Tinta Media - Rafah kembali membara. Pada hari Senin, 27 Mei 2024 lalu terjadi kembali peristiwa tragis yang terjadi di kota Rafah, Gaza Selatan. Serangan udara Israel menewaskan 45 orang termasuk wanita dan anak-anak Palestina di sebuah kamp pengungsi di Rafah sebagaimana dilaporkan oleh BBC. Dengan kejadian ini muncul kampanye dengan slogan “All Eye On Rafah” yang sampai hari ini menyebar luas di seluruh dunia. Konflik Israel dan Palestina dianggap bukan lagi masalah umat Islam saja tapi sudah menjadi isu global karena pembantaian dan kekerasan yang dilakukan oleh Israel dianggap sudah melampaui batas. Rafah merupakan tempat diujung wilayah Palestina yang tidak memungkinkan lagi warga Palestina yang mengungsi di tempat tersebut untuk bergerak lebih jauh lagi dan mereka di tempat ini dibombardir dan dibantai oleh Zionis Israel.
Mahkamah Internasional atau International Court Of Justice (ICJ) telah memerintahkan Israel untuk menghentikan serangan di Rafah, Palestina. Jumat, 24 Mei 2024 lalu. Namun, perintah itu tidak dipatuhi oleh Israel dan tetap menyerang Rafah. Hal ini dilansir dari AFP dan Al Arabiyah. Selain itu, mahkamah Internasional juga memerintahkan Israel untuk tetap membuka penyebrangan Rafah untuk memastikan akses bantuan kemanusian aman. Namun tanggapan Israel tidak menunjukkan indikasi bahwa mereka akan bersiap untuk mengubah haluan di Rafah. Israel pun menyebutkan bahwa ICJ telah melakukan kesalahan karena Israel tidak akan melakukan tindakan militer di wilayah Rafah yang bisa berdampak pada kondisi penduduk sipil Palestina di Gaza. Hal ini disampaikan oleh Penasihat keamanan Nasional Israel, Tzachi Hanegbi dengan pernyataan bersama dengan Juru Bicara Kementerian Luar negeri Israel. (detiknews.com,25/5/2024).
Faktanya, beberapa jam usai keputusan ICJ diumumkan, militer Israel terdeteksi melancarkan serangan terbaru terhadap jalur Gaza pada Sabtu (25/5) pagi waktu setempat. (detiknews.com,25/5/2024). Serangan terus berlanjut hingga minggu malam tanggal 26 Mei 2024 Rafah kembali diserang dan berubah menjadi lautan api. Rafah dibakar oleh Israel dan tidak ada yang bisa melakukan apa pun untuk menghentikannya. Serangan tersebut menewaskan sedikitnya 45 orang dan 249 lainnya terluka.
Israel dengan angkuhnya mengabaikan seruan dunia untuk tidak menginvasi kota paling selatan di Jalur Gaza dengan tetap mengirimkan pasukan darat militer Israel untuk memasuki Rafah yang dimulai pada awal Mei lalu. Tel Aviv bersikeras mengatakan bahwa serangan terhadap Rafah diperlukan untuk memusnahkan sisa-sisa batalion Hamas yang bersembunyi di area itu. Dalam operasinya tentara Israel berhasil mengambil alih sisi Palestina pada perlintasan perbatasan Rafah yang menghubungkan Jalur Gaza dengan Mesir sehingga memperlambat penyaluran bantuan kemanusiaan untuk 2,4 juta penduduk daerah kantong Palestina tersebut. (detiknews.com,25/5/2024).
ICJ yang merupakan lembaga internasional yang jelas-jelas telah melihat pembantaian yang terjadi di Gaza, Palestina. Lembaga yang telah memberikan perintah tegas buat Israel agar menghentikan serangan ternyata bagai macan ompong di hadapan Israel. Mengapa demikian? Hal ini bukan karena kuatnya negara Israel. Justru dengan serangan brutal yang dilancarkan Israel ke kamp pengungsian di Rafah lalu menunjukkan Israel ketakutan dan pengecut karena korban yang berjatuhan bukan tentara bukan militer tapi wanita, anak-anak dan orang tua. Hal ini karena mereka memiliki “tuan” yang akan selalu mensupport kinerja mereka yakni negara adidaya saat ini, AS. Setalah serangan ke Rafah saja AS mengeluarkan pernyataan bahwa serangan Israel tidak melewati batas hanya pinggirannya saja. (KumparanNEWS, 29/5/2024)
Setalah seluruh dunia menatap Rafah dan mengecam apa yang dilakukan Israel ternyata si “tuan” tetap berdiri disisi anak buahnya untuk melakukan penyerangan, pembantaian dan penindasan terhadap warga Palestina. Jelas Israel dan AS telah melakukan pelanggaran terhadap kejahatan kemanusiaan tapi negara-negara di dunia tidak bisa berbuat banyak kecuali hanya mengeluarkan kecaman keras terhadap yang dilakukan Israel ke warga Palestina.
Solusi untuk Palestina sesungguhnya ada ditangan umat Muslim; bukan pada bangsa-bangsa lain; juga bukan mengharapkan PBB atau ICJ. Persoalan Gaza, Palestina hanya akan selesai dengan tuntas dengan menggunakan hukum Islam bukan hukum buatan manusia. Two-state solution yang ditawarkan jelas bertentangan dengan hukum Islam. Ini merupakan solusi pragmatis yang akan semakin membuat Palestina terjajah. Bahkan penguasa negeri-negeri muslim tetap menjalin hubungan dengan Zionis Israel dan si “tuannya”. Jelas ini penghianatan yang dilakukan oleh penguasa muslim terhadap warga Palestina. Seharusnya para penguasa ini menjadi pelindung di saat begitu banyak saudara kita di Palestina dibantai.
Kekuatan Negara hanya dapat dilawan dengan kekuatan negara juga. Genosida yang terjadi di Gaza, Palestina ini merupakan persoalan yang hanya dapat diselesaikan dengan adanya seruan jihad fi sabilillah, dengan mengerahkan pasukan muslim yang dipimpin oleh seorang kepala negara yakni Khalifah untuk menolong warga Gaza dan mengusir zionis Israel selamanya dari tanah Palestina. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan bersatunya kaum muslimin dalam satu naungan yakni Daulah Khilafah Islamiyah yang tentara-tentaranya membuat gentar dan gemetarnya musuh yang telah membantai kaum muslim. Tanpa kekuatan ini maka Palestina akan terus membara.
Oleh : Ria Nurvika Ginting, S.H., M.H., Sahabat Tinta Media