Tinta Media - Hukum di Indonesia lemah dan tidak menenteramkan. Itulah salah satu kesan dari kasus Polisi Wanita (Polwan) yang membakar suaminya yang juga berprofesi sebagai polisi, gara-gara judi online. Hukum yang berlaku di negara ini tidak mampu memberantas judi online yang menjadi pemicu konflik serta tidak mampu melahirkan rasa takut yang dapat mencegah siapa pun melakukan tindak kriminal.
Kasus ini serta berbagai kasus lainnya menunjukkan bahwa hukum yang berlaku di negara ini tidak mampu mencegah warga masyarakat melakukan tindakan kriminal. Tidak ada rasa takut terhadap hukuman yang menjadi ancaman bagi para pelaku kejahatan. Termasuk dalam diri aparat penegak hukum itu sendiri.
Tidak heran jika tindakan kriminal terus bermunculan dengan berbagai bentuk seperti pembunuhan, kekerasan, pencurian, pemerkosaan, perampokan dan lain sebagainya. Termasuk maraknya tindak pidana korupsi menunjukkan minimnya rasa takut para pelaku terhadap hukum yang berlaku. Tidak terkecuali bagi mereka yang sudah pernah menjalani hukuman. Sanksi yang pernah dijalani tidak berhasil melahirkan efek jera yang dapat membuat para bekas narapidana takut mengulangi lagi perbuatannya.
Lemahnya pemberantasan penyakit masyarakat semisal judi online semakin mengganggu ketenteraman di masyarakat. Dampaknya sangat luas. Bukan hanya berdampak pada keuangan, tetapi juga terhadap mental masyarakat, menurunkan produktivitas, merusak keharmonisan rumah tangga bahkan dapat memancing lahirnya berbagai tindakan kriminal. Apalagi, jika polisi yang harusnya memberantas judi online malah ikut menjadi pecandu. Alih-alih tertumpas, justru judi akan tumbuh subur dengan berbagai bentuknya.
Terlibatnya beberapa oknum polisi bahkan jenderal polisi sebagai pelaku tindak kejahatan seperti Ferdy Sambo semakin menampilkan wajah buruk hukum di negeri ini. Belum lagi adanya dugaan salah tangkap yang dilakukan oleh oknum polisi dalam beberapa kasus, tentunya menambah keresahan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum maupun penegak hukum.
Pada dasarnya, kelemahan serta buruknya hukum di negeri ini berasal dari sumbernya. Bahkan dari landasan ideologi yang membangun negara ini.
Undang Undang Dasar (UUD) 1945 selaku hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia maupun peraturan lainnya pada hakikatnya merupakan hasil pemikiran manusia belaka. Hal ini sesuai dengan pasal 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa Undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama presiden. Selanjutnya peraturan pemerintah dan peraturan presiden ditetapkan oleh presiden, peraturan daerah provinsi dibentuk oleh DPR Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama gubernur, dan seterusnya hingga ke tingkat kabupaten.
Ironisnya lagi, dalam buku yang berjudul Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia karya Dr. Fitri Wahyuni, S.H., M.H., disebutkan bahwa Hukum pidana yang berlaku sekarang ini merupakan produk hukum pidana peninggalan pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda. (Fitri Wahyuni, 2017: 26).
Jelaslah kelemahan hukum kita selama ini. Selama sumbernya murni pemikiran manusia, selama itu pula kelemahan dan kekurangan melekat pada hukum tersebut. Betapa pun tingginya kecerdasan maupun tingkat keilmuan para pembuat hukum, mereka tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari kekurangan dan kelemahan sebagai manusia. Manusia tidak akan mengetahui segala persoalan secara komprehensif, sehingga solusi yang dihasilkan dari pemikiran manusia juga tidak akan pernah komprehensif.
Syaikh Manna Al-Qaththan dalam bukunya Tarikh Tasyri’ (Sejarah Legislasi Hukum Islam) menjelaskan kelemahan undang-undang buatan manusia di antaranya rentan berganti dan berubah-ubah. Sesuatu yang halal pada hari ini bisa jadi haram pada esok hari.
Undang-undang buatan manusia tidak memperhatikan masalah akhlak, serta tidak mampu mengendalikan jiwa manusia sepenuhnya. Hukuman yang ditetapkan tidak dapat membuat jera bagi pelaku kejahatan, karena para pembuat hukum sengaja membuat hukum yang diridai oleh mayoritas masyarakat dan berusaha menyesuaikannya dengan aturan-aturan yang telah berjalan dan berlaku di masyarakat.
Tentu berbeda dengan hukum Islam yang sumbernya langsung dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala Sang Maha Pencipta alam semesta. Sumber Hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah yang merupakan wahyu dari Allah, manusia hanya diberi tugas untuk memahaminya lalu berusaha semaksimal mungkin untuk menerapkannya.
Dilihat dari sumbernya tersebut, hukum Islam dapat dipastikan mampu menjawab seluruh persoalan hidup manusia dengan penyelesaian yang sempurna.
Satu hal yang juga hanya dimiliki oleh hukum Islam yaitu pembahasan aqidah atau iman yang menjadi landasan dalam menyelesaikan seluruh persoalan manusia. Bahwa manusia hakikatnya adalah hamba Allah dan akan dimintai pertanggungjawaban seluruh amal perbuatannya di akhirat. Iman ini dengan berbagai konsekuensinya melahirkan kesadaran bahwa ketaatan terhadap hukum Islam merupakan bagian dari penghambaan kepada Allah serta dapat meringankan beban kita di akhirat bahkan dapat menyelamatkan kita dari siksa api neraka.
Dengan karakteristik tersebut, hukum Islam mampu mencegah terjadinya berbagai tindakan kejahatan (zawajir). Hukuman bagi para pelaku kejahatan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits dapat memberi efek jera seperti hukuman qishas bagi para pelaku pembunuhan. Mereka yang berniat jahat harus berpikir seribu kali untuk merealisasikan niatnya, karena akan mendapatkan hukuman yang sangat berat di dunia dan tentunya di akhirat jauh lebih berat lagi.
Akhirnya, hanya hukum Islam saja yang benar-benar dapat menentramkan baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan, para pelaku kejahatan yang menjalani sanksi dengan hukum Islam bisa tenteram di akhirat karena hukum Islam bisa menjadi penebus (jawabir).
Oleh: Muhammad Syafi’i, Aktivis Dakwah