Tinta Media - Keberadaan Sungai Citarum yang sejatinya memberi berkah bagi kehidupan makhluk hidup faktanya kini Citarum berubah image menjadi pembawa musibah. Bagaimana tidak, banjir kerap datang karena meluapnya sungai Citarum.
Citarum tak mampu lagi membawa berkah. Lantas, apakah benar bencana banjir yang datang adalah akibat tingginya curah hujan, ataukah ada biang kerok di balik bencana banjir ini?
Bencana banjir yang diakibatkan karena curah hujan sehingga meluapkan air Sungai Citarum kerap dirasakan oleh warga KP. Bojong Citepus RW.09, Desa Cangkuang Wetan, Kab. Bandung.
Bapak Kades Asep Kusmiadi S.Pd.I.,M.Pdi. mengatakan bahwa upaya darurat untuk mencegah air Sungai Citarum yang meluap akibat intensitas hujan tinggi adalah dengan membuat tanggul dadakan. Kegiatan yang dilakukan secara gotong royong ini diharapkan mampu mencegah dan meminimalisir dampak bencana. Pembuatan tanggul dadakan ini juga merupakan bentuk tanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan warga.
Sungai Citarum yang dulu indah dan terjaga kebersihannya telah menjadi sumber kehidupan makhluk hidup. Namun, kini Sungai Citarum tak ubahnya seperti tempat pembuangan sampah raksasa, baik sampah yang berasal dari limbah rumah tangga, industri, ataupun rumah sakit.
Faktanya, Sungai Citarum terlihat kotor. Bukan hanya tercemar limbah cairan saja, tetapi juga tumpukan sampah ikut menghiasi wajah Sungai Citarum saat ini. Akhirnya, tumpukan sampah yang menghalangi aliran air sungai ikut andil menjadi penyebab terjadinya luapan air sungai dan banjir pun terjadi.
Selain itu, penyebab meluapnya air Sungai Citarum dikarenakan minimnya lahan serapan air hujan. Bisa akibat dari pembangunan yang serampangan, penggundulan hutan, dan minimnya drainase. Akhirnya, derasnya hujan yang sejatinya membawa berkah untuk penghuni bumi selalu dijadikan kambing hitam atas terjadinya bencana banjir.
Negara harusnya cepat tanggap ketika bencana banjir berulang menimpa warga. Bukankah keselamatan dan kesejahteraan rakyat adalah tangung jawab negara? Upaya keras harus dilakukan untuk mencari solusi, yaitu mengantisipasi dan mencegah bencana banjir.
Namun, sayangnya, 'jauh panggang daripada api', pemerintah tidak serius menangani persoalan banjir di DAS Citarum. Pembuatan tanggul dadakan pun dipilih menjadi solusi untuk mencegah luapan Sungai Citarum. Mungkin benar, untuk sementara, di daerah tersebut banjir bisa diatasi. Namun, banjir akan beralih ke daerah lain. Lantas, mampukah tanggul dadakan menjadi solusi banjir?
Salah satunya adalah tanggul dadakan yang dibuat di kp. Bojong Citepus Desa Cangkuang Wetan Kab. Bandung. Padahal, tanggul ini sudah beberapa kali mengalami kerusakan, tetapi kenapa bukan tanggul permanen yang dibangun.
Kecemasan akibat tanggul jebol kerap menggelayut di benak warga. Pasalnya, ketika sungai Citarum meluap, airnya keluar dari celah-celah tanggul yang bisa saja sewaktu-waktu jebol dan bencana banjir bandang pun bisa terjadi.
Inilah kerusakan yang diakibatkan oleh penerapan aturan yang salah. Ketidakbecusan sistem sekuler kapitalisme terpampang dari tidak terpecahkannya setiap problematika kehidupan. Salah satunya memecahkan persoalan banjir yang kerap terjadi.
Penguasa malah sibuk dengan megaproyek pembangunan yang sering kali membawa dampak buruk bagi keseimbangan alam. Pembangunan yang jor-joran tidak diiringi dengan tanggung jawab dari penguasa sebagai pemelihara alam. Penguasa dalam sistem sekuler kapitalisme menjadikan kekuasaannya sebagai ladang bisnis. Siapa pun yang punya modal besar boleh mengelola SDA negeri ini.
Selain itu, setiap proyek pembangunan hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya menumbuhkan semangat kebebasan (liberalisasi) atas penguasaan lahan di tangan oligarki. Lagi dan lagi, rakyat kecil yang jadi korban kerakusan mereka.
Sistem ini memandang bahwa pembangunan ekonomi lebih menguntungkan daripada pembangunan tanggul permanen Sungai Citarum. Semua diukur dari untung dan rugi. Alhasil, tanggul dadakan pun dibuat sebagai solusi bencana banjir. Itu pun biasanya dilakukan ketika ada desakan dari masyarakat dan terlanjur viral, barulah dilakukan, walaupun pengerjaannya sat-set dan asal-asalan.
Lain halnya dalam Islam, keselamatan dan kesejahteraan rakyat adalah prioritas utama negara. Seorang pemimpin negara/ khalifah adalah raa'in (pelindung/pemelihara). Maka dari itu, seluruh daya dan upaya akan dimaksimalkan untuk melindungi rakyat dari bencana.
Rasulullah bersabda,
"Imam/khalifah itu laksana penggembala dan hanya ia yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya" (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam Islam, pencegahan bencana banjir akan dilakukan secara maksimal, bukan serba dadakan seperti 'tahu bulat yang digoreng dadakan'. Selain memberikan edukasi teknis, negara juga memberikan edukasi ideologis, yakni memahamkan rakyat bahwa bencana yang terjadi adalah ketetapan Allah. Sekuat apa pun ikhtiar yang dilakukan manusia, Allah-lah yang berkehendak.
Kemudian, semua kebijakan pun akan kembali pada syariat sebagai pedoman kehidupan. Sekalipun dalam membangun tanggul yang permanen dan menyeluruh butuh biaya yang besar, khilafah akan membiayai semua pembangunan itu sebagai ikhtiar dalam mencegah dan mengantisipasi bencana banjir. Tentu tidak perlu mengemis kepada para investor yang ujung-ujungnya pasti minta jatah lahan sebagai bayarannya seperti dalam sistem kapitalisme.
Pembiayaan akan didanai oleh kas baitul mal yang bersumber dari harta fai, kharaj, dan harta kepemilikan umum. Jikalau dana di kas Baitul mal habis, maka setiap muslim akan dimintai kerelaannya untuk ikut membiayai. Namun, ini sifatnya sementara.
Ketegasan hukum pun akan ditegakkan untuk para pelaku yang tidak taat syariat yang akan ditentukan oleh hakim sesuai kadar kesalahannya.
Oleh karena itu, khilafah tidak memandang semua pembangunan dari aspek untung rugi, tetapi memandang bahwa pembangunan infrastruktur seperti tanggul permanen ini mampu memberi kemaslahatan bagi rakyat. Islam adalah rahmatan lil'alamin, maka jelas hanya kebijakan Islam yang mampu menjadi solusi hakiki.
Wallahualam.
Oleh: Neng Mae, Sahabat Tinta Media