Tinta Media - Kasus bullying di kalangan remaja kembali terjadi. Bahkan mereka berani melakukan aksi bullying secara live di akun media sosial. Seperti yang viral baru-baru ini di Bandung, perundungan disiarkan secara live di media sosial TikTok. Pelaku melakukan aksi bullying terhadap anak di bawah umur dengan cara memukul kepala korban dengan botol kaca hingga terluka dan menangis. Setelah menyiarkan video tersebut, pelaku membuat video lain yang dalam videonya itu menyatakan ia tidak takut dibui dan mengaku mempunyai saudara seorang jenderal (kompas.com 28/04/24).
Hal ini menggambarkan para pelaku bullying tidak menganggap kejahatan sebagai sesuatu yang buruk, bahkan menurut mereka tindakan itu adalah hal yang wajar dan keren. Sikap seperti ini menunjukkan adanya kesalahan dalam memandang keburukan dan mengindikasikan adanya gangguan mental. Seperti kita tahu, bullying dapat berdampak buruk bagi korban, bukan hanya secara fisik tetapi juga mental, seperti mengalami trauma bahkan gangguan kejiwaan. Namun ada sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa pelaku bullying memiliki tiga kali lipat kemungkinan untuk mengalami gangguan kejiwaan.
Mengapa kasus bullying semakin marak terjadi? Sebenarnya ini merupakan buah buruk dari banyak hal. Di antaranya, karena sistem sekularisme di mana standar kehidupan dijauhkan dari aturan Islam. Dalam pendidikan, generasi hanya dijejali ilmu-ilmu dunia, sedangkan pembelajaran agama sangat minim, bahkan hanya formalitas belaka. Alhasil, sistem pendidikan seperti ini membentuk generasi yang rusak, seperti para pembully ini.
Masyarakat cenderung individualis dan tidak peduli terhadap orang lain sehingga peran mereka yang harusnya sebagai pengontrol aktivitas masyarakat tidak dilakukan. Demikian pula negara yang seharusnya menerapkan aturan, malah abai terhadap kerusakan generasi, dan membiarkan generasinya menerapkan gaya hidup bebas ala Barat.
Selain itu, media massa dan media sosial sangat bebas menyajikan konten-konten yang dapat memicu remaja dalam melakukan perilaku bullying. Termasuk lemahnya sistem sanksi terhadap pelaku bullying, terutama para pelaku yang dianggap masih di bawah umur (18 tahun) yang diancam dengan hukuman yang lebih ringan sehingga tidak membuat mereka jera, dan kasus bullying semakin menjamur di mana-mana.
Hanya negara yang menerapkan Islam secara kaffah, yakni Khilafah, yang bisa membangun generasi mulia yang jauh dari pelaku bullying. Kepribadian yang terbentuk dalam sistem pendidikan Khilafah menjauhkan generasi dari perilaku bullying, sebab syariat Islam menjadi standar perbuatannya, sementara di dalam Islam bullying termasuk perbuatan yang zalim. Generasi berkepribadian Islam akan sibuk mengejar kebaikan di dunia dan bekal di akhirat. Mereka akan fokus mempelajari Islam sebagai ilmu kehidupan dan menciptakan karya-karya yang bermanfaat untuk umat, sekaligus berdakwah dan berjihad di jalan Allah.
Khilafah juga mengatur media massa ataupun media sosial untuk menyajikan konten-konten yang edukatif dan meningkatkan ketakwaan generasi, serta melarang konten-konten yang tidak bermanfaat apalagi yang berpotensi merusak umat.
Dalam sistem Islam, pelaku bullying tidak lepas dari sanksi yang tegas dan membuat jera, sehingga mencegah seseorang untuk melakukan tindak kejahatan. Generasi terbaik dan tangguh hanya dapat terwujud dalam sistem Islam kaffah, Khilafah Islamiyah. Wallahu a'lam bishshawab.
Oleh: Irawati Utami, Aktivis Remaja Muslimah