Tinta Media - Kebiadaban Zionis Yahudi sepertinya belum berakhir dan makin menjadi-jadi. Warga Gaza makin terpuruk dan tersudut di wilayah Rafah, sebuah
kota kecil di sebelah selatan jalur Gaza.
Rafah merupakan tempat berlindung terakhir umat Islam setelah kota-kota lain habis dibombardir Zionis Yahudi. Akan tetapi, kebiadaban kaum Zionis makin menyengsarakan warga Gaza dengan serangan brutal yang mereka arahkan ke kamp pengungsian di Rafah pada Ahad, 26 Mei yang lalu.
Serangan ini menyebabkan kamp pengungsian terbakar dan 50 orang tewas dengan kondisi terbakar hidup-hidup. Kengerian yang mereka alami seakan tak kunjung usai.
Dimulai dari peristiwa Nakba tahun 1948, rakyat Palestina menyebutkan bahwa Nakba adalah petaka dan bencana bagi rakyat Palestina. Serangan pembersihan etnis tersebut menewaskan 15.000 orang warga Palestina. Artinya, sudah 76 tahun teror yang dilakukan oleh Zionis kepada rakyat Palestina hingga hari ini terjadi.
Yang makin memuakkan adalah pernyataan orang-orang bodoh yang menyalahkan rakyat Palestina atas genosida yang menimpa mereka hari ini. Mereka mengatakan bahwa genosida ini adalah serangan balasan atas serangan Hamas 7 Oktober silam. Padahal, kalau melihat peristiwa sejarah, gerakan antisemit atau gerakan anti-Yahudi di Eropa telah ada sekitar tahun 1879 hingga 1930an. Gerakan ini menyebabkan orang-orang Yahudi tidak diterima di Eropa.
Kini, bantuan-bantuan kemanusiaan tercegat di pintu Rafah. Sebagian ada yang dihancurkan oleh penduduk Yahudi. Kelaparan, kehausan, dan ketakutan menyelimuti kaum muslimin di Rafah hari ini. Bunyi dentuman bom sudah menjadi hal biasa bagi mereka. Mereka berharap bisa mati menjadi syuhada.
Bagaimana tidak? Mereka hidup dengan kengerian yang hebat. Bahkan, minum pun dengan menggunakan air laut dan makan dengan rumput. Mereka berharap bisa segera berada di surga, sehingga tidak ada lagi kesedihan yang tak terperikan.
Yang lebih menyedihkan lagi, ketika bom melanda wilayah mereka, kemudian mereka selamat, satu kalimat yang mereka katakan, "Dosa apa yang telah aku lakukan, sehingga Allah tidak rida aku mati?"
Saking mereka lebih merindukan mati daripada hidup di tengah 'neraka' dunia hingga kalimat itu terucap.
Sebanyak 1,5 juta warga Gaza yang kini berada di jalur Rafah tinggal menanti kematiannya. Akan tetapi, negeri muslim hanya menikmatinya. Inilah bukti lemahnya kekuatan kebangsaan yang tidak mampu menolong warga Gaza karena takut dengan kebijakan-kebijakan yang diatur oleh negara besar terhadap negeri-negeri muslim lainnya.
Pembantaian yang dilakukan zionis hari ini lebih mengerikan dari peristiwa Nakba yang menewaskan 15 ribu jiwa. Hari ini, sudah lebih dari 32 ribu rakyat Palestina tewas dan 7 ribu lainnya masih tertimbun runtuhan. Sebagian korbannya adalah perempuan dan anak-anak.
Untuk apa mengharapkan kemerdekaan Palestina dengan menciptakan negara bangsa, sedangkan negara bangsa di sekitar Gaza pun tidak mampu membantu Palestina karena di bawah bayang-bayang negara adidaya?
Penguasa dunia Islam, terutama para pemimpin negeri muslim hari ini masih menjadi alas kaki kepentingan Barat dan kebangsaan mereka. Maka, sebenarnya merekalah penjaga eksistensi negara Zionis di jantung kaum muslimin.
Kita harusnya belajar dari sejarah ketika Islam memimpin dunia dengan segala syariat yang diterapkan. Syariat dijadikan sebagai standar bagi perbuatan, sehingga tercipta keamanan. Tidak ada satu pun peristiwa pembantaian, genosida ataupun bentuk kezaliman lainnya yang menghancurkan kehidupan dan menimbulkan kesengsaraan. Bahkan, seperti penulis ceritakan di atas bahwa orang-orang Yahudi pun ditampung di wilayah kaum muslimin di bawah pemerintahan Khilafah Utsmani.
Ketika seorang Zionis Yahudi bernegosiasi ingin membeli sejengkal tanah Palestina dengan iming-iming uang yang tidak sedikit, Khalifah menolak dengan sangat keras. Itulah bentuk independensi negara Islam. Khalifah tidak sedikit pun memberi celah bagi masuknya orang-orang kafir yang akan mengekang mengintervensi kaum muslimin.
Inilah PR besar bagi umat hari. Diamnya mereka terhadap penderitaan kaum muslimin di Rafah membuktikan pengkhianatan terbesar terhadap kaum muslimin. Karena itu, berharap pada penguasa muslim ataupun merdeka ala nasional state sama saja omong kosong.
Peristiwa Rafah harusnya membuka mata kita, bahwa tanpa penerapan syariah kaffah, Palestina masih terus merana. Hanya penerapan syariah kaffah yang akan menghentikan merananya Palestina.
Syariah kaffah hanya bisa diterapkan jikalau pemimpin negeri muslim menerima kepemimpinan independen tanpa campur tangan orang kafir. Kepemimpinan itu bentuknya khas, karena dialah yang akan menyelesaikan masalah demi masalah, termasuk membebaskan Palestina dengan panduan Al-Qur'an dan hadis.
Allah Swt. Berfirman,
وَقَٰتِلُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُعْتَدِينَ
"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (Al-Baqarah: 190)
Tidak ada solusi yang tepat untuk menghapus kesedihan warga Gaza dan kaum muslimin di seluruh dunia kecuali dengan hukum syariah. Syariat memerintahkan untuk mengirimkan pasukan militer dan membebaskan Baitul Maqdis. Gaza membutuhkan militer, bukan sekadar bantuan logistik.
Serangan militer tidak bisa dilawan dengan gandum dan minyak samin. Selain itu, hentikan semua kerja sama dengan Zionis di semua sektor. Pada faktanya, negara Zionis adalah negara lemah yang amat bergantung pada pasokan negara tetangganya.
Untuk itu, kaum muslimin harus bersatu dalam satu kepimpinan umat Islam, yaitu Khilafah Islamiyah yang akan membebaskan Palestina dari cengkeraman Zionis Yahudi selamanya. Dengan begitu, Palestina akan mendapatkan kemerdekaan hakiki, bukan kebebasan yang terbatas dalam balutan nasionalisme.
Inilah kabar yang disampaikan oleh Rasulullah sebagai teladan kita, pengingat dan penguat keimanan kita sebagai seorang muslim dan hamba yang tunduk kepada Allah Swt. dan segala firman yang diturunkan-Nya.
Oleh: Hexa Hidayat, Sahabat Tinta Media