Tinta Media - Begitu sulit mencari tontonan yang bisa menjadi teladan pada saat ini. Banjirnya tontonan negatif semakin meresahkan. Unsur Hak Asasi Manusia menjadi hal yang mendominasi. Film-film yang marak ditayangkan semakin jauh dari nilai dan norma yang dulu dijunjung tinggi.
Parahnya lagi, tontonan yang kini laris di pasaran justru tontonan yang bergenre kekerasan, perilaku bebas atau horor yang jauh dari nilai edukasi. Dampaknya sangat berbahaya, terutama bagi anak-anak dan remaja yang masih dalam proses menjajaki nilai kehidupan.
Tontonan Racun
Psikolog anak dan remaja dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, Vera Itabiliana, mengungkapkan bahwa akibat buruk ketika anak menonton film yang tidak sesuai usianya. Salah satunya, mereka bisa belajar hal-hal yang salah (detiknews.com, 16/4/2024). Sehingga merusak pemahaman sejak awal perkembangan pemikiran dimulai.
Media hiburan menjadi salah satu sasaran empuk dalam mengemas suatu ide. Tidak terkecuali ide-ide negatif yang mampu merusak pemahaman dan standar yang telah lebih dulu dipahami sebagai ide yang benar dan positif.
Kita tengok saat ini, begitu banyak film yang memuat ide rusak. Diantaranya, pergaulan bebas, hedonisme, kekerasan, religi berbau misteri, religi berbau pornografi, hingga religi yang benar-benar mewajarkan pelanggaran aturan agama. Tontonan "sampah" ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Karena muatannya berbahaya dan mampu menggiring opini masyarakat agar Sang Pencipta melonggarkan aturan terkait esensi syariat. Memaksa agar kelonggaran tetap diterapkan meskipun ada usaha untuk tetap taat. Tentu saja, arus ini lambat laun akan menggerus pemikiran dan pemahaman.
Manipulasi hiburan saat ini dilirik sebagai jalan ampuh untuk memasukkan suatu budaya dalam tatanan masyarakat. Strategi ini pun begitu mudah dilakukan, mengingat sekarang media menjadi hal yang sangat berpengaruh di tengah masyarakat. Tak ayal, proses demoralisasi pun terus berjalan dengan proses yang cepat dan pasti merusak kepekaan dan pemikiran.
Inilah bahayanya liberalisasi tontonan yang kian bablas. Konsepnya yang bebas tanpa batas menjadikan rusaknya tatanan. Semua ini tidak lepas dari konsep yang hanya berkiblat pada kesenangan, kepuasan dan keuntungan materi. Industri film kian kapitalistik dalam sistem sekuler yang makin liberal.
Islam Menjamin Penjagaan
Negara sebagai pemangku kebijakan mestinya memiliki regulasi kuat terkait konten tontonan. Karena secara langsung, saat ini tontonan akan diterapkan masyarakat sebagai tuntunan. Konsep penjagaan yang sempurna hanya mampu diterapkan dalam bingkai institusi yang menjadikan rakyat sebagai prioritas penjagaan yang utama. Yakni negara yang menerapkan sistem yang berpijak pada nilai dan aturan agama sebagai panduan. Satu-satunya sistem amanah yang menempatkan manusia sesuai fitrahnya.
Konsep ini hanya mampu diterapkan dalam sistem Islam dalam wadah khilafah. Satu-satunya sistem bijaksana yang menjadikan umat sebagai satu-satunya tujuan perlindungan.
Sebagaimana Rasulullah SAW. bersabda,
"Imam adalah ra'in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya" (HR. Al Bukhori).
Tidak hanya itu, sistem sanksi dalam khilafah ditetapkan sebagai kebijakan yang tegas dan mengikat. Setiap rumah produksi yang menciptakan tontonan non edukasi dan jelas melanggar syariat, akan dieliminasi secara otomatis melalui sistem dan ditindak tegas oleh khilafah. Dengan demikian, negara akan menjamin tontonan yang aman dan ideal menjadi tuntunan bagi seluruh individu.
Wallahu'alam bisshowwab.
Oleh: Yuke Octavianty, Forum Literasi Muslimah Bogor