Pendapatan Pajak Meningkat, Rakyat Kian Sekarat - Tinta Media

Sabtu, 20 Juli 2024

Pendapatan Pajak Meningkat, Rakyat Kian Sekarat

“Bahagia di atas penderitaan rakyat.” 

Tinta Media - Ungkapan ini seolah tergambar pada sosok Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati saat mengungkap meningkatnya pendapatan pajak tahun 2024. 

Sri Mulyani mengaku senang mendengar pengakuan Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo bahwa Direkturat Jenderal Pajak akan terus melakukan perbaikan dan penguatan secara berkelanjutan serta selalu ada inisiatif untuk memperbaiki diri di setiap masa. (liputan6.com, 14-7-2024).

Wajar jika pemegang kendali keuangan negara merasa senang ketika mendapat laporan kenaikan pendapatan, meski pendapatan tersebut didapat dari memalak rakyat atas nama pajak. 

Pasalnya, pajak menjadi sumber pendapatan utama negara penganut sistem kapitalisme sekuler. Mereka berpendapat bahwa untuk membangun negara hingga mencapai sejahtera dan adil diperlukan dukungan penerimaan pajak yang baik. Padahal, sejatinya pungutan pajak merupakan bentuk kezaliman negara.

Semestinya negara berperan sebagai pengurus dan penjamin kesejahteraan rakyat, bukan justru mengambil kekayaannya. 

Ironi, Indonesia yang kaya sumber daya alam justru mengandalkan pajak sebagai pendapatan utama.

Akan tetapi, itulah fakta yang terjadi saat ini. Pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator dalam hal tata kelola urusan negara. Hal ini seolah membenarkan slogan demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” yang pada kenyataannya hanya sebagian kecil hasil pajak diperuntukkan rakyat. 

Jika ditelusuri, sebagian besar pajak yang dipungut dari rakyat nyatanya digunakan untuk membayar penguasa dan para dewan terhormat yang katanya mewakili inspirasi rakyat. Belum lagi pajak yang dikorupsi dan sulit ditelusuri karena dilakukan secara sistemik. 

Sungguh, ini adalah bentuk kezaliman yang nyata, terlebih berbagai kesulitan dialami oleh sebagian besar masyarakat. 

Jika sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama suatu negara, maka sistem Islam justru memiliki berbagai sumber penerimaan negara, bahkan dalam jumlah besar. Hal ini karena Islam memiliki sistem kepemilikan yang diatur pengelolaannya sesuai dengan sistem ekonomi Islam. 

Kepemilikan umum merupakan satu satu yang diatur pemanfaatannya untuk masyarakat, sebagaimana hadis Rasulullah yang diriwayatkan Abu Dawud, Ahmad, dan Abu Majah. 

“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput (gembalaan), dan api.” 

Dari kepemilikan umum itulah negara yang menjalankan sistem Islam akan memiliki pendapatan untuk kesejahteraan rakyat. Salah satu contoh kepemilikan umum adalah bahan tambang. Maka, bahan tambang harus dikelola oleh negara dan hasilnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. 

Tambang tidak boleh diberikan pengelolaannya kepada swasta, negara asing, apalagi organisasi masyarakat, bahkan individu sebagaimana terjadi saat ini di Indonesia. Dengan pengelolaan bahan tambang yang baik oleh negara, maka pungutan pajak tidak perlu lagi dilakukan dalam negara Islam.

Sejatinya, sistem Islam membolehkan pungutan pajak, tetapi dengan beberapa syarat. Syariat membolehkan penarikan pajak dengan empat kriteria (syarat) utama:

Pertama, pemungutan pajak hanya untuk melaksanakan kewajiban syar’i yang menjadi kewajiban bersama antara negara dan kaum muslimin secara umum.

Kedua, pemungutan pajak bersifat temporer, ketika kas negara kosong atau tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan umum. Penarikan pajak bersifat tidak tetap dan tidak berkelanjutan. 

Dengan demikian, pungutan pajak segera dihentikan ketika negara sudah mendapat pemasukan dari pos lain (hasil tambang misalnya).

Ketiga, pajak justru hanya diambil dari kaum muslimin, tidak boleh menarik pajak dari warga non-muslim, terlebih mereka sudah dikenakan jiziah.

Keempat, pajak tidak dibebankan pada semua orang, apalagi rakyat miskin. Pajak hanya ditarik dari warga yang mampu.

Apabila negara memungut pajak tanpa memenuhi syarat di atas, misalnya mewajibkan semua masyarakat termasuk rakyat miskin untuk membayar pajak, bahkan di berbagai sisi (pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan, pajak penghasillan, dan sebagainya), maka penguasa tersebut telah zalim terhadap rakyat. 

Pemungut pajak semacam itu kelak akan disiksa sebagaimana sabda Nabi saw. yang artinya, 

“Tidak akan masuk surga, siapa saja yang memungut pajak/cukai (yang tidak syar’i).”(HR. Ahmad dan Al-Hakim).

Kesimpulannya, pajak pada sistem kapitalis tidak bisa membuat rakyat sejahtera, tetapi justru menambah beban. Maka dari itu, solusi tuntas untuk meraih kesejahteraan rakyat adalah dengan mengganti sistem kapitalisme yang zalim tersebut dengan sistem Islam yang berasal dari Allah, Pencipta manusia, alam, dan kehidupan. 
Allahu ‘alam bish shawab.

Oleh: R. Raraswati, Sahabat Tinta Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :