Tinta Media - Polisi atau syurthah adalah aparat penegak hukum yang melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kejahatan. Memberikan rasa aman dan keadilan di depan hukum tanpa memandang status sosial adalah tugas dari polisi. Mereka yang kaya maupun miskin, rakyat biasa maupun pejabat diperlakukan sama di depan hukum yang adil dan beradab.
Namun fakta menunjukkan berbeda, mereka yang paham hukum dan harusnya menjadi penegak hukum malah mempermainkannya. Penyidikan perkara tidak didasarkan fakta, tapi pesanan dan skenario aparat dan pejabat adalah bentuk kejahatan yang sangat jahat.
Sungguh miris penanganan kasus Vina dan Eki Cirebon yang carut-marut telah menghilangkan kepercayaan masyarakat pada aparat penegak hukum. Sebuah kasus hukum yang tidak didasarkan oleh fakta, tapi skenario yang sudah dipersiapkan berdasarkan saksi kunci yang mengaku dipaksa untuk bersaksi sesuai dengan permintaan oknum polisi, meskipun dia tidak menyaksikan kejadian secara langsung. Salah tangkap dan menghukum orang yang tidak bersalah adalah tindakan keji.
Berdasarkan pengakuan Saka Tatal yang terpaksa harus mengakui satu tuduhan kejahatan yang tidak dia lakukan karena tidak kuat dengan ancaman dan siksaan yang dilakukan oleh aparat yang harusnya melindungi masyarakat. Tidak hanya satu bahkan ada delapan yang masih diduga bersalah tapi harus mengalami hukuman meskipun tidak ada bukti dan saksi yang meyakinkan. Dan yang terakhir yang sedang viral adalah penangkapan Pegi Setiawan yang bahkan berani bersumpah demi Allah dan Rasulullah, tidak melakukan perbuatan keji yang dituduhkan.
Apakah seperti ini aparat dalam menangani kasus dengan paksaan, intimidasi dan siksaan agar orang yang masih diduga sebagai pelaku terpaksa harus mengaku bersalah. Masyarakat merasa geram menyaksikan hukum yang dipermainkan aparat dengan menangkap dan menghukum orang yang tidak bersalah, menjadi kambing hitam untuk melindungi pelaku yang sebenarnya.
Harusnya asas praduga tidak bersalah atas tuduhan pada pelaku kejahatan diberlakukan pada semua orang termasuk pada kuli bangunan maupun anak pejabat. Tidak boleh menangkap tanpa bukti dan saksi yang meyakinkan. Dan dilarang melakukan intimidasi, ancaman ataupun siksaan agar mendapatkan pengakuan dari seseorang yang masih diduga sebagai pelaku.
Sungguh dalam sistem Islam, tidak boleh ada paksaan bagi seseorang untuk mengakui kesalahannya, apalagi dengan ancaman dan siksaan, sehingga dia terpaksa mengakui kesalahan yang dia tidak lakukan. Seperti dalam sebuah kisah seorang pezina bertobat dan menemui Rasulullah SAW. Ma'iz bin Malik Al Islami datang menghampiri Rasulullah SAW dan berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah menzalimi diri saya sendiri karena saya telah berbuat zina. Oleh karena itu, saya ingin agar engkau berkenan membersihkan diri saya." Seorang muslim yakin bahwa hukuman di dunia dalam sistem Islam bisa menghapus hukuman di akhirat nanti karena syariat Islam diterapkan dalam kehidupan secara kaffah. Seorang muslim yang bertobat minta dibersihkan dirinya, dengan dihukum sesuai dengan syariat Islam.
Namun Rasulullah tidak serta merta percaya dengan pengakuannya dan tidak langsung menghukumnya. Bisa jadi seseorang mengaku bersalah karena dalam tekanan atau ada gangguan pada kejiwaannya. Sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi dalam kasus pembunuhan Vina, pelaku malah diintimidasi, diancam bahkan disiksa agar mau mengaku bersalah. Sungguh ini bertentangan dengan prinsip praduga tidak bersalah dan juga tidak sesuai dengan syariat Islam.
Sistem kapitalis telah menciptakan banyak oknum aparat yang dibutakan oleh uang dan jabatan. Hati mereka mati dan tidak peduli dengan mereka yang terzalimi oleh tangan mereka yang harusnya melindungi dan memberi rasa aman. Sungguh kita merindukan keadilan dalam sistem hukum Islam bahkan seorang Khalifah bisa dikalahkan oleh rakyat biasa dalam keputusan hakim yang adil. Mungkinkah itu terjadi dalam sistem kapitalis demokrasi?
Oleh: Mochamad Efendi, Sahabat Tinta Media