Bansos Korban Judol, Bukti Menancapkan Hegemoni Kapitalisme - Tinta Media

Sabtu, 22 Juni 2024

Bansos Korban Judol, Bukti Menancapkan Hegemoni Kapitalisme

Tinta Media - Semakin ke sini semakin ke sana, menang judi kecanduan, kalah malah penasaran. Menang kaya instan, melarat menang bantuan.

Aneh tapi nyata, bukan hanya tindak kriminalnya yang semakin berkembang. Namun berbagai macam kebijakan yang ambigu dan menyesatkan terus terulang.

Kebijakan aneh kembali di buat oleh Menko PMK, bahwasanya korban judi online (judol) berhak menerima bansos. Kebijakan ini tentunya menimbulkan kontroversial di semua elemen masyarakat.

Terminologinya di ubah menjadi korban judol. Menganggap bahwa korban judol masuk dalam klaster masyarakat miskin kelas baru. Padahal mereka melakukannya dengan kesadaran penuh. Seperti argumen MUI bahwasanya tidak ada istilah korban judol ataupun kemiskinan struktural karena para pelaku menjadikan judol sebagai pilihan hidup mereka. (CNBC.Indonesia, 15/06/24)

Kebijakan ini perlu dikaji ulang, bagaimana mungkin mampu memutus problem namun kebijakannya menyambung rantai. Sangat mudah dianalogikan oleh orang awam sekalipun, apabila korban mendapat bansos bukan tidak mungkin dana tersebut dialokasikan untuk top up ulang, Seperti berputar dalam lingkaran setan.

Memang betul, negara sudah melakukan upaya dalam pemutusan rantai judol ini, dengan adanya Keppres nomor 21 tahun 2024 tentang Satgas Pemberantasan Judol. Pemblokiran rekening serta e-wallet yang terafiliasi dengan judol berhasil dilakukan. Sebanyak 5.364 rekening apabila di akumulasi nilainya setara Rp. 600 triliun perputaran dengan sekitar 3,2 juta orang Indonesia terjerumus judol.

Menurut riset, telah terdata 20.241 kata kunci mengenai judol di Meta. Kemudian mampu memberantas 2.637 kata kunci judol di tingkat hulu. Selain itu sepanjang 17 Juli 2023 sampai 21 Mei 2024 mampu memberantas konten judol sebanyak 1.904.246. Realitas judol hari ini masih menggurita di tengah-tengah masyarakat dengan skema menggiurkan seakan menjadi sebuah solusi kemiskinan.

Nyata di depan mata, kebijakan ini alih-alih memberi solusi malah menjadikan rangkaian judol ini semakin memanjang dan susah diuraikan. Seharusnya negara lebih serius dan fokus pada pemblokiran judol dari negeri ini, dengan memberantas sampai ke akar-akarnya. Misalnya lebih mengoptimalkan lagi tugas Satgas Pemberantas Judol, karena berdasarkan riset dari konten dan rekening yang sudah diblokir masih banyak yang belum terjamah. Diimbangi dengan edukasi kepada semua elemen dengan cara dan bahasa yang mudah dipahami tetapi tidak mengurangi esensi dari bahaya judol secara konsisten.

Disisi lain, mengembalikan fungsi agama sebagai pengontrol seluruh perbuatan. Di semua agama, khususnya di dalam Islam judi merupakan perbuatan maksiat yang wajib di tinggalkan. Apabila agama dijadikan pegangan kehidupan sudah pasti mampu mengonter berbagai bentuk tindak kriminal yang beragam.

Sudah saatnya kita menyadari bahwa seluruh kerusakan di muka bumi ini baik disebabkan oleh pelaku kejahatan atau tindak kriminal yang semakin beragam dan berkembang bersumber dari hilangnya peran agama di dalam kehidupan. Artinya agama dipisahkan dari semua elemen kehidupan ini, baik dari aturan bergaul, bertingkah laku, bernegara, dan seluruhnya.

Kalau di telisik secara mendalam, akar permasalahannya adalah melakukan judi. Mau menggunakan medium apa pun judi ya haram. Seperti firman Allah di dalam QS. Al Maidah ayat 90, " wahai orang-orang beriman, sesungguhnya meminum khamar, judi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah merupakan perbuatan setan, maka jauhilah agar kamu termasuk orang yang beruntung."

Langkah awal yang seharusnya negara lakukan adalah mencabut akar masalah, memberikan pemahaman atau mafhum Di tengah-tengah masyarakat bahwa judi bagian dari perbuatan maksiat. Apabila masih ada pelaku kriminal dalam hal judi, maka peran negara memberi sanksi tegas dalam upaya menyadarkan pelaku dan memberikan efek jera. Dari sini bisa diambil ibrah atau pembelajaran untuk semua elemen masyarakat bahwa judi dilarang keras.

Untuk memudahkan proses penyadaran masyarakat terkhusus pelaku judi, tentunya mengubah paradigma berpikir kapitalisme. Satu kerusakan kapitalisme yang jelas dan nyata adalah menghalalkan segala macam cara untuk memenuhi kebutuhannya. Seperti judol ini, sudah jelas maksiat masih dikerjakan. Entah faktor tekanan biaya hidup yang semakin tidak terjangkau, faktor ekonomi, atau mungkin memang beberapa orang memiliki tipikal ingin kaya jalur instan tanpa melakukan double effort untuk berusaha dan mengupayakan.

Paradigma kapitalisme merupakan pandangan terkait menilai sesuatu berdasarkan asas materi. Artinya barometer sebuah pencapaian ya sekedar materi tanpa memperhatikan aturan-aturan Sang Pencipta (Al Khaliq) dalam melakukan prosesnya. Tentu paradigma ini tidak idealis untuk di terapkan di muka bumi ini karena menyalahi fitrah manusia. Manusia bebas melakukan apa saja demi mencapai tujuan, tentu ini tidak sesuai fitrah manusia untuk nyaman melakukan tindak kriminal ataupun bermaksiat kepada Sang Khaliq.

Dan hanya Islam satu-satunya agama yang sempurna dan paripurna.(QS. Al Maidah:3). Islam bukan hanya memuat agama tetapi juga mabda atau ideologi. Allah berfirman, "Janganlah kamu mencari agama selain Islam, sungguh kamu termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Ali. Imran:85)

Seluruh perbuatan manusia standarnya hukum syara, yaitu rangkaian aturan yang mengatur manusia satu dengan manusia yang lain. Apabila melanggar hukum syara tentu mendatangkan murka Allah yang akan mendapatkan ganjaran berupa dosa dan dijatuhi sanksi. Untuk menerapkan sebuah hukum syara, negara membutuhkan ideologi untuk mengikat masyarakat dengan aturan yang ditetapkan atau sebuah kebijakan. Berhubung Islam agama sekaligus mabda maka Islam tidak membutuhkan Ideologi lain sebagai solusi, seperti Ideologi Sekularisme dan Komunisme.

Misalnya, ketika negara menerapkan Sistem Islam, maka seorang qadhi (hakim) berhak menjatuhi sanksi sesuai dengan kadar maksiat (kejahatan) yang di kerjakan. Dalam problem ini, judi terklasifikasi ke dalam uqubat (sanksi) ta'zir.

Kasus ta‘zîr secara umum terbagi menjadi: (1) pelanggaran terhadap kehormatan; (2) pelanggaran terhadap kemuliaan; (3) perbuatan yang merusak akal; (4) pelanggaran terhadap harta; (5) gangguan keamanan; (6) subversi; (7) pelanggaran yang berhubungan dengan agama.

Uqubat ta‘zîr meliputi: hukuman mati, cambuk yang tidak boleh lebih dari 10 kali,  penjara, pengasingan,  pemboikotan, salib, ganti rugi,  penyitaan harta, mengubah bentuk barang, ancaman yang nyata,  nasihat dan peringatan,  pencabutan sebagian hak kekayaan,  pencelaan, dan pewartaan.

Sungguh Islam adalah agama dan mabda yang tidak menjamur oleh perkembangan zaman. Kapan pun dan di mana pun Islam tidak akan berkurang, berkembang, dan berubah sedikit pun setiap aturan dan solusi yang di tawarkan. Realitasnya hari ini memang Islam belum diterapkan secara kaffah di seluruh penjuru dunia.

Namun bukan Islam yang tidak idealis lagi untuk seluruh problem kehidupan yang ada, namun begitu rusaknya aqidah umat hari ini. Umat terpecah belah karena sibuk dengan pemikiran masing-masing, standar ganda, aturan rancu, dan sekat nasionalisme. Mulailah dari diri kita sendiri untuk menerapkan Islam Kaffah, kemudian sebarkan, hingga seluruhnya sadar terkait urgensi penegakan Khilafah di muka bumi ini.

Wallahu'alam Bisowab.

Oleh: Novita Ratnasari, S.Ak., Penulis Ideologis

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :