kota lebih mudah diakses dan lebih maju. Sementara di desa, mereka hidup dengan ketertinggalan, baik dari sisi pendidikan, kesehatan, bahkan perekonomian.

Padahal di desa dan di kota sama-sama dihuni oleh manusia, dari bangsa yang sama. Namun, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat tidak mampu diwujudkan oleh sistem kapitalisme ini.

Bukti ketidakadilan lainnya adalah bahwa hanya beberapa daerah yang dipilih untuk mewujudkan program smart city dengan berbagai kecanggihan teknologi dan kemudahan akses di dalamnya. Seakan ada wilayah yang ‘dianak-kandungkan dan ada wilayah yang ditinggalkan’.

Padahal, bisa menikmati segala kemudahan yang ada merupakan hak bagi seluruh masyarakat, termasuk kemudahan teknologi.

Belum lagi dampak buruk digitalisasi bagi masyarakat di kemudian hari. Sebab, teknologi yang dikembangkan tidak dibarengi dengan pengembangan pembangunan masyarakat yang di dalamnya terdapat pemikiran, perasaan, dan aturan yang diterapkan.

Jika teknologi terus dikembangkan sementara pemikiran masyarakat dibiarkan tertinggal dengan ‘liberalisme’, maka kemudahan teknologi tidak bisa dipergunakan pada tempatnya. Bahkan, kemajuan teknologi tersebut bisa menjadi akses untuk melakukan tindak kejahatan yang besar sebagaimana yang telah kita saksikan hari ini.

Kapitalisme memang lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur ekonomi secara fisik daripada investasi untuk membangun kekuatan suprastruktur moral yang akan membangun manusia. Akibatnya, kemanusiaan mengalami kemandekan dan kualitas peradaban manusia hanya berputar dan berjibaku di level terendah, yakni konsumsi (pemenuhan) kebutuhan dasar semata.

Smart dengan Islam

Islam tidak melarang kita untuk mempergunakan atau mengembangkan teknologi. Bahkan, hal itu dianjurkan agar manusia bisa lebih mudah dalam menjalankan aktivitas, bukan dalam rangka menarik investor.

Justru, Islam akan menjadikan seluruh masyarakat smart dengan ideologi Islam yang diterapkan. Dengan edukasi dan dorongan ketakwaan, masyarakat bisa menggunakan teknologi secara handal dan bertanggung jawab di hadapan Allah Swt.

Begitulah yang terjadi pada masa kekhilafahan. Khilafah akan melaksanakan program apa pun semata untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Ditambah lagi, menyediakan pelayanan terbaik bagi masyarakat seperti pelayanan umum dan penyediaan infrastruktur merupakan kewajiban bagi negara.

Misalnya saja, hingga abad ke-19, Khilafah Utsmaniyah masih konsisten mengembangkan infrastruktur transportasi. Saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama untuk memperlancar perjalanan haji.

Pada 1900, Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek Hejaz Railway. Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul-ibu kota Khilafah-hingga Makkah, melewati Damaskus, Yerusalem, dan Madinah.

Di Damaskus, jalur ini terhubung dengan Baghdad Railway yang rencananya akan terus ke timur menghubungkan seluruh negeri Islam lainnya. Proyek ini diumumkan ke seluruh dunia Islam dan umat pun berduyun-duyun berwakaf.

Kalau saja ini selesai, pergerakan pasukan Khilafah untuk mempertahankan berbagai negeri Islam yang terancam penjajah juga sangat menghemat waktu. Dari Istanbul ke Makkah yang semula membutuhkan 40 hari perjalanan, tinggal menjadi 5 hari.

Jelaslah bahwa Islam akan menyelaraskan perkembangan teknologi dengan kesiapan pemikiran/pemahaman rakyat yang sahih sehingga siap menggunakan berbagai teknologi semata untuk keridaan Allah. Hanya Islam yang akan mampu mewujudkan kesejahteraan, bukan hanya di kota, melainkan seluruh wilayah daulah Islam dibarengi dengan pemikiran masyarakat yang agung dengan Islam. Wallahu alam bi ash-shawab. []

Oleh: Harne Tsabbita, Aktivis Muslimah

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :