LSL, Penyimpangan Seksual Buah Sekularisme - Tinta Media

Sabtu, 22 Juni 2024

LSL, Penyimpangan Seksual Buah Sekularisme

Tinta Media - Dunia ini sedang sakit parah. Ungkapan ini sangat sesuai dengan realitas kehidupan manusia saat ini. Betapa tidak, kita selalu dibuat syok dan terperangah dengan berbagai berita yang ada. Hampir tidak ada kabar baik ataupun menyenangkan untuk didengar.

Masalah kemiskinan, kriminalitas, hingga kerusakan moral semakin merajalela, tidak peduli lagi batasan dosa. Haram atau halal pun dibuat samar. Atas nama HAM, tindakan amoral pun bisa dilegalkan. Tidak aneh jika kasus perzinaan dan penyimpangan seksual, semisal L6BT semakin meningkat dari hari ke hari. Dampaknya, penyakit yang disebabkan oleh penyimpangan perilaku ini pun semakin menyebar luas ke seantero negeri.

Koordinator Lapangan Grapiks, Vika Nurdian mengatakan kepada Tribun Jabar dalam wawancaranya, bahwa belakangan ini angka penularan HIV/AIDS lebih banyak dari LSL (laki seks laki), jika dibandingkan dengan penggunaan narkoba, jarum suntik, atau lainnya. Bahkan, para pegiat kesehatan di Yayasan Grapiks yang berada di Kompleks Binakarya, Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung, berupaya untuk menekan, mengurangi, hingga memutus penularan HIV /AIDS ini yang terus meningkat setiap tahunnya.

Vika memaparkan bahwa tahun 2023 terdapat 346 kasus dan tahun ini (hingga Mei) terdapat 135 kasus. Dari 346 kasus yang ditemukan pada 2023, sebanyak 328 akibat SLS, sedangkan temuan di tahun 2024 sebanyak 130 akibat LSL, tiga waria, dan dua pengguna narkoba jarum suntik. 

LSL sendiri merupakan konsep penamaan baru terhadap komunitas laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan jenis kelamin yang sama (homoseksual) atau gay juga biseksual. LSL merupakan orientasi seksual menyimpang yang terjadi akibat adanya kebebasan berperilaku yang diusung oleh sistem demokrasi sekuler liberal saat ini.

Sistem yang memisahkan agama dalam mengatur kehidupan manusia ini menganggap bahwa LSL merupakan hak asasi manusia (HAM). Siapa pun berhak menentukan dirinya mau menjadi apa dan mau berbuat apa. Selama tidak mengganggu orang lain, tidak boleh ada seorang pun yang ikut-campur, karena ini dinilai telah melanggar HAM.

Toleransi pun sering dijadikan alasan terhadap realitas apa pun, termasuk perilaku seksual menyimpang. Bahkan, LSL yang notabene termasuk tindakan L6BT, dianggap merupakan keberagaman orientasi seksual seperti halnya perbedaan suku, agama, ras, dan budaya dalam masyarakat. Sehingga, perilaku ini dianggap manusiawi selama tidak merugikan orang lain. Yang penting perilaku seksual yang dilakukan itu aman, nyaman, dan bertanggung jawab.

Padahal, nyatanya perilaku menyimpang ini terbukti membawa petaka yang sangat luar biasa bagi umat manusia. Berbagai penyakit muncul seperti halnya AIDS/HIV yang hingga kini belum ada obatnya, dan menyebar secara masif di tengah masyarakat.

Mirisnya, penguasa di negeri ini dibuat tidak berdaya dengan petaka penyebaran HIV/AIDS, walaupun mereka mengetahui dan menyadari bahwa salah satu penyebabnya adalah perilaku seks bebas, termasuk perilaku seksual menyimpang, semisal L6BT.

Namun demikian, berbagai upaya untuk mengatasi masalah tersebut belum berhasil, malah justru melahirkan masalah baru. Semisal, seruan memperbolehkan hubungan seks aman. Ini dapat dipersepsikan sebagai hubungan seksual yang tidak dibatasi atau tidak bersyarat, artinya tetap dalam konteks kebebasan, yang mengakomodir kebebasan untuk melakukan seks dengan siapa pun. Hubungan dengan lawan jenis ataupun sesama jenis tidak dibatasi, selama dipandang 'aman'.

Definisi aman pun sangat multitafsir. Selama dalam koridor kebebasan, maka hakikatnya adalah pembolehan dalam perilaku seks bebas, suka sama suka, dan tidak dalam kondisi memaksa.

Inilah aturan buatan manusia yang memberikan kebebasan berperilaku pada manusia, sehingga banyak rakyat yang kini terjangkiti penyakit AIDS/HIV dan penyakit kelamin lainnya akibat perzinaan dan perilaku L6BT yang dibolehkan secara undang-undang atas nama HAM dan menghormati kebebasan. Mereka dijunjung tinggi oleh sistem sekularisme demokrasi yang diterapkan di negeri ini.

Maka, selama masih menerapkan sistem rusak tersebut, negeri ini tidak akan pernah mampu menyelesaikan berbagai masalah kehidupan secara tuntas, termasuk masalah penyebaran HIV/AIDS. Oleh karena itu, hendaklah kaum muslimin kembali kepada sistem yang sahih, yaitu sistem Islam dalam mengatur kehidupan.

Syariat Islam telah menetapkan secara tegas keharaman L6BT. Selain secara realistis berbahaya, L6BT secara kodrati dapat mengancam kelestarian umat manusia.

Islam menetapkan  L6BT sebagai bentuk penyimpangan fitrah yang harus diluruskan, penyakit yang harus disembuhkan, dan keburukan yang harus dicegah, karena hukumnya adalah haram. Semua bentuk perbuatan haram merupakan tindak kejahatan/kriminal (al-jariimah), yang pelakunya harus dihukum.

Terkhusus bagi pelaku L6BT, salah satunya LSL (homoseksual), pelakunya harus dihukum mati. Dalilnya adalah sabda Nabi saw. yang artinya:

“Allah telah mengutuk siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth. Allah telah mengutuk siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth.  Allah telah mengutuk siapa saja berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth.” (HR Ahmad).

Negara yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, di dalamnya juga akan menerapkan sistem pergaulan laki-laki dan perempuan dalam Islam. Sistem yang dapat menjaga kebersihan dan kesucian masyarakat, sehingga tercegah dari segala bentuk keburukan yang dapat menimpa generasi yang hidup dan generasi penerusnya, dalam kemuliaan Islam.

Sistem pergaulan tersebut di antaranya mengatur tentang kewajiban bagi laki-laki dan perempuan untuk menutup aurat,  menundukkan pandangan, dan menjaga kemaluan (kehormatan)-nya, larangan berkhalwat (bersepi-sepi) antara laki-laki dan perempuan kecuali ada mahram perempuan tersebut, hukum safar bagi muslimah jika lebih dari sehari semalam harus ditemani mahram, juga kewajiban memakai jilbab bagi muslimah, larangan mendekati zina dan sanksi bagi pelakunya baik laki-laki maupun perempuan, dan seperangkat syariat lainnya yang bersifat preventif (pencegahan). 

Jikapun masih tetap ada yang melakukan pelanggaran syariat, semisal liwat (homoseksual atau LSL), maka negara akan memberikan sanksi kepada pelaku berdasarkan syariat Islam, yaitu berupa hukuman mati. Salah satunya dengan cara dijatuhkan dari ketinggian, semisal tebing hingga mati, yang disaksikan oleh khalayak. Hukum sanksi ini bersifat sebagai penggugur dosa bagi pelaku dan juga dapat menimbulkan efek jera bagi masyarakat.

Seperangkat aturan ini diterapkan sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam menjaga umat. Salah satunya menjaga nasab (generasi), menjaga kehormatan, menjaga akal, dan penjagaan lainnya. Ini diterapkan semata untuk menyelamatkan umat dan generasi dari berbagai pelanggaran syariat, termasuk penyimpangan seksual yang dapat merusak masyarakat.

Dalam penjagaan tersebut negara bekerja sama dengan keluarga, masyarakat, maupun organisasi atau jamaah dakwah Islam yang ada di tengah-tengah umat dalam menghidupkan aktivitas amar makruf nahi munkar.

Dalam penyelenggaraan pendidikan, kurikulum yang bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam peserta didik akan turut berperan aktif dalam membentuk karakter generasi. Negara juga akan mengarahkan, mengawasi bahkan melarang media informasi dari segala bentuk konten yang melanggar syariat, serta menghukumi semua pihak yang melanggar kebijakan tersebut. Semua itu hanya bisa diterapkan jika negara menerapkan sistem Islam secara menyeluruh dalam institusi pemerintahan. Wallahu'alam bisshawwab.

Oleh: Thaqiyunna Dewi, S.I.Kom., Sahabat Tinta Media 

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :