Menanggapi hal tersebut, Plt. Sekretaris Dirjen Dikti Tjitjik Sri Tjahjandarie membantah adanya kenaikan UKT saat ini. Menurutnya, bukan UKT yang naik, melainkan kelompok UKT. Selain itu, Tjitjik mengatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier alias pilihan yang tidak termasuk dalam pendidikan tinggi, atau wajib belajar 12 tahun. Wajib belajar di Indonesia saat ini hanya berlangsung selama 12 tahun, mulai dari SD, SMP, dan SMA.
Kebingungan mahasiswa atas mahalnya biaya UKT sebenarnya merupakan dampak nyata dari peralihan PT ke PTN-BH.
Perubahan ini akan menghilangkan peran negara dalam mendanai pendidikan tinggi dan memaksa universitas mencari sumber pendanaan sendiri.
Seluruh biaya PTN kini mengacu pada Standar Satuan Biaya Operasional Perguruan Tinggi (SSBOPT). SSBOPT ditetapkan dengan memperhatikan kinerja standar nasional pendidikan tinggi, jenis program studi, dan indeks biaya lokal. Akhirnya, komersialisasi pendidikan tinggi tidak bisa dihindari.
Di sisi lain, sistem pendidikan saat ini belum mampu melahirkan generasi yang berkualitas. Di perguruan tinggi, mahasiswa mendapat kurikulum yang memenuhi persyaratan industri. Tuntutan ini merupakan konsekuensi logis dari program WCU (World Class University) pada pendidikan tinggi.
Program ini memerlukan syarat-syarat tertentu, seperti inisiatif "Triple Helix'' yang menjalin kerja sama antara pemerintah, dunia usaha, dan perguruan tinggi, dan tentunya memerlukan biaya yang besar. Akibatnya, arah pendidikan tinggi tidak lagi terfokus pada pengajaran, melainkan memenuhi kebutuhan industri.
Maraknya UKT dan faktor-faktor yang memengaruhinya merupakan kejahatan sistem kapitalis. Sistem yang berorientasi materi ini mengubah sektor pelayanan publik seperti pendidikan menjadi sektor bisnis. Ada kesan yang semakin meningkat bahwa pendidikan saat ini bukanlah sekadar pengetahuan, tetapi hanya berguna untuk mencari pekerjaan dan uang.
Selama sistem kapitalis masih ada, masalah biaya sekolah pasti akan semakin serius.
Dalam sistem kapitalisme, pendidikan gratis yang berkualitas hanyalah mimpi kosong.
Hal ini berbeda dengan sistem Islam yang diperkenalkan oleh Daulah Khilafah.
Daulah Khilafah mampu memberikan pendidikan gratis dan berkualitas karena beberapa ketentuan syariah, yaitu:
Pertama, Islam memiliki tujuan politik di bidang pendidikan, yaitu memelihara akal manusia sebagaimana yang Allah Ta'ala jelaskan dalam Al-Qur'an surat Al-Maidah Ayat 90-91, Al-Qur'an surat Azzumar ayat 9 dan Al-Qur'an surat Mujadalah ayat 11.
Kedua, pendidikan adalah sarana memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu membawa manusia jauh dari kebodohan dan kekafiran. Dengan ilmu, manusia melakukan tadabur, ijtihad, dan berbagai hal lainnya yang dapat mengembangkan potensi akal manusia dan memuji keberadaan orang yang berilmu.
Ketiga, tanggung jawab negara dalam memberikan pendidikan dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad saw. pemimpin Daulah Islam di Madinah. Saat itu, para tawanan Badar diwajibkan mengajari umat Islam membaca dan menulis sebagai tebusan. Tindakan tersebut bukan hanya karena kebaikan pribadinya, tetapi juga mempunyai makna politis sebagai pertimbangan bagi pendidikan bangsa.
Keempat, dalam sistem Islam, pendidikan tidak dianggap sebagai barang komersial, apalagi barang tersier, melainkan kebutuhan dasar masyarakat.
Islam setiap orang untuk menuntut ilmu. Arahan syariah ini menjadi konsep manajemen pendidikan pada masa Khilafah.
Hal tersebut juga dijelaskan oleh seorang mujtahid mutlak dan ulama terkenal Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Muqaddimah Dustur pasal 173, yaitu:
"Negara wajib menyelenggarakan pendidikan berdasarkan apa yang dibutuhkan manusia di dalam kancah kehidupan bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan dalam dua jenjang pendidikan, yakni pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara secara cuma-cuma. Mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara cuma-cuma."
Namun, mewujudkan pendidikan semacam ini memerlukan dukungan finansial yang besar. Oleh karena itu, sistem pendidikan Islam harus didukung oleh sistem ekonomi Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, sumber daya keuangan negara terkonsentrasi pada sistem Baitul-Maal.
Baitul Mal mempunyai tiga pos pendapatan, yaitu barang milik negara, barang milik umum, dan barang zakat. Setiap pos mempunyai sumber pendapatan dan alokasinya sendiri untuk pendidikan. Misalnya, Khilafah dapat mengalokasikan dana dari domain publik untuk biaya lembaga dan infrastruktur pendidikan, sehingga negara dapat membangun gedung kampus, termasuk perpustakaan, laboratorium, balai, klinik, asrama mahasiswa, serta sarana dan prasarana pendidikan lainnya.
Khilafah bahkan dapat memberikan beasiswa tanpa syarat kepada semua siswa, baik yang berasal dari keluarga miskin atau kaya, siswa yang berprestasi atau rata-rata.
Setiap orang mempunyai akses terhadap layanan gratis dan berkualitas tinggi. Di sisi lain, Khilafah akan mengalokasikan anggaran Baitul Maal milik negara untuk membayar gaji dosen dan tenaga administrasi.
Sumber pendanaan Baitul Maal yang kuat dan stabil tentunya dapat menunjang kemandirian pendidikan yang sejalan dengan syariat Islam, yaitu membantu masyarakat menjadi manusia yang berilmu dan berkarakter Islami.
Oleh karena itu, sepanjang kekhalifahan berlangsung selama 1300 tahun, banyak ilmuwan, pemikir, dan ulama yang bekerja siang malam untuk membangun kapasitas keilmuan umat, bukan untuk memenuhi tuntutan industri seperti saat ini. Bukankah pendidikan seperti ini yang diimpikan banyak orang?
Oleh: Ummu Farras, Sahabat Tinta Media