Tinta Media - Dalam waktu tiga hari gugatan Partai Garuda terkait dengan batas usia kepala daerah baik calon gubernur dan wakil gubernur dikabulkan oleh Mahkamah Agung (MA). Ini berarti untuk bisa mendaftar calon gubernur dan wakil gubernur tidak harus berusia 30 tahun.
Dalam putusan MA tersebut, menyatakan bahwa pasal 4 ayat (1) huruf d dalam Peraturan KPU RI Nomor 9 tahun 2020 tentang pencalonan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan atau Walikota dan wakil Walikota, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu UU Nomor 10 tahun 2016. Dengan adanya putusan tersebut, maka aturan KPU pun diubah.
Pada pasal 4 ayat (1) huruf d sebelumnya berbunyi: berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan calon.
Jika mengacu pada aturan tersebut, mereka yang sudah berusia 30 tahun baru bisa mendaftar gubernur atau wakil gubernur pada saat ditetapkan menjadi pasangan calon. Lalu berusia 25 tahun pada saat penetapan pasangan calon untuk bupati atau wakil bupati dan setingkatnya. Namun, aturan tersebut diubah oleh MA menjadi berusia paling rendah 30 tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih.
Perubahan UU demi kepentingan segelintir orang sudah biasa terjadi. Bahkan niscaya terjadi di dalam sistem politik Demokrasi hari ini. Hal tersebut sangat mudah dipahami lantaran kedaulatan hukum sistem demokrasi berada di tangan manusia. Prinsip politik ini sudah menegasikan keberadaan Allah, bahkan membuang Allah sebagai satu-satunya Dzat yang berhak membuat hukum.
Sehingga wajar dari konsep politik yang batil melahirkan mekanisme politik yang fasad (rusak). Kekuasaan digunakan sebagai legitimasi mengalahkan supremasi hukum. Maka tak salah jika ICW menduga putusan MA terkait perubahan batas usia calon pejabat digunakan untuk memuluskan jalan Kaisang Pangarep putra bungsu Presiden Joko Widodo maju di Pilkada 2024. Jika sudah seperti ini rakyat yang kembali harus menelan pil pahit keculasan para pejabat negeri. Harapan memiliki pemimpin pro rakyat sudah pupus.
Sesungguhnya umat akan terus menghadapi dan merasakan kekuasaan fasad para pejabat selama sistem demokrasi masih digunakan sebagai sistem politik. Sebenarnya kekuasaan bukanlah hal kotor seperti saat ini. Dan harapan menjadi pemimpin adil juga bukan hal yang sulit diwujudkan. Hal itu akan terwujud jika sistem politik yang diterapkan adalah sistem politik yang shahih (benar). Hanya dengan sistem Islam sistem politik yang shahih akan terwujud. Sebab, dalam sistem Islam kekuasaan dikaitkan dengan akidah Islam. Dalam Islam kekuasaan adalah suatu amanah besar yang akan diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Rasulullah sangat mewanti-wanti terkait amanah kekuasaan ini. Karena jabatan dan kekuasaan bisa menghinakan atau memuliakan pemikulnya. Rasulullah SAW bersabda:
“Kepemimpinan itu awalnya cacian, kedua penyesalan, dan ketiga azab dari Allah pada hari kiamat nanti; kecuali orang yang memimpin dengan kasih sayang dan adil.” (HR. ath-Thabrani)
Mindset kekuasaan seperti ini membuat Khalifah Umar Bin Khattab menangis karena dibai’at oleh para sahabat lainnya untuk memimpin negara Khilafah. Mindset kekuasaan seperti ini pula yang membuat para penguasa negara Khilafah berusaha seoptimal mungkin mengerahkan kemampuan mereka dalam mengurus atau meri’ayah rakyatnya.
Terkait pemilihan kepala daerah, Islam sudah memiliki mekanismenya. Dalam kitab Ajhizah fi Daulah Khilafah, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan kepala daerah Khilafah disebut dengan wali. Dalam kitab tersebut menjelaskan, bahwa wali adalah wakil khalifah (naib al-khalifah) dalam memerintah dan mengurus suatu daerah atau negeri. Wali diangkat langsung oleh khalifah. Dia bertanggung jawab di terhadap khalifah dan majelis syura. Seorang wali bisa diberhentikan oleh khalifah bila diadukan oleh majelis syura. Majelis Syura adalah perwakilan umat di sebuah wilayah (setingkat provinsi).
Satu wilayah dalam Islam dibagi ke dalam beberapa imalah (setingkat kabupaten). Penanggung jawab imalah disebut Amil. Amil memiliki wewenang sebagaimana wali. Dan syarat-syarat amil juga sama sebagaimana syarat-syarat seorang wali. Mekanisme ini akan membuat pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah sangat efektif dan efisien, berbiaya sangat murah bahkan nyaris tanpa biaya. Tak hanya itu, akuntabilitas pejabat juga terjamin karena bisa diberhentikan segera jika mereka melakukan kezaliman. Dan kontrol masyarakat akan berjalan karena mereka bisa memberikan masukan terkait sosok pemimpin daerah yang mereka inginkan.
Untuk menjalankan amanah besar ini, tentu bukan sembarang orang mampu melakukannya. Ada syarat-syarat tertentu dalam Islam agar seseorang layak menjadi kepala daerah. Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Asy Syakhsiyah Al-Islamiyah juz 2 halaman 95, memberi tiga indikator kriteria penting yang harus dimiliki seorang pejabat, yakni al-quwwah (kekuatan), at-taqwa (ketakwaan) dan al-rifq bi ar-ra’iyyah, yakni lembut terhadap rakyat dan tidak menyakitkan hati. Kriteria ini akan menjadikan kepala daerah terpilih mampu melayani umat dengan baik.
Inilah komparasi makna kekuasaan, pemilihan, serta kriteria pejabat dalam sistem demokrasi dan sistem Khilafah. Lantas alasan apa yang membuat umat masih tetap mempertahankan sistem Demokrasi?
Oleh: Gusti Nurhizaziah, Aktivis Muslimah