Pejabat Mesum, Lahir dari Sistem Liberal Demokrasi - Tinta Media

Sabtu, 13 Juli 2024

Pejabat Mesum, Lahir dari Sistem Liberal Demokrasi

Tinta Media - Menjijikkan, begitulah perasaan yang muncul saat membaca berita tentang kasus seorang pejabat mesum terungkap ke publik. Dan lebih menjijikkan lagi saat kelakuannya ternyata tidak ditindak tegas hingga membuatnya jera sekaligus membuat orang lain juga takut untuk mengikuti jejaknya.

Sebagaimana telah ramai diberitakan beberapa hari terakhir, seorang pejabat politik yang menduduki posisi sebagai ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia berinisial HA menjadi pelaku asusila terhadap salah satu anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) wilayah Eropa. Kasus tersebut terungkap saat seorang perempuan anggota PPLN berinisial CAT melaporkan pelaku ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada 18 April lalu. (nasionaltempo.com/5-7-2024)

Dalam kehidupan liberal, kebebasan telah dijamin oleh sistem demokrasi hari ini, ternyata menjadi maut bagi siapa pun yang mengadopsinya. Bukan hanya melahirkan kecurangan politik, tetapi juga sukses melahirkan pejabat mesum yang memanfaatkan posisi jabatannya untuk memenuhi kepentingan ‘seksual’nya. Pelaku menyalahgunakan jabatan dengan memakai fasilitas kedinasan dan mengasosiasikan diri dengan kekuasaan. Pelaku juga memberikan janji dan memanipulasi informasi untuk merayu korban demi memenuhi nafsu pribadinya.

Sanksi Tidak Menjerakan, Meski Jabatan Diberhentikan

Meski atas tindakan asusila yang dilakukan, si pejabat telah dijatuhi sanksi pemberhentian tetap dari jabatannya sebagai ketua KPU RI. Tetapi, sanksi tersebut sungguh tak mampu membayar tindakan bejat yang telah dilakukannya. Pasalnya, tindakan asusila ini sudah termasuk ke dalam perzinaan. Yang tentu saja tidak bisa dianggap remeh. Tindakan mesum berawal dari pikiran mesum. Sedangkan pikiran mesum tidaklah tiba-tiba muncul dalam benak seseorang. Tetapi pikiran ini hadir jelas karena ada provokasi dari luar. Mulai dari tontonan yang memancing naluri seksual, fakta yang ada di depan mata dan yang jelas juga karena kondisi kehidupan sekuler liberal yang mendukung terjadinya kemaksiatan berupa tindak asusila.

Kehidupan sekuler liberal yang menjauhkan syariat Allah dari kehidupan, manusia diberi jaminan kebebasan dalam bertingkah laku. Hal inilah yang memicu lahirnya manusia-manusia yang tidak akan pernah takut kepada Allah untuk melakukan kemaksiatan. Sebab halal dan haram bukan menjadi standar perbuatannya. Maka sangat wajar jika kasus pejabat politik mesum dan bertindak asusila akan terus bermunculan di negeri ini. Ditambah lagi, sanksi yang diterapkan di negeri ini adalah hasil dari aturan buatan manusia. Sedangkan manusia, sarat akan kepentingan dan lemah dan penuh pertimbangan untung rugi. Alhasil, hukuman yang ada, hanya bersifat tambal sulam dan akan mudah direvisi sesuai kepentingan pembuat hukum. Yang ujungnya tidak akan membuat pelaku jera, termasuk pejabat-pejabat serta masyarakat secara umum yang memungkinkan akan melakukan hal yang sama saat peluang itu ada.

Penerapan Sistem Islam dan Tertutupnya Celah Kemaksiatan di Kalangan Pejabat

Islam telah jelas dinyatakan oleh Allah SWT dalam Alquran surat al Maidah ayat 3, yang intinya adalah sebagai satu-satunya agama yang diridhai, menjadi satu-satunya agama yang sempurna. Artinya, hanya Islamlah agama yang benar di sisi Allah SWT. Dan hanya Islam agama yang sempurna, bukan hanya sebatas agama spiritual yang wajib diyakini dan melahirkan ketenangan dalam hati manusia. Lebih dari itu, Islam adalah sebuah sistem hidup yang Allah SWT janjikan akan menghantarkan manusia pada keberkahan jika mereka mengambilnya sebagai aturan hidupnya.

Sistem Islam bersifat praktis, sebab telah terbukti dicontohkan langsung penerapannya oleh manusia terbaik di bumi ini yakni Rasulullah Muhammad Saw. Kehidupan Rasulullah Saw dan kaum muslimin setelah hijrah ke Madinah menjadi saksi sejarah kemuliaan Islam yang melahirkan masyarakat yang luhur tingkah lakunya. Dan di masa beliau Saw saat itu, Islam diterapkan secara sempurna. Termasuk penerapan sanksi bagi para pezina, baik ‘muhshan’ (pelakunya sudah menikah) maupun ‘ghairu muhshan’ (pelakunya belum menikah). Begitu tegas sanksi yang dijatuhkan pada pezina ghairu muhshan, yakni berupa jilid 100 kali jilid. Sedangkan bagi pezina muhshan adalah dirajam hingga mati. Dan tidak ada ketimpangan dalam penerapannya, baik pelakunya adalah dari kalangan rakyat maupun pejabat, di mata syariat adalah sama.

Pemberlakuan hukuman ini wajib disaksikan oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT, “Pezina perempuan dan pezina laki-laki , deralah masing-masing dari keduanya seratus kali , dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama(hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Dan laksanakanlah hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman.” (TQS. An-Nur ayat 2)

Yang demikian tentu saja tidak diterapkan oleh perorangan atau sebuah organisasi atau komunitas umat Islam saja. Perintah Allah ini hanya diterapkan oleh pemimpin negara yang tegak berlandaskan Islam, bukan yang lain. Sebagaimana yang Rasulullah contohkan saat memimpin negara pertama di Madinah. Dan penerapan syariatnya tegak di atas empat pilar yakni ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan adanya institusi negara yang menerapkan.

Maka, tidak ada cerita dalam kehidupan negara yang berlandaskan Islam dan menerapkan syariat Islam secara sempurna, seorang pelaku kemaksiatan yang takut akan sanksi. Sebab, ketika kemaksiatan sudah terlanjur dilakukan dan layak dijatuhi sanksi oleh negara. Maka ketakwaan para pelaku kemaksiatan itu terwujud dari sikap tanggung jawabnya mengakui kesalahan dan siap disanksi. Apalagi, sanksi dalam Islam sifatnya bukan hanya membuat jera para pelaku kemaksiatan dan masyarakat yang menyaksikannya, tetapi juga sebagai jalan menebus dosa atas kemaksiatan tersebut di hadapan Allah kelak.

Oleh karena itu, benarlah jika penerapan hukum sanksi dalam Islam adalah lebih baik daripada bumi yang disirami hujan selama 40 hari. Sebab dengannya, kemaksiatan bisa dicegah dan kehidupan pun menjadi berkah. Rasulullah Saw. Bersabda, “Dilaksanakannya suatu hukum ‘had’ di muka bumi, lebih baik bagi penduduknya dari pada turunnya hujan selama 40 hari.” (HR. Ahmad). Wallaahua’lam.

Oleh: Yulida Hasanah, Sahabat Tinta Media

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :