Rusaknya Generasi Muda,Hanya Islam Solusinya - Tinta Media

Senin, 01 Juli 2024

Rusaknya Generasi Muda,Hanya Islam Solusinya


Tinta Media - Makin ke sini, generasi muda makin mengerikan. Kehidupan remaja begitu dekat dengan tindak kriminal, seperti tawuran, pemerkosaan, pembunuhan, dan kekerasan. Sedih? Iya. Miris? Jelas. Was-was? Pasti. 

Usia muda yang seharusnya menjadi usia cemerlang dalam prestasi, kebaikan, karakter dan akhlak, justru sangat kontradiktif dengan fakta hari ini.

Seorang siswi tingkat SMP telah menjadi korban pemerkosaan bergilir yang dilakukan oleh 10 orang. Tiga di antaranya adalah pria dewasa, tiga orang masih berstatus pelajar, dan empat pelaku lainnya masih buron. 

Di tempat berbeda, tepatnya di Bekasi, puluhan remaja terlibat tawuran “perang sarung”. Perang sarung tersebut memakan satu korban jiwa. Seorang pelajar berusia 17 tahun meregang nyawa setelah tawuran antarkelompok geng remaja tersebut. 

Terbaru, di Pangkalpinang, Kep. Bangka Belitung, “perang sarung” terjadi di tiga lokasi berbeda dalam semalam. (Muslimah News, 19/03/2024) 
Mengapa generasi kita menjadi seperti ini?

 Pengaruh Sekularisme

Tindak kriminal dan aksi brutal di kalangan remaja bukan hanya sekali, tetapi sudah berulang kali dan setiap tahun terjadi hal yang serupa. Artinya, solusi preventif dan kuratif tidak efektif, apalagi sistem sekularisme masih mendominasi kehidupan. Inilah yang menjadi akar masalah kerusakan generasi. 

Sistem sekularisme telah melahirkan pola hidup liberal, hedonistik, dan permisif. Standar hidup tidak lagi berpegang teguh pada agama, melainkan berorientasi pada pencapaian atau keberhasilan yang bersifat materi. Alhasil, generasi semakin jauh dari ketaatan kepada Penciptanya, yaitu Allah Taala.

Di sisi lain, sistem sekularisme juga memengaruhi pola penyusunan kurikulum. Seperti halnya dalam sistem pendidikan hari ini, output dan tujuan pendidikan tidak sinkron. Dalam salah satu poin Undang-Undang (UU) Sisdiknas disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuannya adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berilmu.

Pertanyaannya, apakah dengan menggunakan model kurikulum sekuler yang diterapkan saat ini, tujuan itu dapat tercapai? Sementara, porsi Islam dalam struktur kurikulum pendidikan sekuler begitu minim. Meski sudah banyak lembaga pendidikan Islam sebagai solusi alternatif, bukan suatu jaminan tidak akan terjadi perilaku negatif generasi. Arus sekularisasi inilah yang tengah dihadapi orang tua, guru, dan lembaga di semua lini kehidupan. 

Pada era keterbukaan informasi saat ini, mereka bisa mengakses apa saja yang ada di dunia digital. Generasi pun semakin tidak terkontrol dan terkendali. Belum lagi adanya tontonan berbalut maksiat atau game bergenre kekerasan. 

Ditambah budaya yang merajalela serta pemikiran asing yang sering menjadi tren dan kiblat di kalangan remaja, jadilah generasi pengikut tanpa bisa menyaring mana yang benar dan mana yang salah sesuai pandangan Islam. Artinya, yang perlu dirombak dan dievaluasi bukan hanya guru, orang tua, atau lembaga, melainkan sistem yang diterapkan, yakni sistem sekuler kapitalisme.

Betul, keluarga merupakan fondasi awal pembentukan karakter dan pendidikan anak, juga benteng pertahanan bagi anak-anak di dalamnya. Namun, keluarga juga adalah benteng yang rapuh. 

Keluarga dalam sistem kapitalisme sulit untuk bisa menjadi keluarga ideal. Ini karena semakin tingginya biaya hidup, semakin memaksa banyak orang tua bekerja keras untuk bertahan. Tidak hanya ayah yang harus mencari nafkah, bahkan para ibu pun harus rela bekerja keras menambal keuangan keluarga. 

Mahalnya kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, juga tuntutan materialisme, sering membuat mereka harus mengedepankan pekerjaan dan mengabaikan anak-anak. Pada akhirnya, terkadang anak lantas diasuh oleh lingkungan yang belum tentu steril dari kerusakan. Oleh karena itu keluarga membutuhkan kekuatan yang mampu menjadi perisai anak-anak di mana pun ia berada, di rumah, sekolah, atau lingkungan masyarakat. Kekuatan besar itu adalah negara.

Dalam sistem kapitalisme, fungsi perlindungan negara ini hampir tidak ada karena negara berfungsi sebagai regulator saja. Negara tidak boleh mengekang kebebasan rakyat. Akibatnya, pergaulan bebas, pornografi, pornoaksi, dan perzinaan mendapat tempat yang lapang di tengah masyarakat. 

Negara tidak boleh melanggar hak asasi, membungkam media perusak moral, menghukum para pelaku hubungan sejenis, merajam para pelaku pemerkosaan anak, dan seterusnya. Negara menjadi mandul, tidak memiliki kekuatan untuk bergerak menghentikan kerusakan masif terhadap generasi.

Upaya-upaya perlindungan anak diserahkan pada masyarakat dan LSM. Sama seperti berbagai aspek kehidupan lain. Ada Lembaga Perlindungan Anak (LPA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), dan sebagainya. 

Upaya yang dilakukan ini tentu tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Pasalnya, peran lembaga-lembaga tersebut hanya “menyapu halaman”, tidak mampu untuk menghilangkan sumber kotoran. Dengan kata lain, mereka hanya melakukan pendampingan korban, melakukan mediasi, rehabilitasi mental, dan sejenisnya, bukan menjauhkan anak dari ancaman dan bahaya yang mengintai mereka.

 Negara Islam Perisai Generasi 

Islam memiliki paradigma berbeda dalam penyelamatan generasi. Dalam negara Islam, yakni Daulah Khilafah. Islam menerapkan seperangkat hukum yang  menyelesaikan semua permasalahan mulai dari akar sampai ke cabang-cabangnya. Hukum ini diterapkan oleh penguasa yang tidak hanya bertanggung jawab terhadap rakyat, tetapi juga kepada Allah Taala secara langsung.

Pemimpin dalam Islam memiliki dua fungsi. 

Pertama, fungsi pemeliharaan urusan rakyat. Ini sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى 
النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِه

Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas pihak yang kalian pimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak, ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Imam Al-Baghawi (w. 516 H) menjelaskan makna “ar-râ’in” dalam hadis ini, yakni pemelihara yang dipercaya atas apa yang ada pada dirinya. 

Ar-ri’âyah adalah memelihara sesuatu dan baiknya pengurusan. Di antara bentuknya adalah pemeliharaan atas urusan-urusan rakyat dan perlindungan atas mereka. (Al-Baghawi, Syarh as-Sunnah, 10/61)

Kedua, fungsi  sebagai junnah (perisai). Hal itu sebagaimana pujian yang dituturkan Rasulullah saw. Kepada figur dari seorang penguasa yang dibaiat oleh kaum muslimin untuk menegakkan hukum-hukum Allah, melindungi harta kehormatan dan darah kaum muslim. Nabi Muhammad saw. Bersabda,

إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
BBC
“Sungguh, imam (khalifah) itu perisai; (orang-orang) akan berperang di belakangnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” (HR Muttafaqun ’alayh)

Negara adalah benteng, yang pada hakikatnya akan melindungi generasi dari kerusakan apa pun. Mekanismenya  dilakukan secara sistemis, meliputi berbagai aspek yang terkait langsung maupun tidak langsung, antara lain sebagai berikut:

Pertama, pengaturan sistem ekonomi. Islam mewajibkan negara menyediakan lapangan pekerjaan yang luas dan merata agar para kepala keluarga dapat bekerja dan memberikan nafkah untuk keluarganya.  

Semua sumber daya alam strategis adalah milik umat yang dikelola negara. Negara wajib mendistribusikan seluruh hasil kekayaan milik umat untuk kesejahteraan warga negara, baik untuk kebutuhan pokok individu (pangan, papan, dan sandang) maupun kebutuhan dasar kolektif (kesehatan, pendidikan, dan jaminan keamanan). Maka, beban keluarga menjadi lebih ringan dan pendidikan anak bisa berlangsung sebagaimana mestinya.

Kedua, pengaturan sistem pendidikan. Negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan berbasis akidah Islam bagi seluruh anak. Dengan itu, terbentuk kepribadian Islam pada anak yang standar berpikir dan bersikapnya adalah Islam. Pembentukan standar Islam inilah yang akan menyelamatkan para pemuda dari gempuran ide-ide Barat yang menyesatkan.

Ketiga, pengaturan sistem sosial. Sistem yang mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, yang akan menghasilkan interaksi produktif dan saling menolong dalam membangun umat. Interaksi yang tidak membangun seperti campur baur laki-laki dan perempuan tanpa ada keperluan akan dilarang. 

Perempuan akan selalu diperintahkan untuk menutup aurat, menjaga kesopanan dan juga akan dijauhkan dari eksploitasi seksual. Menikah akan dipermudah.  Aturan-aturan sosial ini akan menjamin naluri seksual yang hanya akan muncul dalam bentuk hubungan suami istri dan menjauhkan dari hubungan di luar itu. Semua bentuk penyimpangan seksual, seperti seks bebas, elgebete dan sebagainya akan ditutup rapat, sehingga terbangun akhlak mulia di tengah-tengah masyarakat. 

Keempat, pengaturan media massa. Media massa bebas menyampaikan informasi. Namun, mereka harus terikat dengan kewajiban untuk memberikan pendidikan, menjaga akidah dan kemuliaan akhlak serta menyebarkan kebaikan dalam masyarakat. Media informasi juga berperan dalam mengungkap kesalahan pemikiran, paham, ideologi dan aturan sekuler-liberal. 

Dengan cara itu, masyarakat menjadi paham mana yang benar dan yang salah. Mereka pun bisa terhindar dari pemikiran, pemahaman, dan gaya hidup yang tidak islami. 

Media yang memuat kekerasan, ide elgebete, pornografi, pornoaksi, dan segala yang merusak akhlak dan agama, akan dilarang terbit dan akan diberikan sanksi bagi pelaku yang melanggar.

Kelima, pengaturan sistem kontrol sosial. Masyarakat yang bertakwa akan selalu mengontrol agar individu tidak melakukan pelanggaran. Oleh karena itu, suasana ketakwaan dibangun di tengah umat melalui berbagai kajian agama secara umum. 

Upaya mewujudkan amar makruf nahi mungkar akan dihidupkan kembali, sehingga orang merasa enggan untuk melakukan perbuatan maksiat. Dalam rangka kontrol sosial ini, negara juga mengangkat kadi hisbah, yaitu hakim yang bertugas mengawasi ketertiban umum. 

Negara memiliki hak untuk menindak berbagai pelanggaran sosial, seperti khalwat laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, perilaku menyimpang di tengah umum,  pelanggaran cara berpakaian dan sebagainya.

Keenam, pengaturan sistem sanksi. Negara menerapkan sistem sanksi  yang telah  ditetapkan oleh Allah Swt.  Sanksi tegas yang menimbulkan efek jera diberlakukan bagi para pelaku pelanggaran hukum syariat. Sistem sanksi ini akan mengakhiri perusakan generasi secara efektif. Berbagai macam pengaturan yang diterapkan oleh negara akan membangun perlindungan yang utuh untuk anak-anak, orang tua, keluarga, dan masyarakat.

Dengan menerapkan mekanisme-mekanisme ini.  Maka liberalisme, kapitalisme, dan ide perusak lainnya tidak akan mampu menyentuh anak-anak. Mereka akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi muslim yang tangguh, pejuang dan pembangun, serta  menjadi mutiara-mutiara di tengah umat dalam lindungan negara. 

Negaralah yang mampu melakukan fungsi besar itu, memiliki ideologi yang dipegang erat, yang terpancar dari suatu akidah yang tidak akan tergoyahkan. Negara itu adalah Negara Islam.

Membangun Kesadaran Umat 

Menyelamatkan generasi yang sudah tergerus kerusakan tidak akan bisa dilakukan oleh individu saja ataupun institusi tertentu, melainkan harus menjadi gerakan bersama seluruh umat. Negara adalah motor dan payungnya. Ketika negara Islam tersebut belum terbentuk, maka kuncinya berada di tangan umat. Caranya?

Pertama, menciptakan opini publik yang terbangun dari kesadaran umum bahwa Islam adalah solusi bagi seluruh persoalan, khususnya upaya penyelamatan generasi. Kedua, melakukan pergolakan pemikiran dan membuka keburukan ide-ide Barat yang digunakan untuk merusak para generasi. Menjelaskan kerusakan dan bahayanya terhadap kehidupan seluruh manusia. Mengungkapkan rancangan asing yang didesain untuk merusak pemikiran generasi muda, seperti moderasi beragama rancangan RAND Corp, pembajakan potensi generasi muda untuk kepentingan kapitalis melalui jalur pendidikan. 

Upaya-upaya ini dilakukan menggunakan berbagai cara, langsung maupun menggunakan media massa, media sosial, offline  maupun online, yang memungkinkan untuk menjangkau umat seluas-luasnya. Tentunya semua ini  membutuhkan komitmen yang kuat dari para pengemban dakwah Islam, dan juga penyusunan strategi yang tepat serta kerja keras. Hanya pada generasi mudalah kita berharap akan lahirnya generasi Muhammad al-Fatih baru yang akan membangkitkan umat dan mengantarkan Islam pada puncak kegemilangannya. Waallahualam Bishawab.


Oleh: Ummi Yati
Sahabat Tinta Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :