Tinta Media - Bekerja keras adalah salah satu upaya yang harus dilakukan masyarakat untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Salah satunya adalah mendirikan rumah sebagai tempat bernaung yang nyaman dan aman.
Namun, bekerja di sebuah instansi ternyata tak semudah bekerja sebagai buruh kaki lima yang mendapatkan hasil setelah bekerja. Malah sebaliknya, mereka dipalak dengan banyaknya potongan. Salah satunya adalah potongan untuk tapera. Bukannya meringankan, malah menambah beban.
Bagaimana tidak? Iuran Tapera yang akan dipotong dari gaji pokok pekerja sebesar 3% menurut Said Iqbal selaku Presiden Partai Buruh, tidak masuk akal. Beliau bahkan mempertanyakan kejelasan terkait kepastian tempat tinggal yang akan didapatkan setelah bergabung.
Sebagaimana dilansir dalam sindonews.com, Nining Elitos selaku Koordinator Dewan Buruh Nasional Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) mengungkapkan bahwa Tapera hanyalah beban tambahan dari sepersekian potongan gaji melalui pembiayaan iuran BPJS kesehatan, pensiun, hingga jaminan hari tua.
Pemerintah menghadirkan kebijakan ini dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tapera. Tujuannya adalah memberikan peluang kepada masyarakat untuk menabung guna memperoleh rumah impian.
Namun, secara akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3% (dibayar pengusaha 0,5% dan dibayar buruh 2,5%) tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di PHK. Belum lagi semisal ada buruh yang sudah memiliki tempat singgah melebihi 2 atau 3.
Jika dipikir-pikir, apakah Tapera ini tepat sasaran atau hanya alasan?
Kehadiran Tapera menjadi bukti bahwa negara tidak memiliki politik penyediaan rumah bagi rakyat, dan juga bukti kebijakan zalim karena memberatkan rakyat di tengah banyaknya potongan dan pungutan untuk rakyat (macam-macam pajak, iuran BPJS)
Tapera juga bukan solusi untuk kepemilikan rumah, tetapi menjadi jalan menguntungkan pihak tertentu.
Media menyebutkan bahwa para pelaksana kebijakan Tapera paling tidak mendapatkan 34 juta perbulan sebagai gaji pokoknya. Sedangkan pendirian rumah bagi penabung belum tentu akan mendapat rumah yang dijanjikan dengan jangka waktu yang ditentukan.
Inilah buruknya sistem saat ini. Di tengah impitan kehidupan, malah ditambah dengan berbagai macam beban yang menambah berat kehidupan.
Di manakah janji kesejahteraan itu, jika seluruh aspek hidup menjadi bagian yang kena palak? Sudahlah dipalak, jaminan kesejahteraan pun hanya angan-angan belaka.
Hidup dengan harapan palsu hanya membuat kepercayaan lenyap. Maka, apalagi yang akan ditunggu dari jaminan-jaminan negara yang tiada henti berganti tanpa menghasilkan sesuatu yang pasti bagi rakyat?
Jaminan yang harusnya dijanjikan oleh negara kepada rakyat sejatinya tidak perlu dipertanyakan, apalagi sampai didesak untuk menghadirkannya karena jaminan tersebut merupakan kewajiban yang diampu oleh negara untuk kemaslahatan umat.
Pelaksanaan jaminan itu pun tidak dengan alih-alih mengelabui rakyat dengan adanya tarif iuran yang rutin harus dilakukan. Yang namanya jaminan negara berarti hal yang harus diampu negara tanpa memberatkan rakyat, apalagi memalak .
Inilah kehidupan dalam pengelolaan kapitalis, semua harus berasaskan manfaat dan untung, tanpa memandang apakah hal tersebut merupakan kewajiban atau bukan.
Selama ada peluang yang mampu menghasilkan, entah itu menjerat, mengelabui, menipu bahkan sampai memaksakan sesuatu, dalam dunia kapitalisme, semua cara dapat diberlakukan dengan berbagai macam dalih yang dihadirkan.
Hal ters I berbeda dengan cara Islam dalam memberikan jaminan yang berkaitan dengan hak. Misalnya, kaum muslimin berserikat dalam 3 hal; padang rumput, air, dan api.
Artinya, ketiga hal tersebut merupakan hak rakyat yang dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat.
Tanah, air, dan api saja merupakan hal yang dijamin untuk rakyat apalagi tempat tinggal/rumah yang termasuk kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi oleh negara.
Negara dalam Islam adalah pengurus rakyat, bukan pemungut dana.
Sebagai sebuah sistem yang syamil dan kamil, Islam memiliki mekanisme untuk mewujudkan hal tersebut.
Pertama, negara akan menerapkan politik perumahan Islam sebagai bentuk penjagaan agar tidak terjadi praktik manipulasi dan diskriminasi.
Kedua, negara memastikan bahwa rumah yang dibangun haruslah layak huni, nyaman, dan syar’i.
Ketiga, negara memastikan bahwa harga rumah yang dibangun bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, bahkan akan digratiskan jika memungkinkan.
Keempat, negara mengambil pembiayaan untuk tata kelola perumahan dari kas negara. Jika tidak ada, maka negara akan menarik pajak dari orang kaya, tetapi hanya pada kondisi tertentu saja.
Beginilah cara Islam menangani persoalan kebutuhan rakyat. Ini karena sifat negara adalah melayani, bukan dilayani. Dari sini, akan tercipta tempat bernaung yang aman, nyaman, dan syar’i bagi generasi. Wallahualam bissawab.
Oleh: Erna Nuri Widiastuti S.Pd., Aktivis Muslimah