Tinta Media - Miris sekali! Hari ini perilaku anak durhaka terhadap orang tua marak bermunculan. Tak hanya sebatas durhaka karena tidak menunjukkan sopan santun kepada orang tua, tetapi lebih dari itu, karena menjadi pelaku pembunuhan orang tuanya sendiri. Sangat menyayat hati!
Terbaru, viral di sosial media, seorang pedagang ditemukan tewas bersimbah darah di sebuah toko perabot kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur pada Sabtu (22/6/2024) karena ditusuk senjata tajam. Diketahui, ternyata pelakunya adalah dua perempuan anak kandungnya sendiri yang berusia 16 dan 17 tahun.
Sebelumnya, kasus pembunuhan anak terhadap orang tua sendiri juga terjadi di Pesisir Barat, Lampung. Seorang anak laki-laki tega membunuh ayahnya sendiri yang sedang menderita stroke. Pembunuhan dilakukan lantaran kesal saat diminta tolong ayahnya untuk diantarkan atau dibopong ke kamar mandi. Anak berusia 19 tahun itu memukuli ayahnya berkali-kali hingga terluka dan harus dilarikan ke Puskesmas setempat, dan kemudian dinyatakan meninggal dunia pada Senin (11/6/2024).
Selain itu, berita maraknya kasus durjana pembunuhan orang tua oleh anak sendiri yang serupa pada waktu-waktu sebelumnya, juga tentu sudah sering kita dengar dan jejak beritanya sangat mudah bisa kita temukan di berbagai media hari ini.
Fenomena anak durhaka terhadap orang tua yang kian marak ini, jelas menggambarkan betapa rapuhnya tatanan keluarga dan rusaknya generasi hari ini.
Kian maraknya fenomena ini juga bukan tanpa sebab. Dan jika dicermati, penyebab utama yang sesungguhnya tidak lain dan tidak bukan adalah karena berakar pada paham sekaligus penerapan sistem rusak sekularisme kapitalisme yang diterapkan oleh negara saat ini.
Sistem rusak inilah yang telah merusak dan merobohkan pandangan hidup masyarakat mengenai keluarga sekaligus tatanannya.
Sebab pasalnya, sekularisme sebagai paham yang menyingkirkan agama dari kehidupan ini telah melahirkan manusia-manusia krisis iman yang tidak mampu mengontrol emosinya, rapuh dan kosong jiwanya
Begitu pun kapitalisme, sebagai paham sekaligus sistem kehidupan (ideologi) yang menjadikan materi sebagai tujuan hidup manusia, telah mencetak banyak generasi menjadi abai atau tidak peduli lagi pada kewajibannya sebagai hamba Allah Swt., termasuk kewajiban untuk berbakti kepada orang tua (birrul walidain).
Penerapan sistem hidup kapitalisme yang berakidah sekularisme telah nyata terbukti gagal memanusiakan manusia. Fitrah dan akal manusia tidak terpelihara, sehingga menjauhkan dari tujuan penciptaan dirinya di dunia, yaitu sebagai hamba Allah Swt. dan khalifah yang memakmurkan bumi dengan menjadikan risalah Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.
Sistem sekularisme kapitalisme yang hanya memandang Islam sebagai agama ritual, juga telah menghilangkan jati diri generasi.
Alhasil, generasi saat ini banyak yang tidak memahami bahwa setiap perbuatannya akan dipertanggungjawabkan setelah kematian dan akan di balas oleh Allah Swt di akhirat kelak.
Mereka pun berperilaku sebebas-bebasnya, tanpa peduli dengan perintah dan larangan Allah Swt. dan tidak menjadikan halal-haram sebagai tolak ukur dalam menjalani kehidupan. Mereka hanya berpikir bagaimana mendapatkan kesenangan materi sebanyak-banyaknya.
Dampaknya, orang tua pun dipandang sebagai objek yang dimanfaatkan untuk mencapai tujuan manfaat materi tersebut.
Jika orang tuanya membawa manfaat materi, maka akan disayang. Dan sebaliknya, jika tidak membawa manfaat materi, maka orang tua akan ditendang dan dibuang, bahkan dilenyapkan sebagaimana dalam beberapa kasus yang disebutkan di atas. Na'udzubilLaahi min dzaalik!
Akibat penerapan sistem sekularisme kapitalisme ini, juga akhirnya menjadikan banyak orang di seluruh penjuru negeri mengalami gejala yang sama, yaitu sama-sama tidak hormat terhadap orang tuanya dan sama-sama memandang orang tuanya dari kacamata manfaat.
Dalam pendidikan untuk generasi pun demikian. Sistem pendidikan sekuler yang diterapkan oleh negara saat ini, tampak tidak bersungguh-sungguh mengarahkan peserta didik agar memahami 'birrul walidain' berdasarkan keimanan dan mendorong peserta didik untuk mengamalkannya dalam kehidupan, kecuali hanya sekadar teori selingan saat pembelajaran. Imbasnya, lahirlah generasi rusak dalam membangun kesadaran hubungan dengan Allah, maupun hubungan dengan manusia termasuk orang tua.
Oleh karena itu, ringkasnya selama sistem sekularisme kapitalisme masih diterapkan di negeri ini, maka maraknya perilaku anak durhaka terhadap orang tua akan terus mudah sekali ditemukan, sebab negara abai atau tidak serius terhadap pembentukan kepribadian generasi yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt.
Penerapan Sistem Islam
Kondisi ini jauh berbeda dengan penerapan sistem Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah.
Islam mendidik generasi menjadi generasi yang memiliki kepribadian Islam yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt., sehingga membimbingnya untuk berbakti dan hormat kepada orang tuanya.
Negara dalam Islam yakni Khilafah, dengan segala daya dan upaya akan serius dalam hal mengurusi generasi, karena berprinsip dengan kaidah apa yang disabdakan oleh Rasulullah Muhammad Saw.:
"Seorang Imam atau pemimpin adalah pengurus urusan rakyatnya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Islam juga memiliki mekanisme untuk menjauhkan generasi dari kemaksiatan dan tindak kriminal
Melalui sistem pendidikan Islam, generasi dididik berlandaskan akidah Islam sehingga terbentuklah generasi berkepribadian Islam yang memilik pola pikir dan pola sikap sesuai dengan Islam. Outputnya, generasi tidak akan menimbang-nimbang segala hal dengan kacamata manfaat. Akan tetapi, aktivitasnya selalu disesuaikan dengan halal dan haram, merindukan surga dan takut dengan balasan siksa neraka.
Maka, mereka tidak akan senang dengan hal-hal yang dilarang oleh syariat dan selalu berusaha menaati syariat. Tidak terbersit dalam pikirannya keinginan untuk berbuat jahat, apalagi sampai membunuh orang tuanya sendiri, karena takut dengan balasan dahsyatnya siksa neraka disebabkan perbuatan tersebut adalah dosa yang sangat besar, sebagaimana hadits Nabi Muhammad Saw. ketika beliau ditanya tentang dosa-dosa besar:
“Menyekutukan Allah (syirik), durhaka terhadap orang tua, membunuh jiwa, dan berkata (sumpah) dengan kata-kata palsu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mereka paham karena terus-menerus dipahamkan, jangankan membunuhnya, berkata "ah" saja terhadap orang tua Allah Swt. telah mengharamkan, sebagaimana firman-Nya:
وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا ٢٣
"Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik". (Q.S. Al-Isra': 23).
Tak hanya itu, pendidikan berbasis akidah dan syariat juga dilakukan negara terhadap keluarga melalui berbagai sarana, agar setiap anggota keluarga memahami hak dan kewajibannya dalam keluarga, sehingga terbentuklah suasana kasih sayang dan ketakwaan di dalam lingkungan keluarga.
Dengan begitu, maka terbentuk pula masyarakat yang benci dengan kemaksiatan dan mencintai ketaatan, sehingga akan menjadi kontrol bagi masyarakat melalui aktivitas saling menasihati karena dorongan akidah dan syariat Islam.
Jika dengan upaya-upaya ini masih ditemukan kemaksiatan, termasuk kekerasan anak kepada orang tua, maka mekanisme Islam dengan metode Khilafahnya juga menegakkan sistem sanksi Islam yang bisa menjerakan bagi pelaku dan yang dapat mencegah munculnya kejahatan baru yang serupa.
Oleh: Muhar, Sahabat Tinta Media, Tangsel