Pengamat: Ada Mobilisasi Dana Rakyat melalui Tapera oleh Pemerintah? - Tinta Media

Selasa, 11 Juni 2024

Pengamat: Ada Mobilisasi Dana Rakyat melalui Tapera oleh Pemerintah?


Tinta Media - Menanggapi kebijakan pemerintah yang mewajibkan seluruh pekerja mengikuti program Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat), Pengamat Ekonomi Syariah Ustazah Nida Sa'adah, SE.Ak., MEI., menduga ada mobilisasi dana dari rakyat oleh pemerintah.

"Kalau bahasa yang digunakan pemerintah terkait latar belakang kebijakan Tapera adalah ketersediaan rumah, sementara rakyat yang sudah memiliki rumah juga harus ikut program ini, maka diduga dengan jelas bahwa ada kebutuhan pemerintah untuk memobilisasi dana dari masyarakat," tutur Ustazah Nida kepada Tinta Media, Jumat (07/06/2024).

Terlebih, lanjutnya, badan pengelola Tapera jelas-jelas dari pemerintah, yaitu Menteri PUPR, Menteri Keuangan, Menteri Ketenagakerjaan, pejabat dari Otoritas Jasa Keuangan, dan juga profesional. "Jadi, terlihat jelas bahwa pengelola dana Tapera ini adalah pemerintah," ungkapnya.

Ustazah Nida Sa'adah mengatakan, ketika suatu negara berencana untuk menarik banyak pungutan selain pajak yang sebetulnya sudah sangat memberatkan bagi masyarakat, ini bisa menjadi indikator bahwa ada masalah dalam sistem keuangan negara itu, sehingga membutuhkan banyak pemasukan dari sumber-sumber yang lain

Ketika ditanya bagaimana perspektif Islam terhadap situasi ini, Ustazah Nida Sa'adah menjelaskan bahwa ada banyak hal yang bisa diurai, pertama dari aspek sistem keuangan negara.

"Kalau kita menggunakan sistem syariat Islam, niscaya keruwetan sistem Tapera ini tidak akan pernah terjadi," ujar Ustazah Nida.

Ustazah Nida juga menjelaskan bahwa dalam sistem keuangan negara Islam yang dipraktikkan dalam sistem kenegaraan Rasulullah, dilanjutkan dengan para khalifah sepeninggal beliau, serta menggantikan posisi beliau sebagai kepala negara dengan meneruskan penerapan Islam secara kaffah, ada model keuangan negara yang disebut dengan Baitul Mal.

Dalam sistem keuangan Baitul Mal ini, pungutan yang dibebankan kepada masyarakat atau rakyat dari negara khilafah Islam tidak ada. Kalaupun ada, penarikan harta dari rakyat betul-betul dengan mekanisme bahwa harta itu memang berlebih dari income yang dimiliki oleh masyarakat.

"Jadi, ia memang tidak membutuhkan harta itu. Misalnya, penarikan harta zakat mal dengan mekanisme nishab. Maka, siapa pun yang mencapai batas nisab dan tidak membutuhkan harta itu karena berlebih, maka bisa dialokasikan untuk yang lain. Jadi, tidak pernah terjadi dalam sistem keuangan Baitul Mal, income yang sudah kecil harus dipotong lagi dengan berbagai pungutan oleh negara," papar Ustazah Nida.

Dalam kesempatan itu, Ustazah Nida Sa'adah juga mengungkapkan kekhawatirannya. "Kalau suatu negara semakin banyak memberlakukan pungutan kepada rakyat, berarti memang ada masalah dalam sistem keuangan negara itu."

Perspektif Islam yang kedua, menurut Ustazah Nida terkait persoalan Tapera ini adalah dari sisi  mekanisme transaksinya. Menurut Ustazah Nida, Tapera, meskipun namanya tabungan perumahan rakyat, tetapi mekanismenya sama persis dengan sistem asuransi. Dalam sistem ini, rakyat atau peserta program diminta membayar sejumlah tertentu secara rutin dan bersifat wajib. Dana itu nantinya bisa dicairkan sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Ini sama persis dengan mekanisme asuransi, sekalipun diberi nama tabungan.

“Asuransi sendiri kalau dibahas dari sudut pandang Islam hukumnya adalah haram. Belum lagi di dalam asuransi itu dikenakan tingkat suku bunga. Berarti di situ juga ada riba. Jadi, ada haram dari aspek asuransinya dan haram dari aspek pemberlakuan riba di dalam transaksi itu. Dalam kacamata Islam, ini adalah jenis akad transaksi yang tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim karena melanggar mekanisme transaksi akad syari'ah," jelas Ustazah Nida.

Perspektif Islam yang ketiga, menurut Ustazah Nida adalah ditinjau dari strategi pemenuhan kebutuhan pokok di dalam Islam.  Maka, banyak literatur sistem ekonomi Islam yang menjelaskan pemenuhan kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, papan, dalam hal ini berarti rumah. Ini sama sekali berbeda dengan program tapera.

Ustazah Nida menjelaskan bahwa mekanisme yang diberikan Islam terkait perumahan ini ada dua.

Pertama, mekanisme ekonomi. Mekanisme ini hanya diberlakukan bagi orang yang mampu untuk masuk ke dalam sektor ekonomi dengan cara bekerja. Yang paling penting di sini, masyarakat harus memahami bahwa kewajiban bekerja dalam Islam hanya diberikan kepada laki-laki, sedangkan perempuan kewajibannya adalah mendapatkan nafkah, bukan bekerja.

Jadi, bagi siapa pun laki-laki yang mampu, dalam arti tidak ada hambatan secara fisik, usianya tidak sangat uzur, masih survive dan mempunyai kekuatan fisik, berarti dia harus bekerja untuk bisa memenuhi kebutuhannya, termasuk kebutuhan mendasar.

Kedua, mekanisme non-ekonomi. Berbagai kebutuhan pokok untuk bisa membangun rumah, seperti kayu, besi, paku, genteng, termasuk tanah dan lain sebagainya, diatur dengan regulasi Islam sehingga bisa didapatkan dengan sangat murah. Bahkan, itu bisa didapatkan dari pemberian negara, misal tanah.

Negara akan memberikan tanah secara gratis bagi rakyat yang betul-betul membutuhkan. Dengan begitu, alokasi income-nya bisa dipakai untuk membeli kayu dan lain-lain dengan harga yang sangat murah.

"Jika berbicara kayu, berarti kita berbicara pohon dari hutan. Bicara tentang besi, paku, aluminium, dll. berarti kita sedang berbicara tentang bahan tambang yang jika dikelola sesuai dengan Syariat Islam, maka harga jualnya semata-mata untuk menutupi biaya produksi, tidak boleh mengambil profit dari pengelolaan barang tambang itu," papar Ustazah Nida.

Menurutnya, mendapatkan rumah dengan regulasi ekonomi yang ditata dengan Syariat Islam sangat mudah dan murah. Masyarakat tidak membutuhkan waktu puluhan tahun untuk memiliki sebuah rumah, termasuk tanah untuk dibangun rumah di atasnya

"Dari sini bisa dilihat bahwa problem besar terkait sulitnya mendapatkan rumah adalah karena sistem ekonomi yang dijalankan di dalam negeri yang mayoritas muslim ini tidak menggunakan sistem ekonomi Islam yang berasal dari Allah Pencipta semesta alam," terangnya.

Ia menilai kesalahan besarnya adalah karena berbagai bahan dasar untuk membuat rumah tidak dikelola dengan Syariat Islam. Kondisi ini diperparah dengan sistem politik bernegara yang juga tidak menggunakan Syariat Islam, sehingga ketika negara mengurusi urusan rakyat, perspektif yang dipakai adalah bagaimana menyediakan kebutuhan masyarakat layaknya hubungan antara pembeli dan penjual, bukan sebagaimana yang diajarkan oleh Islam. Harusnya, pemerintah atau penguasa melayani apa yang menjadi kebutuhan masyarakat.

"Jadi, ada mekanisme berupa subsidi murni dari negara bagi rakyat yang memang sangat tidak mampu, bukan diminta menabung. Solusinya adalah mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar melalui i'tha' atau pemberian dari sistem keuangan negara Baitul Mal," ungkapnya.

Terakhir, ketika ditanya tentang bagaimana seharusnya sikap masyarakat menghadapi persoalan-persoalan Tapera ini, Ustazah Nida menjelaskan, karena akadnya melanggar syariat, yaitu ada model asuransi dan ada penerapan riba meski namanya tabungan, maka secara fiqih hukumnya tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim.

"Seharusnya kita bersikap sebagaimana sikap seorang muslim, yaitu tidak melanggar aturan Allah. Bahkan, jika di situ ada kemungkaran atau hal yang bertentangan dengan syariat, maka wajib bagi kita untuk menyuarakan kezaliman itu," pungkasnya.[] Ida Royanti

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :