Tinta Media - Pernyataan pejabat terkait pembayaran kuliah memakai pinjol menuai kontroversi. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, menyebutkan adopsi mekanisme pinjaman online (pinjol) adalah bentuk inovasi teknologi. Dan tidak dipungkiri, mekanisme ini menjadi strategi yang memiliki peluang menjanjikan di bidang pendidikan (tirto.id, 3/7/2024).
Demikian disampaikan Menteri Muhadjir saat menanggapi dorongan DPR RI kepada Kemendikbudristek RI untuk menggaet BUMN sebagai usaha membantu mahasiswa dalam meringankan pembiayaan kuliah (cnnindonesia.com, 3/7/2024). Muhadjir pun menyebutkan bahwa penggunaa pinjol untuk meringankan biaya pendidikan patut diberi ruang dengan syarat lembaga yang bersangkutan legal, dan dapat dipertanggungjawabkan. Transaksi yang transparan dan tidak merugikan juga menjadi syarat penting diterapkannya pinjol di ranah pendidikan.
Pemahaman Rusak
Pernyataan pejabat terkait kebolehan pinjol untuk biaya pendidikan, jelas merupakan pernyataan yang keliru. Pinjol dikatakan sebagai bentuk inovasi teknologi untuk pembiayaan pendidikan merupakan pernyataan yang mampu merusak pemahaman masyarakat terkait pinjol. Dikhwatirkan pernyataan tentang kebolehan pinjol ini pun akan semakin meluas tidak hanya di sektor pendidikan. Hingga akhirnya dianggap sah-sah saja untuk beragam kebutuhan masyarakat di tengah rusaknya sistem ekonomi yang kini terjadi.
Sikap pejabat seperti ini mununjukkan sikap pragmatis yang tidak mampu menyajikan solusi yang solutif di tengah penyakit masyarakat yang makin akut. Inilah gaya kepemimpinan dalam sistem sekular kapitalistik. Kepemimpinan yang hanya mengandalkan kepraktisan tanpa memperhitungkan dampak yang merusak. Gaya kepemimpinan ini pun sama sekali tidak mampu membedakan antara konsep benar dan salah, atau halal haram. Segala bentuk kebijakannya telah dibutakan standar yang bias dan tidak jelas. Dukungan dan fasilitasi negara terhadap pengusaha pinjol, akan mengaruskan pemikiran masyarakat pada solusi yang parsial. Satu masalah mungkin bisa teratasi namun solusi ini melahirkan masalah lain yang lebih sistemik dan mengakar. Alhasil, semua kebijakannya melahirkan masalah yang tidak berkesudahan.
Fakta ini juga merefleksikan bahwa negara telah abai pada kepentingan pendidikan rakyat. Abainya negara akan menghantarkan masalah yang terus membelit masyarakat. Hingga berujung pada pembodohan yang sistemik dalam tubuh masyarakat.
Skema pembiayaan pendidikan yang mahal dalam sistem ini, tidak lain karena adanya kebijakan yang bersifat "bisnis". Pendidikan rakyat dianggap sebagai obyek bisnis yang mampu mendatangkan keuntungan materi yang fantastis. Wajar saja, saat kebijakan yang ditetapkan selalu berorientasi pada kepentingan penguasa dan keuntungan materi semata.
Di sisi lain, fakta ini juga mendeskripsikan betapa rusaknya keadaan ekonomi masyarakat. Masyarakat dipaksa menelan pil pahit yang terus disajikan dalam bentuk kebijakan yang menyengsarakan. Pragmatisme, sifat yang hanya pasrah pada keadaan akibat kemiskinan menjadi hal yang wajar terjadi. Lagi-lagi, inilah bentuk kegagalan negara dalam mensejahterakan rakyat.
Pinjol dalam Pandangan Islam
Dalam syariat Islam, segala bentuk aktivitas dan barang yang telah ditetapkan haram, hukumnya tetap haram dalam kondisi apapun. Termasuk hukum judi dan segala bentuk perbuatan yang serupa atau terkait dengannya.
Allah SWT. berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung." (QS. Al-Ma'idah: 90)
Sistem Islam menjadikan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab atas rakyat dalam semua bidang kehidupan, termasuk mewujudkan pendidikan yang merata dengan biaya terjangkau. Dalam hal ini, negara memiliki tanggung jawab menciptakan kesejahteraan dalam setiap sektor kehidupan.
Islam memiliki mekanisme dan strategi yang khas dalam mengurus setiap urusan rakyat. Termasuk dalam menetapkan kebijakan dan kriteria pemimpin yang layak dan memiliki kemampuan dalam mengurus umat. Islam menetapkan kriteria pejabat yang mampu menjadi teladan umat. Pemimpin yang senantiasa terikat dengan hukum syariat, dan menjadikan pemanfaatan teknologi sesuai dengan tuntunan syariat. Tidak latah dengan keadaan.
Segala bentuk mekanisme dan strategi tersebut hanya mampu diwujudkan dalam wadah institusi yang memprioritaskan urusan rakyat, yakni khilafah. Dalam institusi tersebut, setiap urusan rakyat adalah tanggung jawab penuh bagi negara.
Dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda,
”Sesungguhnya al-Imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR. Muttafaqun ’alayh)
Konsep pengurusan rakyat dalam kacamata Islam niscaya akan melahirkan kesejahteraan. Pengurusan pendidikan pun akan diatur dengan kebijakan yang menjaga kepentingan umat dalam keterikatan hukum syariat yang senantiasa menghantarkan pada ketaatan.
Wallahu'alam bisshowwab.
Oleh: Yuke Octavianty, Forum Literasi Muslimah Bogor