Tinta Media - Libur sekolah telah tiba, seiring dengan pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) di setiap sekolah mulai ramai, tak terkecuali di wilayah Kabupaten Bandung. Namun mirisnya, praktik pungli kerap mewarnai dalam proses PPDB yang masih belum tuntas. Banyak sekolah, khususnya di wilayah Kabupaten Bandung yang diketahui masih melakukan pungli terhadap orang tua bakal calon siswa baru. Tidak menutup kemungkinan, praktik pungli dalam PPDB ini juga terjadi di daerah lain.
Tentu kita tahu, bahwa saat ini peraturan terkait PPDB yang diberlakukan di negeri ini, khususnya yang dicanangkan Bupati Bandung adalah dengan memerhatikan beberapa hal diantaranya dari penilaian prestasi akademik siswa maupun sistem zonasi. Ketika siswa tak lolos dengan penilaian standar prestasi sekolah tersebut, maka dua kemungkinan yang akan dilalui siswa. Ada yang dilihat dari jarak antara sekolah dengan tempat tinggalnya, atau yang tak sedikit terjadi adalah dengan praktik pungli berupa suap-menyuap antara orang tua siswa dengan pihak sekolah. Biasanya ini terjadi di sekolah-sekolah favorit, atas dasar ambisi siswa yang menginginkan untuk bersekolah disana. Bentuk praktik pungli (suap) ini, semisal jual-beli bangku sekolah yang diperebutkan oleh para bakal calon siswa.
Beberapa penyuluhan, arahan serta teguran dari pemerintah terkait pungli yang terjadi dalam PPDB ternyata tak memberikan efek jera bagi beberapa oknum sekolah. Ini disebabkan oleh penanganan yang kurang kondusif, serta kurangnya kesadaran oknum sekolah, termasuk oknum guru, yang masih nekat melakukan kecurangan.
Berbagai faktor dapat menjadi penyebab dari perilaku curang ini. Mulai dari faktor pribadi akibat masalah finansial yang diakibatkan oleh minimnya upah yang diterima, sementara biaya hidup tinggi karena harga berbagai kebutuhan pokok yang terus meningkat tajam. Juga akibat gaya hidup hedonis dan materialistis di tengah masyarakat, tidak memustahilkan mereka untuk mencari jalan pintas melalui suap -menyuap.
Faktor efisiensi terkait teknis PPDB pun menjadi salah satu yang membuka peluang untuk terjadinya kecurangan, yang akhirnya bukan hanya dilakukan oleh oknum pelaksana pendidikan, tapi juga gayung bersambut dengan oknum orang tua calon siswa yang menginginkan anaknya masuk ke sekolah yang ditargetkan.
Kurang tegas dan kerasnya sanksi bagi oknum pelaku kecurangan juga menjadi salah satu faktor memarakan hal ini, yang bahkan akhirnya dapat dilakukan secara 'berjamaah'.
Inilah efek dari salah urus tata kelola penyelenggaraan pendidikan di negeri ini yang berasaskan pada ideologi kapitalisme sekularisme liberalisme. Ideologi yang menjadikan kebahagiaan sebatas pada diperolehnya keinginan materi dan manfaat sebesar-besarnya, seperti harta/kekayaan, kebanggaan/prestise, serta kedudukan yang diperoleh dengan menghalalkan segala macam cara.
Begitu pula pemerintah dalam sistem kapitalisme tak ubahnya menjadikan pendidikan sebagai ajang bisnis semata, sehingga hubungan pemerintah dengan rakyat dalam penyelenggaraan pendidikan ini ibarat pembeli dan penjual. Negara menjual, rakyat membeli. Masyarakat tidak bisa mendapatkan pendidikan jika ia tak memiliki modal (uang).
Sementara di dalam Islam yang merupakan mabda atau ideologi, memandang bahwa hidup adalah semata untuk beribadah kepada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam Quran surah Az-Zariyat ayat 56 :
ÙˆَÙ…َا Ø®َÙ„َÙ‚ْتُ الْجِÙ†َّ ÙˆَالْاِÙ†ْسَ اِÙ„َّا Ù„ِÙŠَعْبُدُÙˆْÙ†ِ
"Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku."
Ketika Islam diterapkan dalam kehidupan, hukum-hukumnya pun dijadikan aturan dalam sebuah negara, maka Islam mengatur terkait pendidikan bagi rakyat. Pendidikan di dalam sistem Islam adalah salah satu kebutuhan rakyat, sehingga negara tidak akan memungut biaya dari masyarakatnya karena itu termasuk bagian dari hak masyarakat. Biaya pendidikan dalam sistem Islam menggunakan harta Baitul maal atau uang kas negara yang telah dialokasikan untuk kebutuhan masyarakat.
Tak hanya pendidikan saja yang diurusi oleh negara, namun kesehatan dan keamanan masyarakat dijamin oleh negara yang menerapkan aturan Islam. Itu karena, khalifah atau pemimpin negara dalam sistem Islam berperan untuk meriayah (mengatur ) urusan masyarakat dalam negara tersebut, baik muslim maupun non-muslim yang tinggal di dalamnya.
Sistem Islam yang diterapkan dalam negara akan membentuk pribadi yang beriman, serta berakhlak mulia. Sebab, agama Islam mendorong umatnya untuk senantiasa taat terhadap syariat dan menjauhi hal-hal yang diharamkan, salah satunya perbuatan suap- menyuap. Islam memandang bahwa perbuatan semacam ini termasuk kategori dosa besar sebagaimana dalam sebuah hadist menjelaskan dari Abdullah bin 'Amr, dia berkata, "Rasulullah melaknat pemberi suap dan penerima suap." (HR Ahmad).
Masyarakat yang memiliki pola pikir dan pola sikap islami akan menjauhkan dirinya dari perbuatan dosa. Mereka takut akan siksa yang akan didapat atas perbuatannya, pandangan mereka terkait kebahagiaan adalah untuk mendapat ridha Allah, bukan mencari manfaat apalagi demi kesenangan materi duniawi.
Di sisi lain, sistem Islam akan mewujudkan kesejahteraan masyarakat, sehingga mereka tak akan bersusah payah untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup, termasuk para pendidik yang justru akan sangat dihargai oleh negara, dengan diberi upah yang sesuai dengan jasanya. Sebagaimana yang pernah terjadi di masa pemerintahan Umar bin Khatab, yang mengupah seorang guru sebesar 15 dinar emas (1 Dinar=4,25 gr emas). Jika dikonversikan dengan rupiah, dengan harga 1 gr emas Rp 1.000.000, maka upah gurunya masing-masing adalah sekitar Rp 63. 750.000 per bulan.
Selain itu, ketahanan pangan yang mapan karena ditopang oleh sistem ekonomi dan politik yang stabil, menjadikan daya beli rakyat pun tinggi, selain karena rakyat tidak perlu memikirkan urusan biaya pelayanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan, karena semuanya dijamin oleh negara. Maka hal ini akan menghadirkan rakyat yang sejahtera, termasuk para guru, sehingga tidak terpikirkan untuk berbuat curang, apalagi hal tersebut diharamkan oleh syariat, dengan sanksi yang tegas dan keras bagi para pelakunya. Rakyat pun terlindung dari perilaku -perilaku kotor yang dapat menjauhkan mereka dari keberkahan Allah SWT. Wallahu a'lam bishshawwab.
Oleh: Isnaeni Nur Azizah, Sahabat Tinta Media