Tinta Media - Badan Pangan Nasional (Bapanas) memperpanjang lagi relaksasi harga acuan pemerintah (HAP) gula konsumsi yang naik dari Rp15.500 per kg menjadi Rp17.500 per kg. Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Bapanas I Gusti Ketut Astawa menyampaikan pertimbangan utama terjadinya relaksasi HAP gula konsumsi saat ini adalah tingginya harga gula konsumsi atau sekitar Rp18.000 per kg di pasar. Walau demikian Ketut menuliskan bahwa kenaikan harga gula tersebut belum tentu dinikmati oleh petani tebu selama musim giling pada Mei-September 2024. Maka dari itu peningkatan HAP menjadi Rp17.500 dinilai perlu agar gula konsumsi besutan petani lokal dapat diserap ujarnya.
Tidak gula, relaksasi harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng rakyat atau Minyakita rencana akan dinaikkan dari Rp14.000 per liter menjadi Rp15.700 per liter. Menteri perdagangan Zulkifli Hasan menyampaikan alasan relaksasi HET Minyakita menjadi Rp15.700 karena HET Rp14.000 dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan harga biaya pokok produksi yang terus mengalami perubahan.
Sebagaimana yang kita ketahui, HET dan HAP adalah batas harga tertinggi yang diperbolehkan untuk barang-barang yang dijual secara eceran kepada masyarakat sebagai konsumen akhir. Sedangkan minyak dan gula merupakan bagian dari sembako yang banyak digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sangat disayangkan, kebijakan pemerintah mengenai harga bahan pangan justru menjadikan masyarakat sulit mengakses bahan pokok tersebut. Apalagi ekonomi masyarakat hari ini semakin sulit, seperti maraknya PHK, daya beli masyarakat rendah dan lain sebagainya, sehingga membuat hidup rakyat makin sengsara.
Padahal penguasa seharusnya bekerja sebagai pengurus umat yang memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan pokok seluruh warga negaranya tanpa terkecuali. Artinya, pemerintah seharusnya bekerja dengan membuat mekanisme khusus yang memudahkan masyarakat dalam mengakses kebutuhan pokok tersebut. Namun, dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme demokrasi hari ini, hal tersebut mustahil untuk diwujudkan. Sebab, sistem ekonomi kapitalisme sendiri telah melegalkan liberalisasi di seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk sektor pertanian dan perdagangan.
Sebagaimana diketahui bahwa sejak Indonesia menandatangani perjanjian GATT (General Agreement on Tariffs and Trade), liberalisasi pertanian di negeri ini semakin kuat. Konsep liberalisasi menjadikan negara harus menyerahkan urusan pangan negeri ini kepada pihak korporasi swasta, mulai dari sektor hulu hingga hilir.
Hal inilah yang menjadikan pemerintah akhirnya semakin berlepas tangan dan lemah dalam mengawasi produksi hingga masalah distribusi pangan. Kebijakan pertanian pangan pun akhirnya semakin menjauh dari keberpihakan pada rakyat dan petani lokal. Sebaliknya, negara malah lebih berpihak kepada kepentingan korporasi dan asing. Alhasil, ketahanan dan kedaulatan pangan justru makin bergantung pada impor dan korporasi swasta.
Liberalisasi pertanian juga menjadikan pemerintah terus mengurangi subsidi pertanian. Hal ini mengakibatkan petani terus menurunkan jumlah produksinya. Bahkan sedikit demi sedikit petani mengalami kebangkrutan. Sementara petani yang masih bertahan tidak mampu dalam menaikkan level produksinya.
Penetapan HET dan HAP yang terus direlaksasi oleh pemerintah merupakan buah dari liberalisasi pertanian. Kebijakan pemerintah dalam menetapkan HET dan HAP seolah tidak ada artinya. Justru kebijakan ini hanya sebagai mekanisme tambal sulam kapitalisme yang pada dasarnya hanya untuk mengamankan konsumen sebagai pangsa pasar dari para korporasi kapitalis, bukan untuk bersungguh-sungguh melindungi rakyat.
Islam memiliki paradigma berbeda dalam mengatur masalah pangan dan pertanian. Sehingga dengan paradigma ini mampu mewujudkan pemenuhan pangan bagi seluruh rakyat termasuk dalam hal jaminan stabilitas harga. Jaminan ini berlandaskan politik ekonomi Islam yang memang tujuannya adalah untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok bagi seluruh individu rakyat. Pelaksanaannya wajib berada di pundak negara, tidak diserahkan kepada swasta apalagi asing.
Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Berdasarkan hadis tersebut, maka negara wajib bertanggung jawab secara penuh terhadap pengaturan urusan pangan rakyatnya. Sehingga fungsi negara bukan hanya sekedar regulator bagi kelancaran bisnis pangan. Islam menjadikan negara wajib hadir dengan sejumlah konsep sahih yang memungkinkan tiap individu masyarakat mengakses kebutuhannya dengan mudah dan dengan harga yang terjangkau.
Mewujudkan kedaulatan pangan menjadi hal yang mutlak melalui beberapa langkah yang didasarkan pada syariat Islam. Untuk meningkatkan produksi, dapat dilakukan dengan penerapan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dapat dilakukan dengan penggunaan sarana produksi pertanian yang terbaik. Yakni, para petani diberikan fasilitas untuk mengakses bibit terbaik, peralatan yang canggih dan teknik pertanian terbaru. Sedangkan negara harus membangun infrastruktur pertanian, jalan hingga komunikasi, sehingga arus distribusi menjadi lancar.
Sedangkan pada aspek ekstensifikasi yaitu dengan meningkatkan luasan lahan pertanian. Negara akan menerapkan hukum pertanian yang berlandaskan syariat Islam. Seperti tidak boleh membiarkan tanah tidak dikelola oleh pemiliknya selama lebih dari 3 tahun berturut-turut. Negara juga dapat memberikan tanah milik negara sebagai pemberian (iqtha’) kepada siapa saja dari individu rakyat yang mampu mengelolanya.
Adapun dari aspek stabilisasi harga, maka bukan dengan cara penetapan harga tertinggi, melainkan dengan memberikan jaminan harga yang stabil dengan cara-cara Islami yang tentunya tidak merusak mekanisme alami supply and demand. Pertama, dengan cara menghilangkan penyimpangan mekanisme pasar, seperti praktik penimbunan, kartel dan sebagainya. Kedua, dengan menjaga keseimbangan supply and demand. Yakni, dengan menyuplai cadangan pangan milik negara atau mendatangkan dari daerah lain, bahkan mengimpor dari luar negeri ke pasar. Yang mana kebijakan ini berada dalam kewenangan negara sepenuhnya, dengan tetap memperhatikan kemaslahatan rakyat dan para petani. Selain itu, juga wajib mewujudkan negara yang mandiri dan tidak terikat dengan ikatan dan perjanjian internasional apa pun yang hanya merugikan rakyat. Penerapan seluruh prinsip sahih ini akan mampu memudahkan masyarakat mengakses kebutuhan pokoknya termasuk pangan.
Wallahu’alam
Oleh: Gusti Nurhizaziah, Aktivis Muslimah