Kasus Rudapaksa Menggurita, Buah Perilaku Liberal - Tinta Media

Minggu, 09 Juni 2024

Kasus Rudapaksa Menggurita, Buah Perilaku Liberal


Tinta Media - Kasus perkosaan (rudapaksa) kian mengkhawatirkan. Tidak jarang, para pelaku adalah orang terdekat korban. Tak hanya orang dewasa, bahkan anak di bawah umur hingga penyandang disabilitas pun menjadi korban.  

Pria paruh baya di Pondok Aren, Tangerang Selatan berinisial, H (53) tega memperkosa tetangganya MA (17), hingga mengandung dan melahirkan. Seorang pria di Kemayoran, Jakarta Pusat, berulang-kali memperkosa anak tirinya saat sang ibu tengah pergi bekerja. Masih di Kemayoran, Baidawi (52) ditangkap karena memperkosa remaja penyandang disabilitas. Di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, wanita difabel berinisial BL (21) diduga diperkosa dua pria, SD (56) dan MU (31) (news.detik.com, 27/5/2024). 

Kasus perkosaan tidak hanya dilakukan orang dewasa, bahkan anak pun tak luput dari tindak amoral tersebut. Di Kecamatan Dlanggu Mojokerto, tiga anak SD memperkosa anak TK 
(republika.co.id, 21/1/2023). Di Kecamatan Tanon Sragen, anak kelas VI SD memperkosa balita usia empat tahun (solopos.com, 6/6/2016).

Perilaku Liberal

Kasus perkosaan seolah tak pernah sepi dari pemberitaan. Kasus perkosaan di Indonesia selama tahun 2022 tercatat 1.433 kasus, meningkat 24% dibandingkan tahun 2021 sebesar 1.164 kasus (data.goodstats.id, 23/12/2023). 

Mirisnya, kasus perkosaan seperti fenomena gunung es. Yang tidak tercatat lebih banyak jumlahnya ibarat "memekakkan dalam keheningan". Survei yang dilakukan Lentera Sintas Indonesia pada Juni 2016 terhadap 25.213 responden menyatakan bahwa terdapat 6,5 persen (1.636 orang) menyampaikan pernah diperkosa, 93 persennya tidak melaporkan kasusnya. Alasan utama karena khawatir stigma sosial, tidak tahu lapor ke mana dan para korban khawatir dipersalahkan  (voaindonesia.com, 26/7/2016).

Kasus perkosaan yang kian marak merupakan indikasi kian bejatnya akhlak anak bangsa. Perbuatan asusila ini bertentangan dengan norma agama dan adat ketimuran. Orang hanya mengikuti nafsu biologis, memburu kenikmatan jasmani untuk kepuasan  sesaat, lupa mengindahkan halal dan haram.  Cara pandang ini tak lepas dari sistem sekuler yang diterapkan saat ini. Sistem yang memisahkan peran agama dalam kehidupan ini meniscayakan individu diberi hak kebebasan berperilaku secara penuh, termasuk melampiaskan hasrat seksual tanpa ikatan pernikahan. Akibatnya, lahir generasi tanpa nasab yang jelas, aborsi, hingga depresi, dan penyakit kejiwaan lainnya bagi korban.

Dorongan seksual merupakan fitrah, yaitu naluri nau' (naluri berkasih sayang) yang ada pada manusia. Kecenderungan ini muncul ketika mendapat stimulan, yakni rangsangan dari luar, seperti tontonan porno, melihat keindahan dan kecantikan lawan jenis, bacaan yang membangkitkan birahi, lagu serta lirik yang merangsang syahwat, dan sebagainya. 

Hasrat seksual yang muncul membutuhkan pemenuhan, jika tidak dipenuhi akan menimbulkan kegelisahan. Ketika tidak ada pasangan halal, maka hasrat seksual dilampiaskan sembarangan, bahkan pada yang haram.

Kebebasan arus informasi menyebabkan konten pornografi pembangkit hasrat seksual sangat mudah diakses. Faktanya sungguh mengejutkan. Hingga 17 September 2023, Kementerian  Kominfo sudah menangani 1.9 juta konten pornografi. 

Konten pornografi anak lebih mengkhawatirkan. Selama 4 tahun terakhir, ada 5.566.015 kasus, menduduki peringkat keempat di dunia, bahkan fakta di lapangan bisa lebih banyak (mediaindonesia.com 18/4/2024). Tak heran, kasus perkosaan juga dilakukan anak di bawah umur.

Setali tiga uang, sistem pendidikan sekuler tidak mampu membentuk pribadi takwa yang menjadikan halal haram sebagai ukuran perbuatan. Kurikulum disusun hanya mengutamakan capaian materi. Ketika lulus, peserta didik mengabdi pada kepentingan industri. Kebahagiaan dan kesuksesan diukur dengan capaian jabatan dan gaji yang tinggi.

Kasus perkosaan kian mengkhawatirkan karena sistem sanksi yang ada tidak memberi efek jera. Hukuman bagi pelaku sangat ringan, bahkan tidak sedikit yang lolos dari jeratan hukum. Pasal 285 KUHP menjelaskan bagi pelaku pemerkosaan akan dipenjara maksimal 12 tahun.

Solusi Islam

Islam adalah mabda (ideologi) yang mempunyai akidah dan sistem sebagai pemecah problematika kehidupan, termasuk kasus perkosaan dan pencegahannya.

Sistem Islam akan menyelenggarakan pendidikan berbasis akidah Islam untuk mewujudkan individu yang berkepribadian Islam, yakni individu dengan akidah yang kokoh, menjadikan syariat Islam sebagai ukuran pemikiran dan perbuatan. Dorongan ketakwaan akan menjaga individu sehingga tidak melakukan kemaksiatan, termasuk tindak perkosaan.

Negara juga mengatur hubungan pergaulan pria dan wanita sesuai syariat Islam. Kehidupan laki-laki dan perempuan terpisah, boleh bertemu bila ada hajat syar'i seperti muamalah, pendidikan, dan kesehatan. 

Islam tegas melarang adanya ihtilat, yakni campur baur pria dan wanita. Islam juga melarang khalwat, yakni berdua-duaan pria dan wanita di tempat sepi atau tidak disertai mahram. 

Adanya kewajiban ghadul basar, yakni menundukkan pandangan juga menutup aurat dengan benar sangat ditekankan sehingga tidak membangkitkan syahwat bagi lawan jenis.

Negara juga menjamin adanya informasi dan hiburan yang positif, yang membangun dan meningkatkan suasana keimanan, serta memblokir konten yang merusak seperti pornografi dan informasi merusak lainnya.

Penjagaan Islam disempurnakan dengan sistem sanksi yang tegas dan memberi efek jera. Para fuqaha sepakat, bagi yang diperkosa tidak diberi sanksi. Rasulullah saw. bersabda yang artinya,

"Sesungguhnya Allah mengangkat (hukuman) dari umatku perbuatan karena tidak sengaja, lupa, dan apa yang dipaksa melakukannya.” (HR Ibnu Majah).

Bagi pemerkosa akan diberi hukuman, yaitu:

Pertama hadd, pelaku yang sudah menikah dirajam atau dicambuk 100 kali bila belum menikah. 

Hukuman kedua, membayar mahar bagi wanita semisal korban.

Ketiga, ta'zir. Hukumannya ditetapkan qadhi, karena kasus perkosaan lebih dari zina, yakni ada unsur paksaan.

Bila pelaku perkosaan anak yang belum baligh, maka tidak diberi hukuman, sebagaimana sabda Nabi saw. yang artinya,

”Diangkat pena dari tiga golongan, yakni dari orang yang tidur hingga bangun, dari anak kecil hingga baligh, dan dari orang gila hingga berakal” (HR Abu Dawud).

Abdurrahman Al Maliki dalam Nizamul ‘Uqubat menjelaskan bahwa apabila anak melakukan kriminal karena walinya lalai, padahal sang wali mengetahui dan membiarkannya, maka wali tersebut diberi sanksi. Bila bukan kelalaian walinya, maka walinya tidak bisa dihukum.

Penerapan Islam secara sempurna oleh penguasa akan menekan kasus perkosaan. Ini membuktikan bahwa sistem Islam mampu mewujudkan generasi yang terjaga nasabnya.  Kesucian dan kehormatan wanita pun termuliakan. Wallahu a'lam.



Oleh : Ida Nurchayati
Sahabat Tinta Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :