Tinta Media - Berita di media sosial saat ini semakin mengerikan. Seorang remaja berinisial SPA (19) sedang viral setelah menganiaya ayah kandungnya yang mengidap stroke hingga tewas. Remaja tersebut merasa kesal karena dimintai tolong untuk membopong sang ayah ke kamar mandi (Tribunlampung.co.id, 13/6).
Tak kalah menggegerkan, jasad seorang pedagang perabot ditemukan di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur. Setelah dilakukan penyelidikan oleh polisi, diketahui bahwa pelaku pembunuhan tersebut adalah kedua anak kandung korban sendiri yang masih berusia 17 tahun berinisial K dan P berusia 16 tahun.
Menurut Kabid Humas Polda Metro Jakarta Barat, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, pembunuhan tersebut dilakukan saat korban berinisial S sedang tidur pada hari Rabu, 19 Juni 2024. Kemudian tersangka menusuk korban dengan sebilah pisau dapur. Sempat terjadi perlawanan dari korban dengan mencakar tangan tersangka. Namun, tersangka kemudian menusuk kembali ayahnya tersebut hingga tumbang di atas kasur, di toko perabotan miliknya.
Tersangka kemudian meninggalkan TKP dengan menutup semua pintu setelah melihat korban tumbang dengan membawa HP dan motor korban. Sampai akhirnya pada Jumat, 21 Juni 2024, jasad korban ditemukan oleh pegawainya (Liputan6.com, 24/6). Berdasarkan temuan dalam proses penyelidikan, diketahui bahwa motif tersangka melakukan hal tersebut karena sakit hati sering dimarahi, dianiaya, dituduh mencuri, dan tidak terima disebut anak haram oleh korban.
Dua kasus di atas merupakan gambaran nyata dari lahirnya manusia-manusia yang miskin iman yang tak mampu mengontrol emosi. Hal tersebut terjadi karena masyarakat dijauhkan dari agama saat menjalani kehidupan sehari-hari (sekuler).
Kapitalisme menjadikan materi sebagai tujuan utamanya, sehingga abai dalam melakukan birul walidain. Hal ini diperparah dengan sistem pendidikan sekuler yang tidak mendukung untuk mewujudkan generasi yang salih dan memahami dan melaksanakan birul walidain tersebut.
Dari sini jelas bahwa sekularisme-kapitalisme telah merusak dan merobohkan pandangan mengenai keluarga, sehingga lahir generasi rusak. Hubungannya dengan Allah pun menjadi rusak.
Terlepas dari sakit hati seorang anak dari ucapan orang tuanya, bukankah seharusnya hal tersebut bisa diselesaikan dengan amar makruf nahi munkar antar-anggota keluarga? Bukankah akan lebih banyak hal baik yang cukup untuk bisa memaafkan orang tua dari satu kesalahan yang dilakukan?
Sayangnya, sekularisme menghilangkan itu semua. Yang ada hanyalah hubungan kemanfaatan semata. Jika anak merasa orang tuanya tidak berguna dan menghalangi, maka hawa nafsunya memuncak sehingga tega menghabisi nyawanya. Hal itu akan memberikan kepuasan tersendiri bagi mereka.
Kapitalisme telah terbukti nyata gagal memanusiakan manusia. Sistem ini malah menjauhkan manusia dari tujuan penciptaannya, yaitu sebagai hamba dan khalifah pembawa rahmat bagi seluruh alam. Hal ini karena tidak terpeliharanya fitrah dan akal mereka. Dari sistem tersebut, lahirlah generasi rusak dan merusak.
Sedangkan dalam Islam, generasi dididik untuk memiliki kepribadian Islam. Mereka akan berbakti dan hormat pada orang tua dan memiliki kemampuan dalam mengendalikan emosi.
Islam akan menjauhkan generasi dari kemaksiatan dan tindak kriminal dengan aturan yang jelas. Sistem sanksi yang menjerakan juga akan ditegakkan sehingga dapat mencegah semua bentuk kejahatan dan kekerasan. Semua itu hanya bisa terwujud dengan adanya institusi yang menegakkan syariat Islam secara menyeluruh. Wallahualam bissawab.
Oleh: Risma Choerunnisa, S.Pd., Sahabat Tinta Media