Tinta Media - Pembiayaan pendidikan tinggi masih menjadi masalah yang belum teratasi. Setelah penundaan naiknya UKT, kini beralih dorongan untuk melakukan aktivitas keharaman secara legal, demi mengatasi permasalahan.
Keberadaan sistem pinjol (pinjaman online) melalui perusahaan P2P lending di lingkungan akademik dianggap bisa membantu mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam pembiayaan pendidikan. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy. Ia menganggap hal itu sebagai bentuk inovasi teknologi yang patut dimanfaatkan.
Menurutnya, antara pinjol dengan judol (judi online) sebagai dua hal yang berbeda. Judol merupakan aktivitas yang melanggar Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pelakunya akan dikenai hukuman penjara 6 tahun dan denda 1 miliar.
Sedangkan pinjol menurut Muhadjir, dianggap solusi bagi pembiayaan pendidikan bagi mahasiswa yang mengalami kesulitan pembiayaan dana. (Tirto.id, 3-7-2024)
Sehingga, wacana student loan atau pinjaman online buat mahasiswa pun mendapat dukungan oleh Menko PMK, Muhadjir Effendy. Hal ini sebagai respon terhadap dorongan DPR kepada Kemendikbudristek untuk meminta BUMN terkait agar membantu mahasiswa yang kesulitan dalam membayar uang kuliah. (Cnn.Indonesia, 3-7-2024)
Sudah menjadi rahasia umum, adanya jenjang perguruan tinggi menjadi hal yang dianggap kebutuhan mewah bagi masyarakat menengah ke bawah. Minimnya anggaran pendidikan, membuat setiap PTN mencari sendiri tambahan pendapatan demi terselenggaranya operasional pendidikan.
Solusi Sesat Pinjol
Sungguh menyedihkan, pinjol yang sejatinya usaha ribawi dijadikan solusi bagi pendidikan tinggi. Hal ini karena adanya kepemimpinan sekuler kapitalis yang dijalankan oleh negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia ini.
Segala kebijakan negara yang dibuat tidak melihat halal dan haram. Semua hanya berlandaskan manfaat atau keuntungan materi bagi segelintir kelompok masyarakat. Sehingga, pinjol yang legal dan bertebaran di dunia digital, dianggap sebagai solusi praktis untuk mengatasi keluhan mahalnya pendidikan tinggi.
Negara sudah tidak mampu memberi subsidi tambahan agar biaya pendidikan terjangkau oleh para mahasiswa, terutama bagi yang memiliki ekonomi menengah ke bawah. Anggaran yang minim sebesar 20 persen akan sangat kurang bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Negara menyerahkan kebebasan kepada masing-masing lembaga pendidikan untuk mencari pendapatan tambahan secara mandiri dari jatah yang diberikan oleh negara. Langkah praktisnya adalah dengan menaikkan biaya pendidikan tinggi, seperti UKT (Uang Kuliah Tunggal)
Maka wajar, pejabatnya pun melontarkan program pinjaman bagi mahasiswa, seperti student loan. Tawaran bunga lunak dan bisa dicicil setelah lulus kuliah, dijadikan sebagai pemikat.
Sesatnya berpikir dalam mencari solusi terhadap berbagai masalah, sudah lazim dalam sistem sekuler kapitalisme. Segala sesuatu diukur dengan standar keuntungan, bukan halal dan haram. Padahal, sudah nyata adanya pinjol dan pinjaman ribawi konvensional adalah haram dalam Islam.
Al-Qur’an secara jelas dan tegas menyatakan dalam QS. Al-Baqarah: 275.
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Perbuatan riba dihukumi sebagai dosa besar yang tidak terhapus dengan sekadar istighfar. Pelaku riba harus melakukan taubat nasuha, meminta ampunan kepada Allah Swt. dan berjanji untuk tidak mengulangi kembali.
Jika semasa pendidikan mahasiswa telah terasuki pinjol, maka hal ini dianggap sebagai pelegalan atas tindakan yang haram. Besar kemungkinan, ketika sudah mendapat pekerjaan, pinjol pun masih berkelanjutan. Ditambah adanya budaya konsumtif yang dijadikan gaya hidup oleh sebagian generasi muda saat ini, bermunculanlah banyak jenis pinjol untuk memenuhi keinginan yang kadang tidak dibutuhkan.
Jaminan Pendidikan dalam Islam
Islam sebagai agama yang paripurna dan paling sempurna memberi pedoman kehidupan bagi umatnya. Pendidikan, dalam sistem Islam kaffah dengan insitusi Khilafah termasuk dalam struktur administrasi negara, sebagaimana kesehatan dan transportasi.
Dikarenakan pendidikan termasuk kebutuhan asasi atau mendasar bagi setiap manusia, maka tidak ada perbedaan antara pendidikan dasar, menengah, atas, dan tinggi, kesemuanya menjadi hak bagi rakyat untuk mendapatkannya.
Negara sebagai pengurus kebutuhan rakyat berkewajiban untuk mengatur dan memastikan bahwa pendidikan setinggi apa pun bisa dinikmati oleh setiap rakyat.
Maka, negara akan mengupayakan agar biaya pendidikan mampu dijangkau oleh seluruh lapisan rakyat, bahkan bisa menjadi gratis.
Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw. Beliau pernah membebaskan tawanan perang Badar, dengan tebusan berupa mengajarkan baca-tulis bagi penduduk Madinah secara gratis. Ini menjadi bukti, bagaimana pendidikan menjadi kebutuhan yang wajib diselenggarakan oleh negara untuk rakyat.
Negara memberi anggaran yang maksimal untuk penyelenggaraan pendidikan yang berasal dari pos pendapatan fa’i, ghanimah, kharaj, dan kekayaan alam milik umum yang dikelola oleh negara. Maka, sumber pendapatan yang mengalir berlimpah inilah yang senantiasa dipakai untuk memenuhi seluruh hak warga negara, berupa pendidikan.
Wajar, jika di masa Kekhalifahan Abbasiyah (750-1258 M) terdapat Bait-Al Hikmah, perguruan tinggi yang ternama pusat penelitian sekaligus perpustakaan besar. Di masa inilah, dilahirkan berbagai ilmuwan besar yang sangat berjasa dalam ilmu pengetahuan modern dan disegani hingga sekarang. Ini karena karyanya masih dipakai pedoman bagi dunia iptek sekarang. Mereka adalah Al-Khwarizmi (Bapak Algoritma), Ibnu Sinna (Ahli Kedokteran), Jabbir bin Hayyan (Bapak Kimia).
Walhasil, penyelenggaraan pendidikan akan berhasil dan mampu mencetak generasi cemerlang jika sistem negara menjadikan Islam kaffah sebagai landasan. Sistem sahih ini berasal dari Sang Pencipta, Allah Swt.
Apabila setiap rakyat menerima pendidikan secara adil dan makruf, maka negara akan mampu menjadikan rakyat sebagai khairu ummah, seperti yang termaktub dalam TQS. Ali Imran: 110.
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.”
Hal ini menjadi kabar gembira bagi kaum muslimin untuk kembali kepada sistem Islam kaffah, agar terwujud kehidupan yang berkah dengan generasi cemerlang. Wallahu’alam bisahawwab.
Oleh: Nita Savitri, Pemerhati Kebijakan Publik dan Generasi