Tinta Media - Memberikan jaminan pendidikan yang layak dan merata untuk masyarakat merupakan salah kewajiban negara, seperti yang tertuang dalam UUD pasal 31 ayat (1) dan (2). Dalam mewujudkan hal tersebut, sudah seharusnya pemerintah menyelenggarakan pendidikan yang bermutu dan membuat mekanisme pelaksanaan pendidikan yang mudah dan praktis, tanpa ada nuansa diskriminasi.
Realitas penyelenggaraan pendidikan di negeri ini berbanding terbalik dengan UUD. Pemerintah justru terkesan membatasi, bahkan mempersulit akses pendidikan bagi rakyat. Hal tersebut tampak pada pelaksanaan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) sistem zonasi yang telah berlangsung selama tujuh tahun.
PPDB adalah seleksi yang dikenakan kepada peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Sistem zonasi ini telah menuai banyak protes dari masyarakat, khususnya para orang tua dan kepala daerah. Sistem ini juga memunculkan masalah baru dalam dunia pendidikan.
Pada 2023 misalnya, terungkap persoalan manipulasi dokumen kependudukan untuk mengakali seleksi PPDB sistem zonasi. Selain itu, kecurangan banyak terjadi, mulai dari jual-beli bangku sekolah, penyalahgunaan dokumen kependudukan, suap-menyuap, hingga sekolah yang kekurangan calon murid atau bahkan kelebihan calon murid.
Padahal, sistem zonasi ini digadang-gadang dapat memperbaiki penyebaran siswa agar terwujud pemerataan kualitas pendidikan dan sebaran murid di semua sekolah. Namun, kenyataannya jauh panggang dari api.
Dari realitas tersebut, tampak jelas karut-marutnya tata kelola penyelenggaraan pendidikan di negeri ini yang diawali oleh sistem zonasi dalam PPDB-nya.
Pesimistis tampaknya menjadi hal yang lumrah dalam menilai kualitas pendidikan di Indonesia, apalagi ketika outputnya jauh dari target sebuah negara maju yang indikasinya tampak dari kemajuan ilmu dan teknologi, serta peradaban yang dijalankan.
Inilah buah dari penerapan sistem kapitalisme sekularisme yang selama ini menjadi basis tata kelola pendidikan di negeri ini. Pendidikan tidak menjadi layanan yang wajib dipenuhi oleh negara, tetapi hanya sebatas komoditas ekonomi yang diperjual-belikan.
Siapa yang dapat membayar mahal dialah yang mendapatkan sekolah berkualitas, baik dari sisi fasilitas maupun mutu pengajaran, serta SDM pengajarnya. Begitu pun sebaliknya, bagi yang tidak mampu membayar mahal, maka cukuplah dengan kualitas dan mutu sekolah yang seadanya.
Ketika sistem zonasi diterapkan, para orang kaya akan membeli kursi dengan harga yang ditawarkan untuk mendapatkan keinginan. Kapitalis juga membuat persepsi bahwa sekolah favorit menjanjikan bagusnya masa depan. Pada akhirnya, banyak yang melakukan "jalan pintas" hanya untuk mendapatkan bangku sekolah.
Kisruh PPDB zonasi bukan hanya perkara teknisi semata, tetapi juga sistem pemerintahan yang tidak tegas pada setiap kecurangan dan tidak seriusnya pemerintah dalam memajukan pendidikan untuk rakyat.
Sehingga, lolosnya anak didik di 'sekolah favorit ' tidak lagi berdasarkan kualitas, tetapi berdasarkan kemampuan daya beli orang tuanya.
Ketimpangan ekonomi yang makin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah penduduk miskin, di tengah semakin mahalnya biaya pendidikan yang 'berkualitas' menjadikan rakyat banyak yang tidak mendapatkan pendidikan. Apalagi, jumlah penduduk semakin banyak. Seharusnya pemerintah bisa membangun sekolah negeri yang lebih banyak, dengan biaya gratis tetapi berkualitas, bukan malah mengizinkan pendirian sekolah swasta secara bebas, dengan biaya yang mahal.
Inilah kapitalisasi pendidikan yang diterapkan di negeri ini, buah penerapan sistem kapitalisme sekularisme liberal, yang membuat negara pun tidak mampu membiayai penyelenggaraan pendidikan secara maksimal. Hal ini karena dana APBN minim akibat tata kelola SDA yang banyak diserahkan kepada swasta (lokal maupun asing-aseng).
Sistem ini telah membuat kerusakan sedemikan parah pada SDM dan SDA Indonesia, sehingga sudah saatnya kembali kepada sistem Ilahi, yakni sistem khilafah yang menerapkan syariat Islam secara kaffah, untuk dapat memenuhi hak dasar rakyat terhadap pendidikan.
Di dalam Islam, penyelenggaraan pendidikan sebagai bentuk pelaksanaan terhadap kewajiban syariat akan dilaksanakan secara maksimal, karena Rasulullah saw. bersabda:
“Mencari ilmu adalah kewajiban setiap muslim.” (HR Ibnu Majah)
Wajibnya setiap muslim menuntut ilmu, sekaligus merupakan hak mereka sebagai rakyat menjadikan negara harus memfasilitasi pelaksanaan kewajiban terhadap warga dengan sebaik-baiknya.
Dalam Islam, negara memahami tanggung jawab sebagai pelayan rakyat, karena Islam menjadikan penguasa sebagai raa’in (penanggung jawab) bagi warganya. Berbeda dengan sistem kapitalis yang menjadikan penguasa hanya sebagai regulator saja.
Penguasa dalam Islam sangat paham konsekuensi dari hadis Rasulullah saw.
"Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad)
Maka, dalam memenuhi hak pendidikan untuk rakyat, negara khilafah memiliki kemampuan dalam membuat kebijakan ekonomi dan politik, yang mampu mewujudkan kemapanan dan kemandirian ekonomi dan politik, baik di dalam maupun luar negeri.
Melalui kemapanan dan kemandirian tersebut, negara mampu mewujudkan pembangunan yang merata, termasuk pembangunan di bidang pendidikan. Ini membutuhkan anggaran besar.
Baitul maal yang merupakan kas negara, memiliki pos pemasukan. Salah satunya dari pos kepemilikan umum yang akan didistribusikan untuk kemaslahatan rakyat, termasuk pendidikan.
Pengelolaan SDA oleh negara, akan maksimal dalam pembiayaan kebutuhan dasar rakyat, baik pendidikan, kesehatan, maupun keamanan, sehingga dapat berkontribusi melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang kuat dan berkualitas yang ada dalam sistem khilafah.
Dari dana di baitul maal, khilafah akan membangun sekolah di seluruh penjuru wilayah daulah dengan sarana dan prasarana yang berkualitas, sehingga memenuhi kebutuhan pendidikan rakyat di seluruh wilayah, dengan kualitas yang sama, tanpa ada ketimpangan antara desa dan kota, wilayah ibu kota negara atau wilayah yang jauh dari ibu kota.
Khilafah memberikan pendidikan berkualitas tersebut secara gratis untuk seluruh rakyat, baik miskin atau kaya, berprestasi atau biasa saja. Semuanya mendapatkan pelayan yang sama.
Kestabilan dan kokohnya sumber pendanaan baitul maal jelas akan menunjang independensi pendidikan agar sesuai syariat Islam. Ini yang akan menciptakan manusia-manusia yang berilmu dan berkepribadian Islam, yang dapat menerapkan visi besar pendidikan, yaitu meninggikan kemuliaan Islam dan kaum muslimin, menjadikan Islam sebagai rahmatan lil 'alamin, dalam naungan khilafah Islamiyyah.
Hal ini telah terbukti bahwa cemerlangnya peradaban sistem khilafah selama lebih 1300 tahun mampu melahirkan para ahli fikih sekaligus ilmuwan-ilmuwan terkemuka, juga generasi pemimpin yang dikenal dalam sejarah, bukan hanya sejarah Islam dan kaum muslimin, tetapi juga dikenal oleh sejarah manusia di dunia.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita sadar dan tergerak untuk membangun sistem yang adil, yang bersumber dari Zat yang menciptakan alam semesta, yaitu sistem Islam, daulah khilafah. Waahuallam.
Oleh: Ira Mariana
Sahabat Tinta Media