Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto (UIY) membeberkan kesemrawutan Indonesia. "Ini, ya Allah. Negara kita ini kok, makin ke sini
makin ke sana, makin enggak karuan. Semrawut," ucapnya dalam video singkat
yang bertema: Tapera, Tak Punya Perasaan? Di kanal YouTube Khilafah News, Senin
(17/6/2024).
UIY pun menuturkan, ada korupsi timah gila-gilaan yang
disebut mencapai 300 triliun. Lalu, ada kehebohan UKT (Uang Kuliah Tunggal)
naik tinggi.
"Sekarang muncul lagi Tapera. "Singkatan resminya
sih Tabungan Perumahan Rakyat, tapi banyak yang memelesetkannya menjadi
Tabungan Pemeras Rakyat," tuturnya.
Lebih lanjut UIY mengungkapkan, fenomena dan kebijakan
bercorak liberalisme di Indonesia yang membuat fungsi peran negara dipinggirkan
atau terpinggirkan sesungguhnya bukanlah suatu hal yang baru. Secara sistematis
terus-menerus dipaksakan, hingga waktu belakangan ini.
"Mungkin Anda masih ingat! Jauh sebelumnya ada iuran
BPJS yang sekarang menjadi kewajiban," kenangnya mengingatkan.
Sejak embrio kelahirannya lewat Undang-undang SJSN (Sistem
Jaminan Sosial Nasional) di tahun 2011, kenangnya lagi, organisasi dakwah
Hizbut Tahrir ketika itu sudah lebih dulu melakukan protes keras terhadap BPJS.
"Apa alasannya? Karena pada intinya kebijakan ini
mengalihkan tanggung jawab negara yang semestinya diemban oleh negara menjadi
tanggung jawab rakyat," ulasnya.
Dan ini, menurutnya, jelas bertentangan dengan prinsip
keberadaan negara yang semestinya sebagai pengurus rakyat (daulah ri'ayah)
menjadi negara pemalak (daulah jibayah). "Ini tak sesuai dengan syariat
Islam," tandasnya.
Begitu pun Tapera, UIY menyimpulkan, jika diteliti
hakikatnya sama dengan BPJS yang pada faktanya adalah sebuah kebijakan yang
mengubah hak sosial rakyat menjadi komoditas bisnis.
"Dan karenanya, komentar saya terhadap Tapera ini sama,
sebagaimana dulu saya sampaikan komentar terhadap Undang-undang SJSN 13 tahun
yang lalu," kata UIY.
Ia kemudian mengajak pemirsa untuk memperhatikan kembali
statement atau pernyataannya di hadapan pers ketika itu.
"Apabila hak sosial rakyat didekati dengan komunitas
bisnis, posisi rakyat yang sentral substansial (pusat inti) direduksi menjadi
marginal residual (terpinggirkan). Sementara kepentingan bisnis, justru
ditempatkan menjadi yang sentral substansial," pungkas UIY membacakan
ulang apa yang pernah dinyatakannya. [] Muhar
Sabtu, 22 Juni 2024
Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.